SUDAH dua hari penduduk Desa Bangun, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, mencium bau bangkai. Semula penduduk menyangka bau itu berasal dari bangkai binatang. Tapi, Rabu pekan lalu, Lasiem curiga bau itu berasal dari rumah sebelahnya, rumah Ajun Komisaris Polisi (Purn.) Haji Raden Mas Muhammad Syarif -- bekas Kepala Polisi Simalungun pada 1960 -- yang beberapa hari terakhir ini disangkanya sekeluarga lagi bepergian ke Medan. Kecurigaan bertambah ketika Lasiem mendekati rumah itu. Sebab, selain bau itu tambah menyengat, ia melihat ratusan ekor belatung keluar dari celah pintu dapur yang terkunci dari dalam. Kepala Desa, Turah Suparjo, yang menerima laporan Lasiem, segera melapor ke Polsek setempat. Polisi mendobrak pintu dapur. Astaga... di depan pintu dapur tergeletak mayat Hajjah Aisyah, istri Syarif, dengan luka bacokan di kepala. Jilbab putih wanita gemuk berkulit kuning langsat itu terlepas, tanpa noda. Rok panjang hitam dan bajunya kemerah-merahan berlengan pendek penuh bercak darah kering. Setengah meter dari mayat Aisyah, tergeletak mayat suaminya, Haji Syarif, juga dengan luka di batok kepala. Sarung cokelat yang dipakai Syarif tersibak. Kopiah lebai putihnya ditemukan 15 cm dari tubuhnya. Di ruang depan, 10 meter dari mayat suami-istri itu, terlihat jenazah Saodah alias Tati, 55 tahun, adik kandung Aisyah. Mayat Saodah nampak bersujud di atas sajadah. Agaknya, Almarhumah dihabisi ketika salat. Telekungnya berlumur darah, robek bekas hantaman kapak di kepalanya. Di dekat ketiga mayat, polisi menyita sebilah kapak, parang, dan celurit, yang diduga digunakan pelaku. "Mereka korban pembunuhan," kata Kapolres Simalungun, Letkol. Rivai Siregar, yang memperkirakan korban dihabisi lima hari sebelum ditemukan. Sementara ini, polisi menduga bahwa pembunuhan itu bermotif perampokan. Sebab, perhiasan yang dipakai Aisyah dipreteli pembunuh. Hanya saja, perhiasan emas dan berlian, yang disimpan Aisyah di sebuah buffet reot, tak ditemukan bajingan tersebut. Pada 25 November lalu, hari pembunuhan terjadi, Haji Syarif, yang pensiunan Asisten Kebun PTP VII (1973) itu, terlihat bersepeda pulang salat dari masjid desa. Tak lama, ia keluar lagi memboncengkan tiga tandan pisang ke pasar desa. Sedang Aisyah, hari itu, menjenguk tetangga yang sakit, sekitar dua kilometer dari rumahnya. Dari rumah tetangga itu, Aisyah menyuruh anak tetangganya, Yasri Endang Trisnani dan Yanu, mengantarkan seikat daun singkong ke rumahnya. Sayuran itu, menurut kedua murid SD tersebut, diterima Syarif. Ketika itu Endang melihat Syarif menerima tamu di dapurnya: seorang pemuda berambut keriting pendek dan berjaket hitam. Sementara itu, di halaman, kata anak-anak itu, seorang lelaki berjaket hitam menunggu dengan sebuah sepeda motor besar. Endang dan Yanti tak mengenal jelas wajah mereka. "Kedua orang itu menoleh ke tempat lain setiap kami melihat mereka," kata Endang. Sampai sekarang, polisi belum bisa memastikan siapa tamu terakhir Syarif, ayah enam anak dari tiga istri -- Aisyah bini ketiganya. Salah seorang yang dicurigai polisi adalah Bandot, 26 tahun, anak angkat Syarif sendiri. Pada 1975, anak itu bersama empat orang temannya pernah merampok rumah ayah angkatnya itu. Akibatnya, anak itu dihukum 6 tahun penjara. Keluar penjara, Bandot pernah meminta uang Rp 2 juta kepada Syarif untuk modal berdagang di Jakarta. Tapi Syarif mengusir anak itu. Menurut sumber TEMPO di Polres Simalungun, kalaupun bukan Bandot, diperkirakan bahwa pelaku pembunuhan itu akrab dengan korban. Sebab, Syarif melayani tamunya itu dengan segelas kopi di dapurnya. Dan juga yang masih teka-teki: bagaimana caranya pembunuh itu keluar rumah yang terkunci dari dalam. MS & Mukhlizardy Mukhtar (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini