Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah draf Rancangan Undang-undang atau RUU Perampasan Aset mengendap belasan tahun di meja dewan rakyat, terkini Badan Legislatif DPR justru tak memasukkan wacana regulasi ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski dinilai penting dan pemerintah terus mendesak pengesahannya, RUU Perampasan Aset yang masuk Prolegnas Prioritas 2023 dan 2024 tak kunjung dibahas oleh DPR. Wakil Ketua Komisi II DPR Aria Bima justru menantang Pemerintah untuk menerbitkan peraturan pengganti jika dinilai mendesak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Aparat hukumnya siap enggak? Jadi melihatnya lebih holistik. Tapi kalau pemerintah keburu segera akan mengeluarkan, turunkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang),” tutur politikus PDIP itu di Rumah Tim Pemenangan Pram-Doel, Jakarta, Ahad, 24 November 2024.
Lantas tentang apa sebenarnya RUU Perampasan Aset ini dan untuk siapa diterapkan?
Dilansir dari dokumen RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana di laman Jdih.ppatk.go.id, UU Perampasan Aset adalah suatu pengaturan baru yang memungkinkan dilakukannya pengembalian aset tindak pidana tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana.
Seperti diketahui, di Indonesia hanya dikenal adanya perampasan aset dalam sistem hukum pidana dan hanya dapat dilaksanakan melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya aset hasil tindak pidana hanya bisa dirampas setelah rampungnya pengadilan.
Sedangkan prosedur penerapan hukum UU Perampasan Aset dilaksanakan dengan langkah-langkah berupa penelusuran, pemblokiran, penyitaan, dan kemudian perampasan aset tindak pidana, yang didasarkan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003.
Dengan mekanisme ini, terbuka kesempatan bagi negara untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil tindak pidana atau proceed of crimes dan aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana.
UU Perampasan Aset bukan sekedar instrumen hukum untuk memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku tindak pidana, tetapi juga merupakan usaha untuk mewujudkan tujuan terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat.
Di samping itu, perampasan aset tindak pidana dapat juga mengurangi tindak pidana, memberikan kepastian hukum, dan menjamin pelindungan hukum di Indonesia. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, terutama investor untuk melakukan investasi dan mengembangkan kegiatan usaha di Indonesia.
Secara resmi, perampasan aset sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 ayat (3) dalam RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana adalah upaya paksa yang dilakukan oleh Negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
Adapun aset tindak pidana yang dapat dirampas berdasarkan Pasal 5 ayat (1) RUU ini meliputi:
a. Aset hasil tindak pidana atau Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau Korporasi, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut;
b. Aset yang diketahui atau patut diduga digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana;
c. Aset lain yang sah milik pelaku tindak pidana sebagai pengganti Aset yang telah dinyatakan dirampas oleh negara; atau
d. Aset yang merupakan barang temuan yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana.
Selain aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menurut ayat (2) aset yang dapat dirampas berdasarkan RUU ini juga meliputi:
a. Aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan Aset Tindak Pidana yang diperoleh sejak berlakunya Undang-Undang ini; dan
b. Aset yang merupakan benda sitaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.
Sementara itu, seperti diatur dalam Pasal 6, aset tindak pidana yang dapat dirampas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terdiri atas:
a. Aset yang bernilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
b. Aset yang terkait dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
Adapun sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1), perampasan aset dilakukan dalam hal, yaitu:
a. Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya; atau
b. Terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan bahwa perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan terhadap aset yang:
a. Perkara pidananya tidak dapat disidangkan; atau
b. Terdakwa telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat Aset Tindak Pidana yang belum dinyatakan dirampas.