BENGKEL las di Jalan Petemon Barat 6, Surabaya, itu Sabtu petang sekitar pukul 18.00 pekan lalu, sudah sepi. Lima orang buruhnya sudah pulang. Pemilik bengkel, Yudi Sumargo, dan istrinya, Christine Yanuar, yang masih berada di bengkel itu, kaget ketika Suyanto muncul. Sebab buruh yang telah dua minggu tidak masuk karena sakit beri-beri itu langsung menggertak majikannya." Kalau memang saya dipecat, mana kebijaksanaanmu? Saya minta pesangon Rp 250 ribu," kata Yanto, 24 tahun. Lelaki bertubuh atletis itu merasa berhak mendapat pesangon setelah mengabdi selama sepuluh tahun di bengkel tersebut. Yanto ternyata tak main-main. Ia tiba-tiba mencabut gobang (golok) dari balik bajunya dan memukul-mukulkannya ke meja. Melihat kekalapan Yanto itu, Yudi, 36 tahun, keder. Ia meluluskan permintaan itu. Tapi belum sempat ia beranjak mengambil uang, Christine mencegahnya. "Nggak usah. Daripada mbayar sebanyak itu, lebih baik mati saja," kata Christine. Mendengar kata-kata ketus begitu, Yanto naik darah. Tanpa pikir panjang, gobang sepanjang 30 sentimeter itu ditusukkan ke perut Yudi. Ayah dua anak itu -- umur 1, tahun dan 2 bulan -- tak sempat mengelak. Darah mengucur membasahi bajunya. Yudi sempoyongan dan ambruk. Christine segera menolong. Tapi lagi-lagi Yanto, yang lagi kalap, menyambutnya dengan gobang. Sabetan itu mengenai muka dan dada ibu berumur 24 tahun tersebut. Tapi ia masih sempat menantang. "Ayo bunuh saja aku," teriaknya berkali-kali sebelum roboh ke lantai. Ribut-ribut itu didengar adik Christine Willy, yang tinggal di sebelah bengkel bersama ibunya. Ia buru-buru melongok. Tapi begitu ia melihat gobang berlumuran darah di tangan Yanto, nyalinya ciut. Ia mundur. Kesempatan ini dimanfaatkan Yanto untuk melarikan diri. Maka, petang itu warga Petemon Barat geger. Kedua korban dilarikan ke Rumah Sakit dr. Sutomo. Tapi keduanya tewas di perjalanan. Darah terlalu banyak mengalir dari luka di pelipis, hidung, dan dada kiri Christine -- mungkin jantungnya tertembus. Begitu pula Yudi. Perutnya robek selebar 30 sentimeter. Malam itu juga Yanto ditangkap di rumahnya di Jalan Dupak Lama, Surabaya. "Yanto samasekali tidak melawan. Ia tidak membawa uang samasekali," kata polisi yang menangkapnya. Ayah satu anak itu mengaku, setelah menusuk majikannya, ia melarikan diri ke kompleks pelacuran Kremil untuk menghibur diri. Semua itu, kata Yanto, berawal dari kakinya yang terkena sakit beri-beri basah. Karena itu, ia minta izin tak masuk kerja. Yudi tak keberatan karena sistem kerja di bengkelnya borongan. Yanto menerima upah rata-rata sekitar Rp 100 ribu per bulan. Masalah timbul ketika penyakit Yanto tak kunjung sembuh. Padahal, sudah dua minggu ia tak kerja. Mau berobat tak ada uang. Ia pun menyuruh istrinya, Tutin Harini, ke rumah Yudi, meminjam uang untuk berobat. Tapi ketika ketemu Christine, sambutan majikan perempuan itu, bagi Tutin, bagai menyepelekan. Christine tak mau diganggu karena lagi sibuk. "Saya hanya diajak bicara sambil jalan," tutur Tutin. Akibat pengaduan Tutin pada Jumat, 9 Desember, Yanto menemui Yudi. Juga mau pinjam uang. Suasana pertemuan itu agak panas. Sebab Yudi mengatakan akan memecat Yanto. "Saya minta pesangon Rp 250 ribu," cerita Yanto. Yudi, konon, setuju dan minta kepada Yanto agar kembali keesokan harinya. Nah, Sabtu sore itu, selepas buruh lain pada pulang, Yanto menemui majikannya. Tapi gobang sudah disiapkan di balik bajunya. Pembunuhan itu pun terjadi. "Saya tidak menduga, Mas Yanto yang pendiam bisa senekat itu," kata Tutin. Rekan sekerja Yanto, Latif, juga tak habis pikir atas kenekatan Yanto. "Yanto dengan Yudi selama ini baik-baik saja," cerita Latif. Memang diakuinya bahwa Yudi, yang dipanggil Ko Sam itu, suka ngomong seenaknya. "Tapi sesudah itu baik. Misalnya, Ko Sam lantas beli bakpao untuk kami makan bersama," kata Latif. Tapi soal pinjam-meminjam uang, katanya pula, Yudi termasuk pelit. Di mata mertua Yudi, Nyonya Christian, Yanto bukanlah pekerja yang baik. "Kalau duitnya banyak, ia malas. Tapi kalau duitnya habis, merengek terus minta dikasih kerjaan," kata Nyonya Christian. WY (Jakarta) dan Wahyu Muryadi (Biro Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini