Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KURSI kosong di hadapan majelis hakim, di ruang ”sidang“ Wirjono Prodjodikoro Gedung Mahkamah Agung itu, lebih sebagai simbolisasi hadirnya pemohon kasasi. Dan Selasa pekan lalu, kursi itu mewakili Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini nonaktif.
Sekitar pukul 10.00, berhadapan de-ngan kursi terdakwa, ketua majelis hakim, Artidjo Alkostar, mulai membacakan putusan atas kasasi yang diajukan Puteh. Artidjo didampingi empat hakim kasasi lainnya, M.S. Lumbe, Krishna Harahap, Mansyur Kertayasa, dan Hamrad Hamid.
Di ruangan itu, selain puluhan wartawan, terlihat tiga jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyidik kasus Puteh, yakni Khaidir Ramli, Yessi Esmerelda, dan Wisnu Baroto.
Setelah sekitar lima jam putusan itu dibacakan bergantian, Hakim Artidjo akhirnya mengetukkan palunya. Ia menyatakan Abdullah Puteh, 57 tahun, terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan helikopter Mi-12 buat-an pabrik pesawat terbang Rostov, Rusia, yang membuat negara rugi sekitar Rp 10 miliar.
Hakim kasasi menghukum Puteh 10 tahun penjara, denda Rp 500 juta, plus membayar uang pengganti Rp 6,564 miliar dalam tempo satu bulan. ”Jika dalam satu bulan sejak putusan dibaca-kan tidak dilaksanakan, jaksa penuntut umum diperintahkan menyita harta benda Abdullah Puteh,” kata Artidjo. Jika jumlah itu belum cukup, menurut undang-undang, kata Artidjo, hukuman Puteh ditambah tiga tahun.
Putusan hakim kasasi ini terbilang le-bih ”maju” ketimbangan putusan peng-adilan tindak pidana korupsi tingkat pertama dan tingkat banding. ”Saya puas terhadap putusan Mahkamah Agung. Ini artinya putusan kami dikuatkan,” kata Dudu Duswara, salah satu hakim- peng-adilan tindak pidana korupsi tingkat pertama, kepada Tempo. Pada 11 April silam, majelis hakim tindak pidana korupsi tingkat pertama yang dike-tuai Kresna Menon menghukum Puteh 10 tahun penjara dan denda Rp 3,687 mi-liar. Hakim menyatakan, seluruh unsur dugaan korupsi Puteh terbukti.
Salah satu tindakan Puteh yang dianggap melenceng dari rel hukum itu adalah penyerahan duit Rp 750 juta kepada PT Putra Pobiagan Mandiri. Putra Pobiagan adalah rekanan Pemda Aceh untuk pengadaan pesawat heli yang dipesan Puteh. Penyerahan uang semacam ini, ujar Kresna, melanggar hukum. ”Karena waktu itu belum ada perjanjian apa pun dengan perusahaan ter-sebut,” katanya.
Tindakan korupsi lainnya yang dilakukan Puteh adalah menempatkan duit kas daerah senilai Rp 7,75 miliar ke rekening pribadinya di Bank Bukopin. ”Dana daerah seharusnya ditempatkan di kas daerah,” ujar Kresna. Tapi vonis untuk Puteh di pengadilan korupsi tingkat pertama itu tak bulat. Hakim Gusrizal dam Kresna berbeda pendapat (dissenting opi-nion) dengan tiga hakim lainnya. Menurut mereka, KPK seharusnya tak berwenang memeriksa kasus Puteh karena tempus delicti (waktu terjadinya) kasus ini sebelum Undang-Undang KPK disahkan (Tempo, 24 April 2005).
Di pengadilan tingkat banding, hukuman untuk Puteh mengalami penurunan. Kendati ia tetap dihukum 10 tahun penjara, hakim mengurangi kewajiban Puteh mengembalikan uang negara menjadi Rp 1,7 miliar. Hakim menyatakan dakwaan primer untuk Puteh—memperkaya diri sendiri—tak terbukti. Puteh dinilai ”hanya” me-nya-lah-gunakan kewenangannya sebagai gubernur.
Keputusan pengadilan tinggi, menurut sumber Tempo, memang mendapat sorotan dari lima majelis hakim kasasi. Salah satu yang dibahas adalah perihal keputusan hukuman terhadap Puteh yang dinyatakan diambil berdasarkan suara bulat. ”Ternyata tidak. Di antara para hakim itu ada perbedaan pendapat tajam,” kata sumber Tempo di Mahkamah Agung.
Hakim kasasi, kata sumber itu, juga menyoroti peristiwa penyuapan saat berkas Puteh masuk ke pengadilan tinggi. Pertengahan Juni lalu KPK memang menangkap pengacara Puteh, Tengku Syaifuddin Popon, saat bernegosiasi dengan dua panitera pengadilan tinggi, Ramadhan Rizal dan M. Soleh, untuk meringankan hukuman Puteh. KPK -ka-la itu menemukan tas berisi uang Rp 249 juta di kolong meja Rizal. ”Kasus ini juga menjadi diskusi sebelum memutuskan hukuman untuk Puteh itu,” ujar sumber itu lagi.
Lima hakim kasasi di Mahkamah Agung hanya memerlukan tiga kali musyawarah untuk memutuskan kasus Puteh. Menurut sumber Tempo, kelima hakim tersebut sepakat Puteh terbukti melakukan korupsi. Tentang ganti rugi sebesar Rp 6,654 miliar, menurut para hakim, itulah jumlah uang negara yang masuk ke rekening Puteh. Adapun Rp 3,432 miliar adalah tanggung jawab Bram Manoppo. ”Jadi tak ada dissenting opinion. Puteh itu telah merugikan ne-gara, dan prinsipnya uang negara itu harus dikembalikan,” kata Krishna, salah satu hakim kasasi, saat dihubungi di kediamannya di Bandung.
Pengacara Puteh, Mohammad Assegaf, menganggap putusan itu jauh dari rasa keadilan. ”Tidak ada kerugian negara dalam kasus ini. Uang yang masuk ke re-kening Puteh sudah dikeluarkan untuk peng-adaan helikopter,” katanya. Ia juga menilai aneh terhadap putusan hakim kasasi yang akan menyita harta Puteh jika tak sanggup membayar uang pengganti yang ditetapkan. ”Aneh, masak harta benda bisa disita,” katanya.
Nasib Puteh sudah diketuk. Di mata Krishna, sekalipun Puteh kelak melakukan upaya peninjauan kembali, bukan berarti hukumannya membayar kerugian negara itu bisa ditunda. ”Putusan ini sudah final. Artinya, sebagai gubernur, Puteh juga harus berhenti,” kata Krishna.
L.R. Baskoro, Agriceli
Drama Puteh
Pengusutan kasus korupsi Puteh bak drama. Sejumlah kejadian tak terduga muncul sepanjang proses hukum kasus ini. Inilah lika-liku perjalanan kasus Puteh.
TAHUN 2004 29 Juni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Abdullah Puteh sebagai tersangka korupsi pengadaan helikopter Mi-2.
2 Juli KPK mengeluarkan surat pencekalan terhadap Puteh.
14 Juli Puteh diperiksa KPK.
30 November Bram H.D. Manoppo, tersangka lainnya, mengajukan judicial review atas Pasal UU No. 30/2002 tentang KPK. Ia merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan adanya pasal itu terhadap penyidikan yang dilakukan KPK.
7 Desember Puteh ditahan di penjara Salemba.
8 Desember Puteh dinonaktifkan sebagai gubernur.
17 Desember Berkas perkara Puteh dilimpahkan ke pengadilan tindak pidana korupsi.
27 Desember Sidang perdana kasus Puteh digelar di pengadilan tindak pidana korupsi di gedung bekas Bank Uppindo. Sidang dipimpin Hakim Krisna Menon. Puteh teracam hukuman 20 tahun penjara.
TAHUN 2005 10 Januari Majelis hakim dalam putusan sela menolak eksepsi yang diajukan Puteh.
19 Januari Majelis hakim, setelah melewati perdebatan, mengizinkan Puteh ke Aceh untuk menengok keluarganya yang terkena bencana tsunami.
15 Februari Mahkamah Konstitusi menolak pengajuan judicial review Bram Manoppo.
21 Februari Puteh sakit dan dirawat di RS M.H. Thamrin.
7 Maret Jaksa menuntut Puteh 8 tahun penjara. Menurut jaksa, pembelian helikop-ter Mi-2 melanggar PP 105/2000 dan Keppres No. 18/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang dan Jaksa Instansi Pemerintah. Akibatnya, negara rugi Rp 10,8 miliar.
11 April Puteh divonis 10 tahun penjara dan wajib membayar uang pengganti Rp 3,687 miliar. Dua hakim menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dalam memutus perkara itu.
15 Juni Pengacara Puteh, Tengku Syaifuddin Popon, ditangkap di gedung pengadilan tinggi. Popon baru saja menyerahkan uang Rp 249 juta ke panitera dengan tujuan membantu kasus Puteh.
16 Juni Pengadilan tinggi menghukum Puteh penjara 10 tahun, denda Rp 500 juta, dan membayar uang pengganti Rp 1,7 miliar. Puteh mengajukan kasasi.
19 Agustus Atas izin kepala penjara Salemba, Kosod Purwanto, Puteh dirawat di RS M.H. Thamrin. Hakim agung Artidjo Alkostar menyatakan tindakan Kosod menyalahi prosedur.
13 September Mahkamah Agung menolak kasasi Puteh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo