Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ganis

Memoar Ganis Harsono "recollections of an indonesian diplomat in the sukarno era" menjernihkan persoalan mengenai hubungan Indonesia-Cina. Yang jelas, Indonesia tak sudi tunduk dalam tatanan bangsa lain.

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tahun 1966 ada sebuah pamflet dengan gambar seekor anjing yang ganjil. Kepala binatang itu berbentuk kepala manusia. Ia mengenakan kaca mata. Wajahnya terkenal, dan di bawahnya tercantum dua patah kata: "Anjing Peking". Sebuah makian, tentu. Yang dituju oleh pamflet itu - dengan kejengkelan yang juga diteriakkan para mahasiswa yang berdemonstrasi di jalan-jalan menentang pemerintah waktu itu - adalah Dr. Subandrio. Menteri luar negeri ini, yang juga menguasai sebuah badan inteligen, dl samping kedudukannya sebagai wakil perdana menteri pertama, bukanlah tokoh yang populer. Entah kenapa dia dibenci banyak orang. Tapi makian "Anjing Peking" dan pamflet itu, saya kira, pada akhirnya tak dibidikkan kepadanya pribadi. Teriakan itu, karikatur keras itu, adalah ungkapan lebih dari satu kemarahan. Barangkali tiga kemarahan. Ada kemarahan kepada PKI. Ada kemarahan kepada pejabat-pejabat yang ambisius, yang penuh imtrik di Istana, dengan pendirian yang tak jelas Ada kemarahan, mungkin juga kecurigaan yang runcing tajam kepada RRC. Peking, di hari-hari itu, memang bukan sebuah negeri impian setiap orang. Tapi kemarahan sudah barang tentu bukan api yang baik untuk menerangi persoalan. Kini, untunglah, hampir 20 tahun setelah karikatur tentang Subandrio itu, banyak emosi telah reda. Mungkin karena itu kita sudah punya waktu, dan kepala sejuk, untuk menelaah kembali sejarah dan membaca, misalnya, memoar Ganis Harsono. Ganis, yang kini sudah meninggal, bukan tokoh yang tersohor pada masa lalu. Ia hanya dikenal baik oleh kalangan diplomat dan wartawan asing karena ia pernah jadi juru bicara pemerintah yang cakap. Dalam posisi itu, ketika Indonesia - di bawah Bung Karno dan Subandrio - sibuk dengan urusan politik luar negeri, Ganis praktis orang "lini depan". Karena itu, peJabat tinggl Deparlu ini bisa bicara banyak tentang masa itu. Juga tentang hubungan Indonesia dengan Cina. Bagi saya, yang menarik dari memoar berbahasa Inggris yang terbit di Australia itu, dengan judul Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era, adalah dua bab terakhir dengan kenangan penting di dalamnya. Kenangan itu mungkin tak sepenuhnya utuh dan bersih. Sebuah memoar memang bu kan sebuah buku sejarah. Tapi yang pasti, cerita Ganis ternyata tak sepenuhnya mendukung persangkaan-persangkaan yang beredar tahun 1966 dan sesudahnya tentang kemesraan hubungan Jakarta-Peking. Ganis misalnya berkisah tentang "konfrontasi"nya dengan Marsekal Hoe Loeng, wakil menteri luar negeri Cina waktu itu, pada bulan Januari 1965 di Peking. Indonesia waktu itu sedang mimpi besar untuk menandingi PBB dengan gagasan Conference of the New Emerging Forces, yang terdlri dan negeri-negeri yang baru muncul - tapi membutuhkan di dalamnya Uni Soviet. RRC, sebaliknya, tak tampak antusias. Di depan Subandrio, Menteri Luar Negeri Zhou Enlai tetap mengutuk Moskow. Dan Hoe Loeng, wakilnya, mengulur-ulur tercapainya persetujuan tentang prosedur, hingga Ganis meledak marah dan seorang diplomat mudaIndonesla yang sudah menonjol waktu itu, Alex Alatas, berkata geram "Mas Ganis Ik word er gek van!" Diplomat-diplomat Indonesia bisa jadi gila menghadapi orang macam Hoe Loeng, tapi Bung Karno punya strategi lain. Ia membutuhkan Cina. Tapi, seperti diceritakan oleh komandan pengawal Istana, Brigjen Saboer, kepada Ganis pada suatu hari menjelang 1965, Bung Karno ingin membuat Indonesia punya orbitnya sendiri - bukan di bawah orbit Amerika, orbit Soviet ataupun orbit Cina. "Bapak", kata Saboer kepada Ganis (dan yang ia maksud "Bapak" tentu saja Bung Karno), ingin menunjukkan bahwa "Jakarta layak menjadi pusat keempat di dunia". Satu impian menggelembung, memang. Ganis sendiri tentu tak menilainya demikian: ia seorang yang loyal kepada ide-ide Bung Karno. Meskipun la tak menyembunyikan kekecewaannya, ketika menjelang pertengahan akhir 1965, Bung Karno kian menjauhi Subandrio, dan bahkan memilih untuk mempergunakan naskah tokoh PKI Nyoto ketimbang naskah yang disiapkan Ganis buat peringatan 10 tahun Konperensi Asia Afrika. Lalu, peristiwa-peristiwa pun susul menyusul. "Orde Lama" hilang, "Orde Baru" datang, dan banyak tokoh meninggal, datang, pergi, datang, pergi. Yang agaknya tetap adalah keinginan itu: dengan atau tanpa "Anjing Peking", Indonesia memang teramat sukar untuk iadl plaraan yang Jinak dalam tatanan bangsa lain. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus