Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Managing Director PPT Energy Trading (PPT ET) Singapura periode 2015 - 2021, Arief Basuki, hadir dalam sidang pemeriksaan saksi untuk perkara dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina pada 2011-2014 dengan terdakwa mantan Direktur Utama atau Dirut PT Pertamina, Karen Agustiawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam persidangan kali ini, jaksa KPK mencecar Arief dengan pertanyaan soal tujuan dibukannya kantor PPT ET Singapura. Arief menjelaskan PPT ET Singapura berdiri sebagai marketing Pertamina untuk menjual kargo LNG dari Corpus Christi yang tidak terserap di pasar domestik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebagai marketing Pertamina saat itu," katanya di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Kamis, 28 Maret 2024.
Karena tidak puas, jaksa membacakan dan meminta konfirmasi atas jawaban Arief yang tercatat dalam BAP saat menjalani pemeriksaan di KPK. Dalam BAP tersebut dijelaskan jika Pertamina berencana membuka kantor trading di Singapura dalam rangka menjual kargo dari Corpus Christi yang sudah dibeli.
“Mengapa perlu dibuka kantor di Singapura? karena pusat trading LNG terbesar adalah di Singapura dan Asia dan luber kuotanya. Benar?" kata jaksa.
Arief membenarkannya. Dia mengatakan selain untuk menjual kargo, PPT ET bertujuan mengembangkan portofolio bisnis LNG Pertamina.
Menurut dia, Pertamina pernah menjual LNG sebagai penjual bagian, tetapi belum pernah menjadi penjual bebas. Oleh karena itu, dibukalah kantor di Singapura.
Pertamina Disebut Sulit Buka Kantor di Singapura
Dalam BAP Arief, disebutkan Pertamina sempat mengalami kesulitan untuk membuka kantor di Singapura jika mengatasnamakan Pertamina. Arief menduga kesulitan itu karena tidak mendapatkan izin dari Dwi Soetjipto selaku Direktur Utama PT Pertamina saat itu.
Tidak dapatnya izin itu diduga ada hubungannya dengan kasus Petral yang saat itu sedang bermasalah dan kemudian dibubarkan di 2015. "Oleh karena itu, PPT ET Tokyo membantu membuka kantor cabang di Singapura," kata penuntut umum membacaakan BAP Arief.
Arief membenarkan Pertamina pernah mengajukan kantor pemasaran di Singapura untuk mengembangkan portofolio bisnis. Dia menyebutkan awalnya permintaan pembukaan kantor pemasaran di Singapura datang dari PPT ET Tokyo untuk mengembangkan bisnisnya sendiri.
Dalam perusahaan ini, Pertamina, kata Arief, mengantongi 50 persen saham PPT ET. Sisanya dimiliki oleh 13 perusahaan asal Jepang.
"Kepemilikan saham PPT ET Singapura 100 persen milik PPT ET Tokyo," katanya
Kendala Operasional di Singapura, Perubahan Bentuk Hukum PPT ET
Jaksa KPK kembali membacakan BAP Arief. Pada 2015-2016 akhir, PPT ET membuka cabang di Singapura. Namun, setelah perusahaan berdiri, terdapat kendala dalam hal operasional.
Selain itu, terdapat pula isu pajak yang besar sehingga pada 2017 ada perubahan bentuk PPT ET secara hukum. Cabang PPT ET Tokyo di Singapura berubah menjadi PPT ET Singapore yang berdiri sebagai perusahaan sendiri dengan kepemilikan 100 persen saham adalah milik PPT ET Tokyo.
"Yenni Andayani (Senior Vice President Gas & Power) dan Muhammad Harun bertemu sekitar Maret 2015 di Tokyo untuk pembicaraan penawaran PPT ET pembukaan kantor di Singapura. Mei 2015 terdapat hasil EIV (Electrical Isolation Valve) salah satu konsep skenario untuk membuka kantor melalui melalui kata kesepakatan Pertamina," kata Arief dalam BAP yang dibacakan penuntut umum.
Sebelumnya, dalam dakwaan JPU, disebutkan pada 28 Februari 2020, Corpus Christi Liquefaction mengirimkan Surat Pemberitahuan ADP (Annual Delivery Program) dan Composite ADP (Annual Delivery Program) yang memberitahukan akan mengirim 18 kargo dengan total kuantitas 62,8 juta million british thermal unit (MMBtu) untuk 2020.
Atas pengiriman 18 kargo LNG tersebut, PT Pertamina—yang tidak memiliki GSA (Gas Sales Agreement) dengan pembeli sebelum adanya SPA (Sales Purchase Agreement) dengan Corpus Christi ditandatangani—menjual secara rugi ke pembeli di luar negeri.
Dari biaya total pembelian LNG sebesar US$ 341,4 juta, pertamina hanya memperoleh total penjualan sebesar US$ 248,7 juta sehingga menyebabkan kerugian sebesar US$ 92,6 juta.
Pilihan Editor: Untung US$ 92 Juta, Karen Agustiawan Tantang Pertamina Batalkan Kontrak Pengadaan LNG