PENEGAK hukum ternyata belum satu pendapat tentang kriteria "membela diri" bagi terdakwa yang terbukti membunuh. Akhir April lalu, misalnya, Mahkamah Agung membatalkan keputusan Pengadilan Negeri Tarakan yang melepaskan Djafar, tertuduh perkara pembunuhan, dari tuntutan hukum. Padahal, awal April sebelumnya, hakim di Pengadilan Negeri Simalungun melepaskan seorang hansip yang terbukti membunuh penjahat dari tuntutan hukum. Sebelumnya di Jakarta, seorang petugas keamanan Pasar Kramat Jati mendapat vonis serupa, setelah menghabisi seorang pemeras di pasar itu. Hampir delapan tahun lalu, dengan "alasan pemaaf", hakim-hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan Haris bin Ali Murtopo dari tuduhan menghilangkan nyawa Rudy Chaidir. Waktu itu, baik hakim, jaksa, maupun pembela sepakat bahwa Haris terpaksa menembak Rudy karena keadaan terdesak: nyawanya terancam oleh korban. Sebab itu, vonis untuk Haris segera berkekuatan hukum tanpa perlu ditimbang-timbang Mahkamah Agung. Pengadilan Negeri Tarakan, tahun lalu, memang melepaskan Djafar dari tuntutan hukum, meski orang itu terbukti membunuh Amat. Alasan hakim, serupa dengan vonis Haris, Djafar terpaksa membunuh karena membela diri. Selain memakai alasan pemaaf, yang dikandung hukum pidana (KUHP), hakim juga mengutip sebuah ayat Alquran yang berbunyi: "Barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia dengan serangan seimbang." Serangan selmbang itulah, menurut hakim, dilakukan Djafar terhadap Amat, Agustus lalu. Waktu itu Djafar mencoba menebus arlojinya yang tergadai kepada Amat senilai Rp 5.000. Tapi Amat meminta tebusan yang melebihi jumlah itu dengan alasan telah mengeluarkan biaya lain untuk mereparasi arloji itu. Pertengkaran pun terjadi. Amat dikabarkan mengancam dengan badiknya. Tapi Djafar lebih kuat. Walau terkena tusukan, Djafar merebut badik lawannya dan menikam Amat bertubi-tubi. Kedua lelaki itu terkapar dengan tubuh berhimpitan. Mujur bagi Djafar, jiwanya tertolong, sementara lawannya tewas. Jaksa Komar, yang sebelumnya menuntut 3 tahun penjara, tidak bisa menerima alasan hakim bahwa Djafar terpaksa membela diri. Sebab, menurut Komar, ketika Djafar berhasil merebut badik dan menusuk Amat, situasinya tidak lagi bisa disebut darurat. Sebab itu, Komar mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis Hakim Agung, yang diketuai Palti Radja Siregar, sependapat dengan jaksa dan membatalkan vonis itu. Menurut para hakim agung, Djafar terbukti menganiaya dan menyebabkan matinya Amat. Sebab itu, Mahkamah menghukum Djafar 3 tahun penjara. Hanya sajaJaksa Komar, ternyata, tidak bisa mengeksekusi hukuman karena Djafar tidak diketahui lagi alamatnya. Kabarnya, ia sudah menyeberang ke Malaysia dan bekerja di sana. Vonis Mahkamah Agung itu sangat berbeda dengan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tiga bulan lalu. Hakim di pengadilan itu melepaskan seorang petugas keamanan Pasar Kramat Jati, Djakaria, dari tuntutan hukum untuk kasus yang hampir sama dengan perbuatan Djafar. Djakaria, menurut tuduhan jaksa, menusuk seorang pemeras di pasar itu, Yance Simon, dengan golok korban. Seperti juga Djafar, Djakaria sempat luka-luka akibat tusukan Simon, sebelum berhasil merebut golok pemeras itu. Lebih dari itu, Pengadilan Negeri Simalungun, awal April, memberikan voms yang sama untuk Hansip Maruli Simanjuntak, yang terbukti menembak mati seorang penjahat kambuhan di daerah itu, Raji. Hakim memakai alasan pemaaf untuk kasus itu hanya karena sebelum menembak dengan senapan laras panjang, Maruli lebih dulu dilukai Raji dengan sebilah golok (TEMPO, 20 April). Keputusan semacam itu pula yang "dinikmati" Haris bin Ali Murtopo. Menurut majelis hakim, Haris terpaksa menembak Rudy Chaidir karena sebelumnya telah terluka oleh pukulan-pukulan korban. Bahkan, ketika pistol Haris meledak, menurut hakim, Rudy hampir saja menghabisi pemuda itu dengan pecahan botol (TEMPO, 3 Desember 1977). Jadi, kapan membela diri itu dihalalkan hukum pidana? Prof. Mr. Wirjono Projodikoro, almarhum, dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia mengakui bahwa penerapan alasan pemaaf itu mengalami kesulitan dalam praktek. Sebab, seseorang baru berhak membela diri bila ia tidak mempunyai jalan lagi selain menyerang balik. Dan pembelaan diri itu hanya bisa dimaafkan bila seimbang dengan serangan lawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini