ENTAH siapa yang mulai menggunakan istilah pos-power syndrome, sekalipun kegelisahan serius masa pensiun ini tidak ditemukan dalam kamus psikologi. Besar kemungkinan istilah dalam bahasa Inggris itu lahir di lingkungan masyarakat kita. Gejala yang ditunjuk istilah ini, menurut Siti Rahayu Haditono, guru besar pada Fakultas Psikoloi Universitas Gadjah Mada (UGM), cuma ada di Indonesia. Dalam ilmu psikologi yang baku, masa pensiun tak pernah sampai semuram post-power syndrome. "Dilihat sekilas, masalah ini berakar pada mentalitas masyarakat, walau banyak manifestasinya memang merupakan gejala psikologis," kata Rahayu seusai seminar "Menghadapi Masa Pensiun" yang diselenggarakan di Yogyakarta Sabtu pekan lalu. Meluasnya isu pospower syndrome itu mendorong sejumlah psikolog UGM merasa perlu mengkaji lebih jauh kegelisahan akibat kehilangan kekuasaan tersebut. Rahayu mengutarakan, mereka yang terkena kegelisahan ini umumnya pejabat yang pernah memiliki kekuasaan berlebihan. "Sewaktu menduduki jabatan, mereka disanjung-sanjung anak buah atau orang lain yang punya kepentingan," tambahnya. Di kalangan pejabat, kebiasaan anak buah membukakan pintu mobil, membawakan tas, sampai layanan yang tidak masuk akal yang dilakukan kontraktor untuk mereka sudah bukan rahasia lagi. Power yang tidak sehat ini sudah menjadi gejala umum pada kultur kita. "Mental semacam ini yang menimbulkan masalah di masa pensiun," kata Rahayu. "Ketika seseorang tiba-tiba harus pensiun, semua kesenangan yang tidak wajar itu hilang mendadak, dan muncullah syndrome itu." Pada masyarakat maju, perilaku menyanjung dan keinginan disanjung-sanjung semacam ini, menurut Rahayu, tidak ada. "Jadi, ketika seorang pejabat pensiun, ya biasa-biasa saja." Psikolog Johana Endang Prawitasari, juga pengajar pada Fakultas Psikologi UGM, memperkuat pendapat Rahayu. "Pangkal perilaku yang akhirnya menimbulkan kegelisahan itu adalah kejutan budaya," katanya. Kultur yang terbentuk akibat perubahan-perubahan besar dan mendadak pada masyarakat kita potensial dalam memancing dorongan-dorongan "primitif" manusia. Kendati ada alasan-alasan formal -- peluang korupsi dan kurangnya sistem kontrol -- keinginan berkuasa dan dilayani istimewa muncul secara impulsif. Perilaku yang cuma bertujuan mencapai pemuasan ini jauh dari perhitungan risiko. "Karena itu tidak aneh kalau mereka yang punya perilaku ini lupa mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan tidak berkuasa lagi," tambah Johana. Post-power syndrome muncul sebagai dilema yang tidak terpecahkan. Penderitanya menolak realitas bahwa ia tidak lagi mempunyai kekuasaan. Kondisi ini potensial dalam melahirkan gangguan mental dan juga fisik. Dalam psikologi, kata Johana, manifestasi gangguan ini umumnya berupa stres berkepanjangan, yang akhirnya menjadi depresi. "Keadaan ini juga potensial dalam melahirkan berbagai penyakit, seperti darah tinggi, yang akhirnya menjadi strok, maupun penyumbatan pembuluh koroner, penyebab serangan jantung," tuturnya lagi. Dari hasil pengamatan kasus, Johana menguatkan pendapat Rahayu, penderita post-power syndrome umumnya pejabat dan pegawai pemerintah. "Di lingkungan swasta kemungkinan terjadinya kekuasaan yang berlebihan umumnya lebih kecil, dan perilaku orang-orangnya lebih terkendali," ujarnya. Kelainan post-power syndrome tentu bukan satu-satunya masalah pada masa pensiun. Dalam kondisi normal, masa pensiun mengandung pula sejumlah masalah. Psikolog Asip Hadipranata, salah seorang pembicara dalam seminar itu, mengutarakan, "Mestinya pensiun adalah dambaan semua orang. Jenjang karier yang berjalan normal mempunyai masa awal dan masa akhir yang pasti terjadi." Setelah seseorang bekerja dalam waktu lama, suatu ketika akan muncul keinginan untuk beristirahat dalam dirinya. Dan pensiun menjadi masalah bila keharusan pensiun tidak sejalan dengan perkembangan jenjang karier tadi. Dalam perjalanan usia, jenjang karier, menurut Asip, mengikuti sebuah kurva. Pada usia sekitar 40 tahun, prestasi kerja mulai memasuki masa puncak. "Pada masyarakat Jepang, puncak keberhasilan itu dipercaya terjadi pada usia 60 tahun," kata Asip, yang pernah belajar psikologi industri di Jepang. "Pada usia ini kurva irama kerja orang Jepang memang belum menurun." Usia pensiun di Indonesia yang rata-rata 55 tahun, kata Asip, sangat mungkin menimbulkan masalah. "Pada umur ini banyak pegawai justru sedang berada pada puncak karier," katanya. "Dengan sendirinya ia akan enggan meninggalkan pekerjaannya." Perasaan inilah yang membuat seorang pegawai merasa dipaksa untuk pensiun. Padahal, ia masih merasa kuat bekerja dan masih ingin menikmati keberhasilannya. Asip berpendapat, memang ada baiknya penetapan usia pensiun diperhitungkan kembali. Tentunya setelah mempertimbangkan data statistik. Dasar pertimbangan Undang-Undang Kepensiunan No. 11 Tahun 1969, yang menetapkan usia pensiun 55 tahun, menurut Asip, adalah rata-rata tingkat pendidikan para pekerja. "Data statistik menunjukkan 88% tenaga kerja di Indonesia hanya tamatan SD. Karena itu, karier pegawai rata-rata akan mentok pada usia 55 tahun," katanya. Asip menambahkan bahwa faktor pendidikan menyebabkan kenaikan tidak bisa menjadi lebih tinggi lagi. Tetapi kini angka statistik mungkin sudah berubah, khususnya di lingkungan pegawai pemerintah. Usia pensiun pada eselon tertentu juga sudah mulai bergeser menjadi pada umur 55 sampai 65 tahun. Buktinya, banyak pejabat yang ditunda masa pensiunnya. "Bila statistik menunjukkan rata-rata pekerja tamatan SLA, usia pensiun yang pantas adalah 60 tahun," kata Asip.Jim Supangkat (Jakarta), Aries MArgono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini