KALAU polisi berpistol mengamuk, apa yang terjadi? Tiga nyawa wanita melayang, dan seorang lagi harus menggeletak di rumah sakit untuk beberapa waktu lamanya. Polisi itu, Serma Polisi Ngakan Putu Karja, Sabtu pekan lalu, harus menanggungkan perbuatannya. Ia divonis 6 tahun penjara di Mahkamah Militer di Denpasar, oleh majelis hakim pimpinan Letkol Chaidir Noer. Ayah 4 anak yang sudah 18 tahun meniadi juru bayar di lingkungan Polda Nusa Tenggara itu sekaligus dinyatakan dipecat sebagai polisi. Akhir karier Ngakan ini bermula dari kejadian di pagi hari, 8 April lalu. Polisi yang dikenal tekun bekerja dan baik terhadap para tetangga ini, pagi itu, jogging, mengenakan celana olah raga dan kaus putih. Rupanya, ia membawa juga pistolnya, lalu tanpa alasan jelas, langsung dibidikkan ke arah siapa saja yang dilihatnya. Berturut-turut korban jatuh di Banjar Sasih Batubulan, Gianyar, Bali. Korban pertama Ni Wayan Umiasih, 14, pelajar SMTP yang pagi itu sedang menyapu halaman. Ni Wayan Werti, 17, dan Purniati, 23, ikut terkena sambaran peluru, dan tewas. Syukur, meski terkena peluru di perutnya, Niu Wayan Rajin, 15, masih bisa diselamatkan. Korban tak bertambah karena Ngakan keburu diringkus rekannya sesama anggota polisi. Ia ditahan, dan karena ulahnya seperti orang tak waras, ia dikirim ke Rumah Sakit Jiwa Bangli. Setelah mengobservasi selama dua minggu, dokter dan psikiater Denny Thong kepala rumah sakit itu, menyimpulkan bahwa Ngakan mengidap amok, penyakit yang datang dan hilang secara mendadak akibat suatu stres yang berlebihan. Setelah amok mencapai klimaksnya, kata Denny, penderita biasanya lupa akan perbuatannya sendiri. Ia baru bisa tahu yang dilakukannya, setelah orang lain menceritakannya. Dan setelah itu, "Penderita akan mengalami penyesalan yang mendalam, bahkan tidak segan-segan untuk bunuh diri." Kesimpulan itu berbeda dengan yang ditarik oleh Bagian Laboratorium Psikiatri FK Universitas Udayana dan Rumah Sakit Wangaya. "Tidak ditemukan adanya gangguan jiwa," demikian laporan laboratorium tersebut. Pendapat terakhir ini yang kemudian dikutip oditur, Letkol Imron Anwari, hingga ia menuntut hukuman 10 tahun 6 bulan bagi terdakwa. Kesimpulan dari observasi bisa saja berbeda. Namun, di hari-hari menjelang terjadinya penembakan, Ngakan memang bertubi-tubi mengalami stres. Di awal bulan April, setelah ia menguangkan cek senilai Rp 60 juta untuk gaji karyawan, brankas tempatnya menyimpan uang ternyata macet, tak bisa dibuka. Empat hari ia berkutat mencoba membuka brankas yang macet, tanpa hasil. Akhirnya, ia mengupah orang dari luar untuk membongkarnya, dengan ongkos Rp 20 ribu. Persoalannya kemudian, brankas yang rusak tentulah tidak aman digunakan menyimpan uang. Pusingnya lagi, usul agar brankas itu diganti tak disetujui oleh atasan. Di kala itu pula pekerjaannya menumpuk karena menjelang tutup tahun anggaran. Apalagi tim pemeriksa biasanya datang di akhir tahun. Kesehatannya ketika itu juga sedang menurun. Dan istrinya, ternyata, harus pula masuk rumah sakit karena menderita ginjal. Kekalutannya kian menumpuk saat ia ingat rumahnya ada yang melempari dengan batu, lalu kemasukan pencuri. Dalam menjatuhkan vonis, majelis hakim pimpinan Letkol Chaidir Noer tak hendak mengesampingkan sama sekali penjelasan Psikiater Denny. Yang menjadi soal, kata sebuah sumber, kapan sebenarnya stres berat itu muncul pada diri Ngakan. Sumber ini lebih mempercayai, hal itu justru muncul setelah ia melakukan penembakan. Perdebatan tentang ini memang bisa panjang. Dan kesimpulan apa pun, Ngakan setidaknya lebih beruntung dibanding Suratna (lihat Stres di Pamekasan).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini