Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEBERAPA dasawarsa lalu, Soedjatmoko dengan nada bersemangat pernah berbicara tentang ide yang punya kaki. Ide—karena itu—bisa bergerak ke pelbagai tempat. Kita tak tahu persis seberapa benarnya Koko. Namun, salah satu bukti empiris peran pemikiran di dalam sejarah negeri ini bisa diraba pada institusi pendidikan.
Salah satunya adalah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). FEUI, sebagaimana institusi pendidikan lainnya di negeri ini, tak pelak lagi—suka atau tak suka—diakui memiliki catatan panjang dalam koridor sejarah negeri ini.
12 September 2005 lalu, FEUI merayakan ulang tahunnya ke-55. Masih teramat muda dalam ukuran sejarah institusi pendidikan, tapi juga bukan anak kemarin. Saya ingat satu obrolan panjang dengan almarhum Prof Sumitro Djojohadikusumo, salah satu pendiri FEUI.
Sumitro bercerita tentang muasal Djakarta School of Economics. ”Tadinya saya membayangkan sebuah fakultas ekonomi yang memiliki ciri tertentu: penekanan pada ekonomi pembangunan. Sehingga ia menjadi sebuah school of thought yang tersendiri. School of thought yang lahir untuk memenuhi kehausan pemikiran untuk pembangunan negeri ini,” begitu tutur Sumitro.
Mungkin karena itu, jurusan ekonomi kemudian bertransformasi menjadi jurusan ekonomi dan studi pembangunan—sebuah penekanan yang lebih berorientasi pada kebijakan. Mungkin karena itu pula peran FEUI, dalam bentuk pemikiran, kemudian terasa memiliki jejak panjang dalam kebijakan ekonomi di negeri ini.
Lalu kita mencatat: Widjojo Nitisastro, Mohamad Sadli, Ali Wardhana, Emil Salim, Subroto, dan runtutan panjang nama lain dalam kebijakan ekonomi di Indonesia. Tapi, apakah ini menyiratkan satu garis pemikiran khas FEUI, seperti angan-angan Sumitro?
Saya tak pandai benar menyimpulkan. Tapi, rasanya yang terlihat justru keragaman pemikiran. Teknokrat Widjojo cs lebih cenderung pemikiran Keynesian. Percaya bahwa pasar punya peran, namun peran pemerintah tak juga kurang pentingnya. ”Planning through the market”, begitu istilah Emil Salim.
Juga ada Sjahrir, yang dengan kepercayaannya kepada pasar tetap menempatkan kebutuhan pokok sebagai issue utama. FEUI juga punya pemikiran berbeda di sisi lain, Sri Edi Swasono atau Daud Joesoef, misalnya.
Ia juga memiliki jejak panjang dalam pembentukan pemikiran di negeri ini, seperti ekonom yang lebih berorientasi kepada keilmuan, misalnya Iwan Jaya Azis dan Thee Kian Wie. Karena itu, sulit rasanya menyimpulkan sebuah school of thought khas FEUI.
Namun, justru di sini saya melihat bagaimana FEUI telah menjadi ajang eksplorasi pemikiran. Di dalam proses ini, yang penting adalah eksplorasi, bukan konklusi. Dengan eksplorasilah semua kemungkinan pemikiran dibuka—dan bukan menjadi sesuatu yang final.
Pemikiran pada akhirnya memang sebuah upaya abstraksi yang—buruknya—kadang mereduksi kenyataan. Susan Sontag, novelis dan penulis esai yang cemerlang itu, pernah menulis bahwa interpretasi adalah sebuah balas dendam intelektual terhadap dunia. Abstraksi berarti menyusutkan dunia, untuk membuat sebuah dunia bayangan dari arti.
Di dalam hidup, abstraksi merupakan upaya untuk mencegah ”kenyataan” dalam dunianya sendiri. Kenyataan memiliki kapasitas membuat kita gelisah. Dengan mereduksi kenyataan menjadi isi, dan kemudian melak kan abstraksi, secara tak langsung kita berusaha menjinakkan dunia.
Abstraksi membuat dunia menjadi dapat dikendalikan, menjadi lebih patuh. Mungkin karena itu, dalam banyak hal ilmu ekonomi tak selalu bisa menjelaskan semua persoalan dengan cermat, teliti, dan akurat. Mungkin karena itu ekonomi muncul sebagai ilmu yang murung—a dismal science.
Di sinilah saya kira peran FEUI justru menjadi penting. Ia membuka pemikiran untuk memiliki tempat, ia memberi kesempatan kepada ide untuk memiliki kaki. Yang menjadi pertanyaan: apakah FEUI akan mandek, dengan hanya terpaku dan sekadar mengusap-usap sejarah, atau justru menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman?
Bambang Brodjonegoro, Dekan FEUI saat ini, dengan nada lirih berbicara kepada saya tentang angan-angan mengubah cara berpikir dari budaya birokrasi menjadi budaya korporasi, penerapan good governance, dan regenerasi yang cepat. Ia juga berbicara mengenai lulusan FEUI yang menjadi CEO di berbagai tempat.
Saya kira di sini tersirat sebuah perspektif yang menyesuaikan FEUI dengan format ”pasar”. Mungkin memang ada perubahan di dalam arah. Tapi saya kira perhatian kepada ekonomi pembangunan, kepada kebutuhan pokok dan kemiskinan, akan berkurang. Pada akhirnya FEUI memang sebuah pemikiran—yang tak tunggal. Dan pada hari ulang tahunnya ke-55 ini, mungkin baik kita mencatat: kelebihan institusi ini terjadi justru ketika pemikiran tak difinalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo