Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim Ketua, Eko Aryanto, menyinggung soal lumpur Lapindo dalam sidang kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis. Pada 29 Mei 2006 silam, lumpur menyembur pertama kali di sumur eksplorasi migas milik PT Lapindo Brantas, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya, Eko menanyakan pendapat ahli hukum lingkungan, Kartono, ihwal besarnya pemasukan negara dari sektor tambang. Eko juga bertanya mengenai dampak lingkungan akibat pertambangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kartono pun menjawab, pada prinsipnya, kegiatan perekonomian memang perlu. "Tapi harus diseimbangkan dengan kewajiban-kewajiban untuk memenuhi keseimbangan ekosistem," ujarnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis, 24 Oktober 2024.
Oleh karena itu, lanjutnya, ada Undang-Undang Lingkungan Hidup. Menurut Kartono, beleid itu bertujuan untuk mengentaskan praktik bisnis yang merusak lingkungan. "Kalau kita mundur ke belakang Pak, mengenai Lapindo itu gimana?" tanya Eko.
Eko menyebut kejadian lumpur Lapindo terjadi juga karena penambangan. "Apakah itu termasuk yang merusak lingkungan secara ekstrem?"
Kartono pun membetulkan. "Dalam kasus Lapindo itu, yang terjadi adalah suatu perusahaan melakukan pengeboran, tapi ada suatu kesalahan," tuturnya.
Ia mencontohkan, kekeliruan dalam pengeboran itu adalah kewajiban memasang casing (selubung) yang tidak dilakukan. Sehingga ketika terjadi semburan, lumpur itu tidak bisa diantisipasi dan muncul terus-menerus. "Bahkan kemudian negara mengambil alih ketika sudah terjadi kerusakan," lanjut Kartono.
Eko menyebut "tadi kan sudah diterangkan oleh ahli sebelumnya, kenapa itu tanggung jawab negara, untuk menjamin lingkungan yang bersih dan nyaman ya?"
"Lingkungan hidup yang bersih dan sehat," jawab Kartono.
Harvey Moeis didakwa oleh jaksa penuntut umum melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk periode 2015-2022. Menurut audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kasus ini diduga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun.
Harvey didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 3 atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.