Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pemburu Honor Sertifikat Paten

Pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual diduga memainkan penyelesaian perkara. Direktur jenderalnya memaklumi permintaan honor oleh anak buahnya.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Direktur PT Prasimax Inovasi Teknologi Didi Setiadi menunjukkan sertifikat hak paten di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis, 2 Juli 2020./TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Direktur PT Prasimax Inovasi Teknologi Didi Setiadi menunjukkan sertifikat hak paten di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Kamis, 2 Juli 2020./TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Direktur PT Prasimax Inovasi Teknologi menuduh LG meniru teknologi ciptaannya.

  • Pegawai Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual menawarkan bantuan mediasi di luar pengadilan.

  • Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual menganggap lazim permintaan honor untuk layanan konsultasi permohonan hak paten.

PANGGILAN telepon berulang kali masuk ke telepon seluler Didi Setiadi pada Senin dan Selasa, 29 dan 30 Juni lalu. Direktur PT Prasimax Inovasi Teknologi itu tak menghiraukan. “Malas ngeladenin,” ujar Didi sambil menunjukkan bukti panggilan telepon itu kepada Tempo pada Kamis, 2 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Menurut Didi, si penelepon adalah Ronald Lumbuun, pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ia baru beberapa bulan mengenal pria itu. Ronald, kata Didi, menawarkan penyelesaian sengketa paten antara perusahaannya dan raksasa teknologi asal Korea Selatan, LG, lewat jalur mediasi. Perebutan paten itu sedang disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Didi punya pengalaman buruk berhubungan dengan orang Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Dua tahun lalu, dia mengaku menjadi korban pemerasan. Peristiwa itu ia alami saat mengurus berkas permohonan paten ketiga pada 2018. “Karena menolak menyerahkan uang, permohonan itu dibatalkan oleh tim pemeriksa,” ucapnya.

Permohonan tersebut diajukan Didi setelah perusahaannya menemukan teknologi yang bisa menghubungkan mesin kasir dengan printer lewat Bluetooth. Selama pemeriksaan berkas, Didi kerap berkomunikasi dengan seorang anggota staf pemeriksa bernama Fero Arnoldus.

Pada Juli-September 2018, kata Didi, Fero mengajaknya bertemu untuk membahas permohonan berkas di luar gedung Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Untuk keperluan itu, Didi diminta menyiapkan uang transportasi sebesar Rp 1 juta. “Menurut dia, aturan itu tertuang dalam peraturan Menteri Keuangan,” ujarnya. “Tapi penelusuran saya tidak ada keharusan mengeluarkan biaya seperti itu.”

Didi juga diminta menyiapkan biaya pemeriksaan sebesar Rp 10 juta menjelang penetapan berkas permohonan. Tapi permintaan itu ia tolak setelah berkonsultasi dengan Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman melarangnya menyerahkan uang lantaran bisa menyuburkan praktik pungutan liar.

Perangkat milik PT Prasimax Inovasi Teknologi yang terpasang di sebuah kawasan niaga di Jakarta./Istimewa

Setelah menolak memberikan uang, permohonannya kandas. Seluruh percakapannya dengan Fero lewat WhatsApp tersebut masih ia simpan sebagai barang bukti. “Kalau perilaku aparatur terus seperti ini, bagaimana negara bisa melindungi karya inovasi warganya?” katanya.

Tempo melayangkan surat permohonan wawancara kepada Fero untuk meminta konfirmasi. Permintaan wawancara juga dikirimkan melalui nomor WhatsApp. Keduanya belum direspons. Upaya untuk menemuinya di kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual juga tak berhasil.

Kini, saat Didi berhadapan dengan LG, Ronald Lumbuun terus menghubunginya. Ia khawatir pembicaraan dengan Ronald akan berujung pada permintaan uang.

Kepada Tempo, Ronald membenarkan berulang kali mencoba menelepon Didi. Ia mengklaim ingin membahas opsi penyelesaian melalui jalur mediasi. Ia menolak menjelaskan lebih jauh maksudnya menelepon Didi dengan alasan tak lagi bertugas di kantor Jakarta. “Saat ini sudah mendapat penugasan baru di Kantor Wilayah Kemenkumham Sulawesi Selatan,” ucapnya.

Dalam sengketa ini, perusahaan Didi mempersoalkan paten alat perekam transaksi keuangan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual kepada LG. Didi mengatakan ia membuat alat ini lebih dulu untuk menjawab kebutuhan pemerintah DKI Jakarta dalam mengawasi pajak penjualan. Ia mengklaim mendaftarkan permohonan hak atas teknologi tersebut pada 2011.

Lima tahun kemudian, Didi mendapat sertifikat paten dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Sebelum hak patennya keluar, dia menduga ada plagiasi. Dalam alat serupa yang dipesan Bank Rakyat Indonesia pada 2013 tertera logo LG Smart Port.

Menurut pengacara Didi, Abdillah, teknologi yang digunakan alat tersebut identik dengan alat yang dibuat kliennya. Masalah tersebut sempat dimediasi oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, tapi gagal. LG memilih menggugat Didi dan memohon pembatalan hak paten lewat jalur pengadilan niaga.

Abdillah mengatakan LG baru mengurus permohonan paten selepas mendapat somasi dari kliennya. Paten tersebut mereka urus di Korea pada 2014, lalu dimohonkan kembali di Indonesia. Sertifikat paten itu diakui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual pada 2019. “Jadi hak itu ada pada klien kami karena lebih dulu mendaftar,” kata Abdillah.

Pengacara LG, Gery, enggan meladeni permintaan wawancara. “Kami belum bisa berkomentar karena belum mendapat izin dari klien,” ujarnya. Berdasarkan berkas gugatan Nomor Ref: 11574.5/JPK/AAJ/EIP/FBK/EPA/RIR/OBS, LG menyanggah klaim Didi sebagai penemu alat tersebut.

Menurut LG, tak ada unsur kebaruan dalam teknologi PT Prasimax. Paten terhadap mesin serupa pernah diperoleh empat orang di Amerika Serikat pada 2007-2011. Di antaranya, paten yang dimohonkan Jay Sarghami yang berjudul “Collection of Receipt Data from Point of Sales Devices”.

• • •

DIREKTUR Jenderal Kekayaan Intelektual Freddy Harris memaklumi permintaan honor oleh anak buahnya dalam proses permohonan hak, meski tidak memiliki landasan hukum. “Itu grey area,” katanya.

Menurut Freddy, pemberkasan dokumen sedianya dilakukan pemohon. Dalam praktiknya, banyak pemohon yang kesulitan dan meminta bantuan pegawai Kementerian Hukum dan HAM untuk memperbaiki dokumen serta menjelaskan substansi karya yang dipatenkan. “Karena ada tugas tambahan, boleh dong dikasih honor,” ucapnya.

Tak ada aturan tertulis mengenai besaran honor. Biasanya, kata Freddy, pelibatan pegawai Kementerian tergantung tingkat kesulitan dan keahlian setiap orang. Untuk pemeriksa senior, misalnya, biaya yang berlaku sekitar Rp 10 juta. “Ini sedang kami benahi. Saya ini memang spesialisasinya tukang cuci piring,” ujarnya.

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Freddy Harris di Jakarta, Jumat, 3 Juli 2020./TEMPO/Muhammad Hidayat

Selama ini, kata Freddy, pemohon banyak yang meminta bantuan konsultan ataupun akademikus. Belakangan, praktik itu makin menyeleweng. “Banyak di antara mereka yang jadi makelar. Mereka bahkan bisa meminta mencoret permohonan hak yang diajukan musuh kliennya,” tuturnya.

Freddy meyakini bantuan pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual bisa mempercepat proses permohonan. Ia berjanji menindak bawahannya yang bermain-main dengan hasil pemeriksaan. “Dulu saya marahi mereka karena ada 95 ribu permohonan sertifikat merek yang mangkrak. Jadi yang tidak punya komitmen silakan minggir,” ucapnya.

Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih, tak sependapat dengan Freddy. Menurut dia, layanan konsultasi permohonan paten sudah seharusnya menjadi tugas aparatur pemerintah. Kalaupun ada kewajiban pembayaran, besaran uang yang dikeluarkan semestinya diatur secara resmi.

Alamsyah khawatir pembiaran model layanan ini bisa berdampak pada kualitas layanan. Dalam catatan Ombudsman, kata dia, kepolisian dan aparat sipil negara merupakan dua sektor yang paling sering dilaporkan. “Sejak 2016 kondisinya masih seperti itu,” ucapnya. “Belum ada upaya serius untuk berubah.”

RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus