Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penduduk yang menggunakan hak pilihnya (voter turn-out) pada pemilihan umum legislatif 5 April 2004 berjumlah 124 juta atau 83 persen dari 148 juta yang terdaftar. Sementara itu, kartu suara yang tidak sah berjumlah sekitar 10 juta atau 7 persen. Ada yang berpendapat bahwa pemilih yang tak datang ke tempat pemungutan suara (TPS), yang berjumlah 24 juta, ditambah dengan kartu suara cacat mencerminkan jumlah suara "golongan putih" (golput), yakni sekitar 34 juta atau 24 persen. Jika demikian, yang menjadi "pemenang" pemilu 5 April adalah golput karena partai pemenang pemilu (Golkar) saja cuma memperoleh 22 persen suara.
Klaim seperti itu agaknya berlebihan. Tingkat partisipasi pada pemilu kali ini memang tercatat yang terendah sepanjang sejarah pemilu di Tanah Air. Namun rendahnya partisipasi tersebut juga disebabkan oleh buruknya kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses pendaftaran pemilih. Selain itu, sistem pemilu yang sangat rumit dan tidak efisien ditengarai menjadi penyebab utama banyaknya kartu suara yang cacat.
Penurunan tingkat partisipasi ternyata berlanjut pada pemilihan presiden tahap pertama, 5 Juli lalu. Mengacu pada perkembangan penghitungan suara yang hampir tuntas?sebagaimana ditunjukkan oleh pertambahan suara yang masuk ke Pusat Tabulasi Nasional yang sudah sangat tersendat?diperkirakan jumlah pemilih sah tak sampai 110 juta atau hanya 70 persen dari jumlah pemilih terdaftar. Mengingat bahwa surat suara cacat pada pemilihan presiden tahap pertama diperkirakan jauh lebih kecil ketimbang pemilu legislatif?apalagi setelah coblosan yang menembus lipatan dinyatakan sah oleh KPU?angka ini juga mencerminkan besarnya voter turn-out.
Anggota KPU pusat dan KPU daerah mengajukan tiga alasan utama di balik rendahnya tingkat partisipasi pada pemilihan presiden tahap pertama (Kompas, 16 Juli 2004, halaman 8). Pertama, pemungutan suara dilakukan pada masa libur sekolah. Kedua, tingginya mobilitas penduduk di kota besar yang semakin dijejali oleh kelompok migran. Alasan lainnya ialah konflik di antara elite politik yang membuat pemilih bingung.
Tampaknya, ketiga alasan di atas bukanlah penyebab utama. Seandainya masyarakat memandang pemilu sangat penting dalam menentukan nasib bangsa dan karena ini membangkitkan optimisme bagi perbaikan nasib pribadi-pribadi pemilih, niscaya masyarakat akan mengatur waktu liburannya sehingga tidak bersamaan dengan waktu mencoblos. Jika hasrat masyarakat sedemikian besarnya terhadap pemilu seraya pada waktu yang bersamaan tidak mau mengorbankan liburannya bersama keluarga, niscaya mereka akan mengurus administrasi pemindahan tempat mencoblos.
Jika alasan kedua benar, fenomena rendahnya partisipasi pemilih di perkotaan seharusnya berlaku untuk pemilu-pemilu sebelumnya karena mobilitas penduduk di kota besar sudah berlangsung lama.
Sedangkan alasan ketiga kelihatannya tak begitu signifikan. Konflik di antara elite lebih mengakibatkan penyebaran suara yang lebih merata di antara kelompok pemilih sebagaimana ditunjukkan oleh tidak terkonsentrasinya suara pemilih warga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah kepada calonnya sendiri.
Penjelasan yang lebih masuk akal di balik kemerosotan partisipasi pemilih ialah kegagalan partai politik dan elitenya dalam memahami aspirasi dan tuntutan masyarakat di satu pihak dan perubahan perilaku pemilih ke arah yang lebih rasional di pihak lain. Akibatnya, terjadilah kesenjangan antara permintaan dan penawaran di pasar politik. Tuntutan masyarakat terhadap perubahan mendasar hanya dipenuhi sebagian sehingga terjadi excess demand yang besarnya kira-kira setara dengan jumlah pemilih yang tak mendatangi TPS. Pada masa lalu, potensi excess demand juga besar, tapi bisa ditekan dengan mobilisasi dan kecurangan.
Bagaimana dengan pemilihan presiden tahap kedua? Sepanjang sampai menjelang pemungutan suara 20 September nanti kedua finalis tidak mampu meningkatkan pasokan untuk menguakkan harapan baru dan creating the future di mata masyarakat, khususnya di kalangan yang kian enggan memilih karena apatis, sudah hampir bisa dipastikan voter turn-out akan terus melorot.
Potensi terbesar dari peningkatan golput berasal dari pemilih yang mencoblos pasangan Amien-Siswono karena dipandang yang paling rasional. Dengan asumsi bahwa pemilih Wiranto akan terdistribusi lebih merata, pemenang pada pemilihan presiden mendatang adalah yang paling mampu memenuhi aspirasi pemilih Amien-Siswono.
Akhirnya, bagi saya, fenomena golput tidak perlu terlalu dicemaskan karena merupakan bagian dari proses pembentukan keseimbangan baru di pasar politik. Namun biasanya semakin besar kelompok golput akan cenderung lebih menguntungkan kandidat yang paling buruk, yang paling tidak menjanjikan perubahan, yang tidak creating the future, dan yang paling mengancam demokrasi. Terpulang pada masyarakat untuk menilai siapa di antara dua calon yang paling layak. Bagi saya, yang paling penting bagi masa depan Indonesia ialah mengenyahkan yang paling besar ancamannya bagi kebebasan dan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo