PENGADILAN Tinggi Jakarta terpaksa meralat keputusannya. Tahun lalu, pengadilan banding itu menolak memeriksa perkara seorang buruh kecil, Djaelani, yang menuntut biaya pengobatan akibat kecelakaan kerja dl perusahaan asing Johnson & Son. Barulah, setelah Mahkamah Agung membatalkan keputusan itu, pengadilan terpaksa menyidangkan kasus itu kembali. Akhir April lalu, pengadilan tinggi tersebut memutuskan, perusahaan yang berpusat di Amerika Serikat itu membayar biaya pengobatan sebesar Rp 7 juta dan gaji selama enam bulan sebanyak Rp 144 ribu kepada buruhnya. Djaelani, 25, mengalami musibah hanya sebulan setelah ia bekerja di pabrik yang memproduksi obat nyamuk Raid dan pewangi ruangan Glade itu. Maret 1980, buruh mingguan itu terbakar, karena diesel pabrik meledak ketika dimatikannya. Akibatnya, hampir seluruh bagian tubuhnya terpanggang. Bersama 13 karyawan lain, pemuda itu dilarikan ke rumah sakit. Empat dari korban kecelakaan itu terpaksa dirawat lebih lama, di RS Cipto Mangunkusumo, termasuk Djaelani. Selama 40 hari dalam perawatan, dua kali ia menjalani operasi plastik. Tapi upaya para dokter RSCM itu tidak bisa menyelamatkan anak muda itu dari cacat seumur hidup. Setelah agak pulih, ia diperkenankan pulang. Djaelani kembali ke tempatnya bekerja di Pulogadung. Tapi perusahaan melarangnya bekerja kembali sebagai buruh di bagian kimia. Ia hanya disuruh mengurus tanaman di halaman pabrik. Djaelani mencoba menolak tugas baru itu karena dokter RSCM melarangnya terlalu banyak kena sinar matahari. "Tapi dokter perusahaan meminta saya tidak manja dan menyarankan agar saya mau bekerja mengurus tanaman," kata Djaelani, yang kini bekerja sebagai sopir omprengan. Akibat pekerjaan barunya itu, Djaelani menderita gatal-gatal, dan kulitnya memerah. Ia mengaku benar-benar tidak kuat dan karena itu tidak lagi masuk kerja. Tapi perusahaan memanggilnya kembali dan meminta ia menandatangani kontrak kerja selama enam bulan. Permintaan itu ditolaknya. Akibatnya, 5 Agustus 1981, biaya obatnya distop, dan 10 hari kemudian ia diberhentikan. Tiada jalan lain baginya kecuali mengadu ke LBH. "Saya hanya mengharapkan perusahaan mengobati saya sampai sembuh," ujar Djaelani. Melalui Pengacara Teguh Samudera dari LBH DKI, ia menuntut ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dan ternyata menang. Hakim memerintahkan Johnson & Son membayar biaya pengobatan sebanyak Rp 7 juta dan enam bulan gaji kepada buruh kecil itu. Johnson & Son, melalui Pengacara Yan Apul, mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Tapi, Hakim L.M. Silalahi menolak memeriksa gugatan karena menganggap kasus itu perkara perburuhan yang merupakan wewenang Departemen Tenaga Kerja. Atas putusan itu Pengacara Tuty Hutagalung dan Teguh Samudera menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung. Dan menang lagi. Ketua majelis hakim agung, Palti Radja Siregar, memerintahkan pengadilan banding itu memeriksa kasus Djaelani. Mahkamah sependapat dengan para pengacara bahwa perkara itu perdata. Akhirnya, Silalahi memeriksa kembali perkara itu dan menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. "Sebagai hakim, saya 'kan terpengaruh putusan Mahkamah Agung," ujar Hakim Tinggi Silalahi. Hakim pengadilan banding itu menolak putusannya diartikan meralat keputusan yang sudah dijatuhkannya. "Tidak benar saya membatalkan putusan saya sendiri. Yang membatalkan Mahkamah Agung, dan saya diperintahkan mengadili kembali. Kalau tidak saya adili, 'kan saya bisa dianggap bandel," tambah Silalahi, yang tetap berpendapat bahwa kasus semacam Djaelani itu termasuk masalah perburuhan. Ia membenarkan bahwa prosedur semacam yang terjadi pada perkara Djaelani ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Pengacara Teguh Samudera sudah tentu menyatakan kepuasannya atas keputusan baru pengadilan tinggi itu. "Itu baru pas dan adil," komentar Teguh. Ia berkeyakinan bahwa perkara yang diurusnya bukan kasus perburuhan. "Yang dituntut Djaelani adalah biaya pengobatan, gaji, dan ganti rugi - soal perdata. Bukan soal kecelakaan kerja," kata Teguh. Sebaliknya pengacara Johnson & Son Yan Apul, menilai bahwa keputusan terbaru peradilan banding itu tidak mempertimbangkan aspek perburuhan. Menurut hukum perburuhan, kata Yan, majikan tidak berkewajiban memberi tunjangan kepada buruh yang mengalami kecelakaan kerja, bila si buruh menghindar dari dokter yang ditetapkan perusahaan untuk merawatnya. Selain itu, katanya, kliennya sudah cukup berbaik hati kepada Djaelani. "Perusahaan itu telah membiayai perawatan sejak kecelakaan sampai berobat jalan," tambah Yan Apul, sambil mengeluarkan satu bundel kuitansi biaya pengobatan buruh itu. "Jadi, soalnya bukan uang Rp 7 juta itu. Lebih dari itu pun Johnson sanggup. Masalahnya, Johnson hanya mau membiayai perawatan oleh dokter yang ditunjuk perusahaan," ujar Yan lagi. Pengacara itu juga membantah Johnson sewenang-wenang memecat Djaelani. Dokter toh telah menyatakan sembuh, tapi Djaelani 'ngotot menyatakan dirinya sakit, dan tidak mau masuk kerja. "Karena tidak masuk-masuk, otomatis diberhentikan," kata Yan. Ia juga menyesali Djaelani yang tidak mau menandatangani kontrak kerja. "Dari buruh harian ditawari kontrak kerja dengan gaji lebih kok tidak mau," katanya. Yah, vonis sudah jatuh 'kan? Karni Ilyas Laporan Erlina Sukarno & Didi Prambadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini