Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhir Kisah Paeran dan Ponirin

Permohonan Paeran dan Ponirin melalui lembaga Herziening ditolak Mahkamah Agung. Padahal sudah terbukti yang membunuh Atmo dan Sumarni bukan mereka, tapi Gurdial Singh dan Nealsing. (hk)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH Ponirin mengerut. Matanya memerah dan butir-butir air menggantung di kelopak matanya. Ia menangis. Narapidana itu benar-benar putus asa. Rekannya, Paeran, masih mencoba menghibur. "Sabar, Rin, pasrah sajalah." Keduanya memang tidak punya jalan lain lagi untuk keluar dari penjara Rantauprapat, Sumatera Utara, walau merasa tidak bersalah. Hari itu, Rabu pekan lalu, pengacara mereka, Agus Salim Harahap, dari LBH Pos Rantauprapat, membacakan keputusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan peninjauan kembali perkara mereka yang sudah final melalui lembaga herziening. Nasib Ponirin, 40, dan Paeran, 24, memang tidak semujur Sengkon dan Karta, dua petani Bekasi yang dibebaskan dari penjara melalui herziening. Padahal, Paeran dan Poimrin mengaku mengalami naslb serupa Sengkon dan Karta: dipenjarakan untuk kesalahan orang lain. Pada 1977, Paeran dan Ponirin diadili di Rantauprapat karena dituduh membantai tetangga mereka, Atmo dan putrinya, Sumarni. Pembunuhan itu terjadi, menurut jaksa, karena Paeran dendam: istrinya diajak Atmo berbuat serong. Keduanya membantah keras tuduhan itu. Lagi, tak satu saksi pun yang membenarkan tuduhan itu, kecuali seorang adik pemilik peternakan tempat Atmo dan Paeran bekerja, yang bernama Nealsing. Paeran dan Ponirin sudah membantah tuduhan sejak di pemeriksaan polisi. Mereka mengaku disiksa hamba hukum itu, hingga kini Paeran berjalan mengangkang seperti kingkong karena jari kakinya remuk dan engsel kakinya bergeser dari tempatnya. Tapi semua bantahannya itu percuma. Majelis hakim yang diketuai M. Bangun, November 1977, menghukum Paeran 10 tahun dan Ponirin 7 tahun penjara. Keputusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dan belakangan, 1982, diperberat Mahkamah Agung menjadi masing-masing 12 tahun penjara. Padahal, tiga tahun setelah Pengadilan Negeri Rantauprapat memvonis kedua petani buta huruf itu, ketahuan siapa pembunuh Atmo dan Sumarni. Adalah Nealsing saksi dalam perkara Paeran dan Ponirin itu, diadili di Pengadilan Negeri Lubukpakam karena membunuh bibinya sendiri. Di persidangan itu, ia mengaku pula membunuh Atmo dan Sumarni. Di Lubukpakam itu ia dihukum 20 tahun penjara. Polisi mengusut pengakuan Nealsing itu. Hasilnya: ternyata, memang benar, yang membunuh Atmo dan Sumarni adalah Nealsing. "Dia mengaku satu-satunya pelaku pembunuhan ayah dan anak itu," ujar Sersan Mayor (Pol.) Saleh Nasution, yang menyidik Nealsing. Nealsing mengaku membunuh Atmo karena dihalangi berpacaran dengan Sumarni. Dan gadis itu terpaksa dibunuhnya juga karena membela ayahnya. Berdasarkan pengakuan itu, Nealsing diadili di Pengadilan Negeri Rantauprapat tempat Paeran dan Ponirin sebelumnya divonis untuk kasus yang sama. Maka, terjadilah keanehan itu: sebuah kasus pembunuhan diperiksa oleh pengadilan yang sama dengan mengaJukan terdakwa yang berbeda-beda seolah-olah ada dua kasus pembunuhan. Lebih aneh lagi, Paeran dan Ponirin tidak dihadapkan sebagai saksi dalam perkara Nealsing. Nealsing divonis Pengadilan Negeri Rantauprapat dengan hukuman 10 tahun penjara karena dinyatakan terbukti membunuh Atmo dan Sumarni. Ketua majelis hakim yang mengadili kasus itu, Rosmanidar Hutagalung, mengaku kesulitan mengorek pengakuan Nealsing. "la seperti orang bodoh. Kadang mengaku membunuh sendirian, kadang mengatakan bersama Paeran dan Ponirin," ujar Rosmanidar. Ketika ditemui TEMPO, dua tahun lalu, Nealsing memang seperti orang hilang ingatan. Ia mengaku tidak kenal Atmo dan Sumarni dan juga dengan Paeran dan Ponirin. "Saya pernah diadili di Rantauprapat garagara abang saya, Gurdial Singh," ujar Nealsing kepada TEMPO. Menurut sumber TEMPO, memang Gurdial Singh yang harus bertanggung jawab dalam perkara itu. Konon, kata sumber itu Gurdial menyuruh adiknya membunuh Sumarni dan Atmo karena ia telanjur menghamili gadis anak karyawannya itu. Setelah pembunuhan terjadi, kabarnya, polisi memberkaskan perkara Paeran dan Ponirin dan juga perkara Nealsing. Tapi, tambah sumber itu, Gurdial Singh berhasil mengupayakan perkara adiknya itu - yang waktu itu sudah di kejaksaan - tidak sampai ke pengadilan. Lebih mencurigakan lagi, sejak pembunuhan terJadi, Gurdlal Singh menghilang dari Rantauprapat, sampai sekarang. Berdasarkan semua itu, direktur LBH Medan, Kamaluddin Lubis, memohon peninjauan kembali putusan hakim terhadap Paeran dan Ponirin ke Mahkamah Agung. Maret 1984, Hakim Daulat Napitupulu memeriksa kembali kasus Paeran dan Ponirin itu dalam sidang permohonan herziening, di Pengadilan Negeri Rantauprapat. Tapi Daulat menolak permohonan Paeran-Ponirin. Hakim berkeyakinan bahwa kedua orang itu bersama Nealsing membunuh Atmo dan Sumarni. Hanya saja, menurut Daulat, Nealsing baru diketahui belakangan. Keputusan Daulat itu dikukuhkan majelis hakim agung, yang diketuai R Roeskamdi, Februari lalu. "Saya menjadi tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada diri saya," kata Ponirin, sambil menyeka air matanya. Paeran kelihatan lebih pasrah atas nasibnya. KI Laporan Monaris Simangunsong (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus