Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Estimasi perolehan suara calon presiden melalui penghitungan cepat atau quick count menimbulkan ketidakpuasan di beberapa kalangan di Indonesia, baik politisi maupun peneliti. Ketidakpuasan itu rupa-rupanya muncul dari tidak tepatnya pengertian tentang perbedaan antara dua jenis estimasi yang dilakukan, sebelum pemilu presiden tahap satu dan sesudahnya. Yang satu adalah polling dan yang lain adalah penghitungan cepat. Dua jenis estimasi ini berbeda wataknya, yang kalau tidak disadari akan menimbulkan keberatan yang tidak perlu.
Polling adalah survei tentang pendapat publik, misalnya tentang kemungkinan seorang calon presiden untuk menang atau kalah dalam pemilu yang masih akan dilakukan. Maka polling adalah penelitian tentang pendapat. Kalau pendapat publik ini kemudian diumumkan ke masyarakat luas, hasil polling itu bisa mempengaruhi kecenderungan orang dalam memilih, terlebih-lebih kalau seseorang atau sekelompok orang tidak punya pendapat yang jelas tentang calon yang akan dipilihnya. Orang yang ragu-ragu dan melihat hasil polling mengunggulkan calon A dapat dipengaruhi untuk ikut mendukung calon A, apa pun alasannya. Kalau banyak orang ikut percaya bahwa calon A adalah calon terbaik dan kepercayaan ini terbentuk karena pengaruh hasil polling, polling menjadi penyebab menguatnya dukungan politik dan bukan hanya meramalnya. Di sini ramalan membenarkan dirinya sendiri, dengan cara menciptakan situasi yang diramalkannya, atau dengan kata lain, hasil polling turut membentuk pendapat umum. Situasi ini dikenal sebagai self-fulfilling forecast.
Sebaliknya, kalau hasil polling tentang keunggulan calon A membuat cemas lawan politiknya dan mereka kemudian mengerahkan dana dan tenaga untuk mengalahkan calon tersebut, yang pada akhirnya kalah, yang terjadi adalah ramalan membunuh apa yang diramalkan karena ramalan tersebut menyebabkan orang berusaha mencegah atau meniadakan situasi yang diramalkan. Dalam kasus yang kedua, ketika ramalan menggagalkan apa yang diramalkan, kita berhadapan dengan self-defeating forecast.
Penghitungan cepat bukanlah survei tentang pendapat umum, melainkan survei tentang hasil pemilihan yang sudah ada, dengan menggunakan teknik sampling. Yaitu mengambil beberapa satuan-contoh dari populasi, sebagai bahan penghitungan, dengan perkiraan bahwa satuan-contoh tersebut mewakili populasi yang diselidiki sehingga hasil sampling kurang-lebih mendekati keadaan seluruh populasi. Perlu dikemukakan bahwa penghitungan cepat tidak ada hubungannya dengan pendapat umum, tapi berhubungan dengan hasil pemilu, yaitu distribusi suara pemilih terhadap calon-calon yang ada. Seandainya pun pendapat umum dipengaruhi oleh hasil penghitungan cepat, pendapat itu tidak bisa mengubah distribusi suara yang sudah ada. Jadi, apa gerangan yang menjadi keberatan terhadap penghitungan cepat dan pengumuman hasil-hasilnya?
Tepat-tidaknya penghitungan cepat ini baru akan terbukti kalau Komisi Pemilihan Umum sudah menerima perolehan suara yang dihitung secara manual. Kalau hasil penghitungan cepat mendekati hasil penghitungan manual, reputasi lembaga yang menyelenggarakan penghitungan cepat akan naik. Sebaliknya, kalau hasil penghitungan cepat sangat jauh dari hasil penghitungan manual, reputasi lembaga tersebut akan merosot. Di sini campur tangan seorang ahli asing bukanlah hal yang patut dipersoalkan. Kalau campur tangan peneliti asing itu kemudian terbukti membuahkan hasil penghitungan cepat yang jauh melenceng dari penghitungan manual, reputasi lembaga dan ahli asing itu juga akan merosot. Dari segi ini, penerapan dan penggunaan penghitungan cepat adalah masalah teknis-profesional dan bukan masalah politik.
Namun mengapa penghitungan cepat dianggap perlu dilakukan dan mengapa kita tidak sebaiknya menunggu saja hasil penghitungan suara secara manual? Pada titik ini terlihat bahwa suatu usaha profesional yang dikerjakan dengan keahlian dan tanggung jawab dapat punya manfaat politik karena dapat menjadi bahan perbandingan dan dengan cara itu menjadi juga alat kontrol terhadap hasil penghitungan suara resmi yang dilaksanakan secara manual. Kalau ternyata hasil penghitungan manual jauh berbeda dari hasil penghitungan cepat, ada bahan perbandingan yang menuntut akuntabilitas masing-masing pihak. Pada saat itu akan muncul pertanyaan apakah hasil penghitungan manual bisa dipercaya atau hasil quick count yang lebih dapat diandalkan.
Dari segi lainnya, pelaksanaan penghitungan cepat dapat melayani kebutuhan dan hak para pemilih untuk mendapatkan informasi tentang hasil dari suara yang mereka berikan. Memang secara formal-yuridis, hasil penghitungan cepat atau penghitungan dengan cara lain harus mengalah terhadap hasil resmi penghitungan manual yang akan diumumkan Komisi Pemilihan Umum. Sekalipun demikian, asas transparansi dan akuntabilitas lebih dijamin kalau ada beberapa sumber informasi yang dapat menjadi bahan perbandingan. Prinsip cross-check bukan hanya kewajiban wartawan, melainkan juga kebajikan seorang peneliti. Kecenderungan pada monopoli informasi, selain tidak sejalan dengan hak masyarakat akan informasi, dapat mempersulit kontrol terhadap mutu dan kesahihan informasi yang disampaikan. Ibaratnya, kalau semua keterangan tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya boleh diberikan oleh menteri ekonomi, keuangan, dan industri, sementara lembaga peneliti lain dilarang mengumumkan penghitungan dan estimasi mereka, demokratisasi dalam bidang informasi sudah diblokir di depan pintu rumahnya sendiri.
Pengujian terhadap validnya informasi pun jelas tidak ada hubungan dengan nasionalitas. Apakah penghitungan seorang ekonom Amerika tentang tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia harus ditolak semata-mata karena dikerjakan oleh seorang asing? Dan apakah kita sebaiknya hanya berpegang pada penghitungan lembaga penelitian seperti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat UI karena lembaga ini adalah lembaga nasional? Mutu informasi pada akhirnya tidak ditentukan oleh asal-usulnya, apalagi kalau pertimbangan tentang asal-usul informasi ini diwarnai oleh berbagai prasangka. Bisa saja dikatakan kita sebaiknya berhati-hati terhadap informasi dari peneliti asing karena mereka jelas punya kepentingan sendiri yang dipengaruhi oleh country bias, cultural bias, political bias, atau personal bias. Keberatan ini tidak banyak menolong karena hasil penelitian oleh orang Indonesia sendiri dapat dicurigai dengan alasan yang sama. Maka hasil penelitian para ahli Indonesia tentang tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dicurigai karena etnosentris, memihak pemerintah, atau terlalu nasionalistis.
Validnya informasi pada akhirnya ditentukan oleh pengecekan terhadap prosedur yang ditempuh untuk mendapatkan informasi tersebut, yang dimulai dengan pengecekan terhadap sumber informasi, cara pengumpulan informasi atau organisasi data yang diperoleh, hingga pengolahan data tersebut. Kalau prosedur ini bisa diperlihatkan secara transparan sehingga dapat diperiksa oleh siapa saja yang berkepentingan, informasi itu dapat dikatakan valid. Setiap prasangka yang mungkin ada dapat dicek pada berbagai tahapan dari prosedur tersebut, bukan hanya menjadi dugaan yang bersifat apriori. Jadi, pada pemilihan sumber informasi, misalnya, sudah dapat diperiksa mengapa peneliti A memilih sumber B dan bukan sumber C. Apakah ada preferensi yang bersifat "ideologis" dalam pemilihan sumber ini? Pilihan kita adalah berpegang pada prosedur atau lebih mempercayai dugaan "ideologis".
Cara berpikir "ideologis" ini terlihat dari keberatan bahwa seorang peneliti asing?misalnya ilmuwan politik William Liddle?cenderung sok tahu, bergaya menggurui, dan kurang punya empati terhadap kelompok sosial yang ditelitinya. Ditarik secara lebih makro, para indonesianis belum bebas dari orientalisme. Tentu saja ini sebuah pokok kajian penting yang harus diteliti. Namun, kalaupun ada sikap orientalis seperti itu pada seorang indonesianis asing, sikap itu harus dihadapi oleh peneliti Indonesia dengan argumentasi yang non-orientalis. Keluh-kesah bukanlah kritik. Edward Said tidak mengeluh, tapi menghantam orientalisme dengan argumen-argumen yang brilian, dengan retorika yang persuasif, dan dengan fakta-fakta sejarah yang keras.
Orientalisme memang suatu warisan budaya keilmuan. Dalam paham ini, "timur" dikonstruksikan oleh ilmuwan sosial Barat untuk menyesuaikan Timur dengan keinginan dan kepentingan Barat. Cara yang diajarkan Edward Said adalah menyingkapkan kedok kepentingan Barat ini dengan memeriksa kembali secara kritis konstruksi yang dibangunnya tentang masyarakat dan kebudayaan Timur. Karena itu, yang harus dilakukan peneliti Indonesia adalah menyingkapkan kedok kepentingan semacam itu kalau memang hal itu nyata ada dalam pandangan dan peralatan keilmuan yang digunakan oleh peneliti asing yang melakukan kajian tentang Indonesia. Sebaliknya, hanya dengan mengeluh dan merasa diremehkan, kita tidak berbuat apa pun yang produktif secara ilmiah, tapi melakukan kesalahan yang sama. Jangan-jangan keluhan tentang sikap sok tahu ilmuwan sosial asing adalah kata lain untuk kurangnya pengetahuan kita tentang negeri kita sendiri. Jangan-jangan keluhan tentang sifat menggurui ilmuwan asing adalah pengakuan terselubung tentang rendahnya explanatory power hasil kerja peneliti kita. Jangan-jangan pula keluhan tentang kurangnya empati ilmuwan asing adalah isyarat etnosentrisme kita sendiri.
Orientalisme sering diburu lewat pintu depan dan ada rasa bangga menyuruhnya pergi. Namun diam-diam dia dapat menyelinap masuk melalui pintu belakang dalam oksidentalisme yang barangkali lebih familiar tapi dengan daya rusak intelektual yang sama payahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo