Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGIT Jakarta masih belum sepenuhnya benderang, Kamis pagi awal Juli silam. Telepon selular Sari, 28 tahun, berdering. Dari negeri seberang, Malaysia, Alex memberi perintah. ”Ambil barang di Hotel Sentral kamar 633. Sekarang!”
Kepada Tempo, akhir Agustus lalu, Sari mengaku tak bisa menolak perintah pria berkulit legam warga Nigeria itu. Saat itu ia baru sehari melahirkan anaknya yang kedua. Ia butuh uang untuk membayar biaya persalinannya ke seorang bidan di bilangan Johar Baru, Jakarta Pusat. Alex adalah suami tak sah Sari sekaligus ayah jabang bayi yang baru ia lahirkan.
Kepada ”istrinya” itu, Alex menyatakan bersedia memberi Sari Rp 5 juta. Syaratnya, itu tadi, ia harus mengambil sebuah bungkusan di Hotel Sentral di Jalan Pramuka, Jakarta Pusat.
Kala itu Sari bertanya kepada Alex apakah bungkusan yang diambil itu narkoba atau bukan. Jika itu narkoba, ia tak mau mengambil. Tapi Alex tak menjawab tegas. ”Pokoknya saya diminta harus mengambil,” ujar anak kelima dari lima bersaudara tersebut.
Setelah menitipkan bayinya ke sang bidan, dengan menumpang ojek Sari menuju Hotel Sentral. Tak sampai sepuluh menit perempuan asal Magetan, Jawa Timur, itu tiba di hotel. Di kamar 633 telah menunggu seorang perempuan dan seorang laki-laki.
Sebuah bingkisan menyerupai bungkusan buku berpindah ke tangan Sari. Saat itulah tiba-tiba lima petugas dari Badan Narkotika Nasional merangsek masuk. Sari tertangkap dengan barang bukti 871,5 gram heroin di tangan. Ia pun dijebloskan ke penjara Polda Metro Jaya.
Inilah untuk kedua kalinya Sari berurusan dengan aparat karena tersangkut kasus narkoba. Pada 4 Maret, empat bulan sebelumnya, ia tertangkap petugas Bandara Fuzhou Changle International, Cina. Saat itu ia membawa 357,55 gram heroin yang dia simpan di tubuhnya. ”Barang itu rencananya akan saya bawa ke Guangzhou,” kata Sari.
Tapi nasibnya mujur. Karena sedang hamil, ia tidak diproses secara hukum. Perempuan yang hanya sempat mengenyam pendidikan sampai tingkat SD ini dideportasi ke Indonesia.
Pulang ke Indonesia, Sari memilih indekos di Johar Baru. Ia malu pulang ke Magetan lantaran hamil dengan pria yang bukan suaminya. ”Saya malu dengan suami dan keluarga di sana,” katanya.
Keterlibatan Sari dalam jaringan bisnis narkoba berawal pada Agustus 2009. Dia tergiur iming-iming Dewi, temannya yang berprofesi sebagai kurir narkoba. Menurut Dewi, pekerjaan kurir itu gampang dan penghasilannya besar. Sari terpikat. Dia pun meninggalkan pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga di Hong Kong.
Oleh Dewi, Sari dikenalkan ke Alex, bandar narkoba yang menjalankan operasinya dari Kuala Lumpur. Selama menjadi kurir, Sari telah lima kali mengantar barang. Dua kali membawa heroin dari Malaysia ke Cina dan tiga kali membawa ganja dari Laos dan Kamboja ke Malaysia.
Imbalan yang dia terima untuk mengantar per satu gram heroin US$ 4 dan mengambil per satu gram ganja 200 ringgit. Rata-rata sekali mengantar barang haram tersebut ia menerima imbalan Rp 12 juta. Sebulan ia bisa dua kali mengantar barang. Uang yang dia terima hanya sebagian dikirim ke suaminya di Magetan. ”Sisanya untuk main-main di Malaysia,” ujarnya.
Menurut Sari, ia sudah merantau ke luar Indonesia sejak usia 16 tahun. Pada 1998, dia menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia dengan gaji 350 ringgit. Pulang ke Indonesia, ia tidak balik ke Malaysia. Pada 2000, ia memilih menjadi pembantu di Singapura dengan gaji S$ 230.
Pertengahan 2002, sepulang dari Negeri Singa, ia menikah dengan Yudho. Dari pernikahan ini mereka dikaruniai seorang anak yang kini berusia lima tahun. Karena kebutuhan ekonomi, saat anaknya berusia satu tahun, Sari meninggalkan suami dan anaknya di Magetan. Ia menjadi pekerja di Hong Kong pada 2006.
Di sinilah ia terpikat menjadi kurir narkoba, pekerjaan yang kini membawanya mendekam di balik terali besi. Dia dijerat Pasal 112 dan P asal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang ancaman hukumannya bisa hukuman mati.
Sari mengaku kini pasrah atas nasibnya. Anak keduanya, hasil hubungannya dengan Alex, sampai sekarang belum diberi nama dan masih dititipkan ke bidan yang membantu persalinannya. Ia menyatakan akan mengasuh bayinya itu jika kelak ia dipindahkan ke tahanan wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo