KEJADIANNYA begitu cepat. Pada saat acara makan pagi, seorang narapidana di LP Pamekasan, Madura, tiba-tiba sudah menggenggam parang telanjang. Wajahnya begitu garang ketika ia melangkah mendekati Rahwani, narapidana (napi) juga, yang sedang menyuap nasi. Langsung, Rahwani dihujani bacokan hingga tewas. Tapi si pembawa parang, Suratna, 35, belum puas. Satu per satu, napi yang berada dekat dapur LP menjadi sasaran bacokan. Robohlah Fatah, Rusam, lalu Jaswi dengan luka parah. Kalau tak keburu mengelak, Niman, petugas LP, pasti pula roboh. Pagi itu, Senin pekan lampau, suasana di dalam LP seluas 2 hektar dengan sekitar 500 narapidana itu pun seperti diguncang gempa. Teriakan histeris dan ketakutan dalam LP tua yang sudah berumur tiga perempat abad itu mengundang perhatian Dulani, 50, petugas yang tengah berada di bengkel. Suratna ketika itu sedang menuju ke arahnya, dengan parang yang merah oleh darah. Dulani cepat mencabut pistol dan menembak kaki si napi. Karena masih beringas dan terus juga maju, dua peluru berikutnya akhirnya membungkam Suratna untuk selamanya. Mungkinkah Suratna terjangkit amok seperti halnya Putu Karya? Lelaki ini sejak menghuni LP Pamekasan, sebenarnya dikenal berperangai sangat baik. "Dia teramat sopan, tak suka membangkang, tak ada perangainya yang cacat," tutur Dulani. Napi malang itu divonis 8 tahun penjara karena kasus pembunuhan. Tiga tahun lampau, ia terlibat carok: membunuh lelaki yang meniduri istrinya. Setahun setelah ia menjadi napi, istrinya meminta cerai, dan wanita itu kemudian menjadi TKW ke Arab Saudi. Ketiga anak mereka dititipkan kepada ibu Suratna. Lalu, kabar buruk pun menyusul, ibundanya meninggal. Itu berarti, ketiga anaknya telantar. Sejak itu, ia sering kelihatan murung dan mengatakan ingin ketemu anak-anaknya. Tekanan batin yang bertumpuk dari hari ke hari tanpa rekreasi memang bukan mustahil bertimbun jadi stres berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini