Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perempuan Muda di Jalur Narkoba

Wanita-wanita muda Indonesia diincar masuk jaringan kurir sindikat narkoba internasional. Direkrut melalui berbagai cara: lewat iklan di surat kabar hingga memakai jejaring Facebook dan Twitter.

20 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAYANGAN berita kriminal menarik perhatian perempuan itu. Sebuah stasiun televisi menayangkan berita tertangkapnya seorang pria di Bandar Udara Polonia, Medan, karena menyelundupkan 1,5 kilogram sabu-sabu dan 12.500 butir ekstasi.

Menurut berita, pelaku menyimpan sabu selundupan pada dua bungkus kotak cakram padat, dua kotak susu, dan gulungan aluminum foil, tempat menyimpan multivitamin. Petugas membekuk saat pria itu melintas di pintu pemeriksaan. ”Caranya kuno. Itu mudah diketahui petugas bandara,” kata perempuan bernama Elyana itu.

Akhir Agustus lalu, Tempo menemuinya di sebuah kantor di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Elyana—bukan nama sebenarnya—adalah perempuan 37 tahun yang tak bersedia menyebut nama aslinya dengan alasan keamanan. ”Panggil saja Ely,” ujarnya.

Ely bisa dibilang sudah kenyang makan asam garam soal memasukkan barang haram itu ke Indonesia. Delapan tahun sudah perempuan kelahiran Denpasar, Bali, ini malang-melintang dalam bisnis narkoba jaringan internasional, membawa masuk atau sebaliknya membawa keluar benda terlarang itu dari Indonesia. Belakangan ia ”naik pangkat”. Ia dipercaya menjadi perekrut kurir.

Keterlibatan Ely di jejaring narkoba berawal pada 1999. Seorang pria kulit hitam bernama Alex menghubungi nomor telepon pribadinya. Pria itu mengaku mendapat nomor Ely dari telepon selulernya yang telah dijual. Tiga bulan setelah perkenalan itu, Alex menawari Ely pekerjaan sebagai public relations.

Job pertama, Alex minta Ely pergi ke Kathmandu, ibu kota Nepal. Dari sini lalu terbang lagi ke India, Pakistan, Thailand, Malaysia, Kamboja, Cina, dan Singapura. Semua urusan akomodasi sudah ditanggung. Ely tinggal berangkat. ”Saya hanya diminta jalan-jalan, mencari hotel, dan melaporkan semua situasi tempat-tempat itu kepada Alex,” kata Ely.

Pulang ke Tanah Air, Ely diberi imbalan US$ 1.000 atau Rp 10 juta. Imbalan yang lebih dari lumayan untuk pekerjaan yang hanya jalan-jalan itu. Hingga bulan kelima, Ely baru sadar dirinya telah masuk jaringan bisnis narkoba. Dia berperan sebagai pembuka jalur yang akan dilalui oleh kurir pengantar narkoba.

Ely tak bisa keluar dari jaringan Alex. Belakangan, ia ditugasi merekrut kurir, mencari orang yang mau mengambil berbagai jenis narkoba dari luar dan dibawa ke Indonesia. Alex mengajarinya menjadi kurir ini lewat berbagai cara, antara lain memasang iklan lowongan kerja di media cetak lokal atau nasional. Iklan itu biasanya menawarkan posisi public relations atau pegawai freelancer. Di situ ia menulis syaratnya: good looking dan minimal mengerti bahasa Inggris.

Tak ada ketentuan jenis kelamin. Namun, dalam seleksi, Ely mengutamakan wanita. ”Karena, saat di bandara, seorang kurir wanita lebih tidak dicurigai ketimbang pria,” dia beralasan.

Perkembangan jejaring sosial di Internet juga dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Ely. Ia merekrut calon kurir lewat surat elektronik, Friendster, Facebook, dan Twitter. Ely sendiri memiliki berbagai akun di jejaring pertemanan itu dengan identitas palsu. ”Kami seleksi. Yang cantik kami kirimi e-mail,” kata Ely.

Semua iklan lowongan atau e-mail yang dikirimkan tak mencantumkan alamat kantor, hanya nomor telepon. Kepada pelamar yang menghubungi, Ely menjelaskan kantornya bergerak di bidang ekspor-impor bisnis garmen. Baru setelah lima kali ”jalan” dan dinilai bisa ”dipegang”—seorang kurir diberi tahu alamat ”kantor”. ”Sekali saja mereka rewel, kami tak akan memakainya,” kata Ely.

Gaji yang ditawarkan cukup menggiurkan. Sekali berangkat ke luar negeri, seorang kurir mendapat penghasilan bersih Rp 3,5 juta. Itu untuk satu minggu kerja. ”Inilah yang membuat para perempuan remaja kita terjerat jaringan narkoba,” kata Kepala Unit Psikotropika Direktorat Narkotika Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Siswandi. Menurut Siswandi, di luar upah itu, mafia narkoba masih memberikan iming-iming bonus uang yang nilainya bisa puluhan juta rupiah.

Jeane Mandagi, anggota staf ahli Badan Narkotika Nasional (BNN), punya cerita lain perihal perekrutan kurir narkoba. Dari puluhan kurir yang tertangkap dalam operasi BNN, Jeane menyimpulkan para bos mafia narkoba banyak merekrut kurir dari wanita muda yang biasa nongkrong di tempat hiburan. Para bos itu, kata Jeane, biasanya warga Afrika. ”Karena para perempuan itu biasanya butuh uang untuk foya-foya,” ujarnya.

Caranya, para perempuan itu dijadikan sahabat, teman dekat, atau kemudian diperistri. Setelah itu, baru diperalat jadi kurir. ”Setelah masuk, mereka susah keluar karena diancam untuk dibunuh.”

Penggunaan kurir wanita Indonesia di bisnis narkoba memang terus marak. Data yang diterima Badan Narkotika Nasional dari Kedutaan Besar Indonesia di Cina, akhir April tahun ini, menyebut ada 32 wanita Indonesia yang sedang menunggu vonis hukuman mati di Negeri Tirai Bambu tersebut. Puluhan perempuan usia 18-30 tahun itu terlibat penyelundupan narkotik ke berbagai kota di Cina.

Penyelundupan narkoba ke Tanah Air juga tak putus-putusnya. Sabtu dua pekan lalu, misalnya, petugas Bandara Soekarno-Hatta menangkap dua warga negara Iran yang berusaha menyelundupkan sabu-sabu senilai Rp 1 miliar.

l l l

SEBAGAI pembuka jalur, pekerjaan Ely adalah memastikan jalan yang akan dilalui kurir aman dari gangguan petugas. Tugas terberat menembus pengamanan Bea-Cukai di bandara. Untuk ini, dia harus membuat jaringan ke dalam Bea-Cukai. ”Itu tidak terlalu sulit,” ujarnya. Menurut Ely, pada bulan kelima menjadi anggota narkoba, dia sudah berhasil membuat semua bandara internasional di Indonesia jadi ”jalur bebas” jaringan narkoba.

Bandara pertama yang digarap Ely adalah Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Seorang petugas Bea-Cukai dia suap. Kurirnya pun leluasa melenggang, lolos dari pantauan sinar-X dan pemeriksaan petugas bandara.

Dari petugas Bea-Cukai di Denpasar inilah komplotan Ely mendapat kontak petugas di Medan, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta yang bisa digandeng. Menurut Ely, ia harus mengeluarkan duit Rp 300-500 juta untuk ”menaklukkan” aparat tersebut.

Dengan jalur yang sudah tercipta itu, anggota Ely bisa tiga kali dalam sepekan menyelundupkan narkoba ke Indonesia. Sekali jalan, rata-rata mereka membawa 6,1 kilogram. Jumlah ini bisa naik kalau di Indonesia barang haram itu tengah kosong. ”Jadi, kalau ada yang tertangkap, itu bukan kebodohan kurirnya, melainkan ada kebocoran informasi di Bea-Cukai,” katanya. ”Karena kurang duit, misalnya.”

Selain Bea-Cukai, instansi yang mesti ”dipepet” adalah Imigrasi. Ini berkaitan dengan paspor. Dengan uang Rp 5 juta, kata Ely, anggotanya bisa memiliki paspor hingga delapan, ”Dengan nama dan tanda tangan berbeda.”

Baru setelah jalur yang akan dilalui dipastikan aman, seorang kurir wanita dikirim ke luar negeri. Bekalnya koper berisi kain batik. Di perjalanan kurir ini mendapat pantauan kaki-tangan sindikat yang selalu menghubungi atau memberikan perintah lewat telepon. ”Itu satu-satunya alat komunikasi. Jadi, kalau telepon ini rusak atau hilang, artinya operasi gagal.”

Di negara tujuan, kurir tak langsung mendapat ”barang”. Biasanya ia diminta berbelanja. Saat itulah jaringan mafia bekerja. Narkoba dikemas untuk disiapkan. Menurut Ely, penyerahan narkoba biasa dilakukan di hotel bintang lima. Koper milik kurir Indonesia ditukar dengan koper berisi narkoba. Sabu atau heroin disusupkan pada bagian antara lapisan terdalam tas dan kulit luar.

Untuk menghindari sinar-X, kulit bagian dalam tas dilapisi kertas aluminium. Adapun bagian dalam tas yang kosong dijejali belanjaan kurir yang biasanya berupa suvenir atau baju. Selain lewat koper, narkoba bisa diselundupkan dengan cara dimasukkan ke tubuh, ditelan, atau disusupkan lewat dubur.

Kadang-kadang, di bandara para kurir ini berhadapan dengan anjing pelacak. Untuk menghadapi ancaman hewan yang tak bisa diajak kompromi itu, para kurir dilengkapi ”senjata” parfum. Parfum dengan aroma tertentu disemprotkan ke sekitar bungkusan narkoba atau juga tubuh kurir sehingga membuat hidung anjing pelacak tak mengendus narkoba itu. ”Sindikat ini bekerja profesional. Mereka punya laboratorium penelitian sendiri untuk membuat parfum macam itu,” kata Siswandi.

Di bandara Indonesia, kurir akan dijemput kurir lainnya yang akan membawa barang haram itu ke tempat tertentu. Dua kurir ini tetap dalam pengawasan seorang pemantau untuk memastikan semuanya aman. Jika ternyata ada yang tertangkap, pengawas dengan cepat memberikan informasi ke ”markas” tentang hambatan ini. Dengan cepat anggota jaringan menyebar dan menghilang. Jika semuanya aman, barang diantar, biasanya ke hotel atau apartemen. Sampai di sini, tugas kurir wilayah internasional selesai. Di Indonesia tugas mendistribusikan narkoba ini diambil alih kurir lokal.

Di dalam negeri barang-barang itu diselundupkan lagi dengan cara dimasukkan ke berbagai kemasan, misalnya susu bubuk. Seorang kurir bernama Susana kepada Tempo mengaku bertugas mengantar narkoba dari Medan untuk wilayah Jakarta. Narkoba itu dibawanya naik bus ke Jakarta. ”Serah-terima dilakukan di halte busway atau di jembatan penyeberangan,” ujarnya. Siswandi mengakui sindikat pengedar narkoba memang memakai sistem jaringan sel terputus. ”Ini strategi mereka. Kalau tertangkap satu, tidak merembet ke yang lain,” kata Siswandi.

l l l

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Tomas Sugijata hakulyakin tak ada anak buahnya yang terlibat sindikat pengedar narkoba jaringan internasional. Dia menunjukkan alasannya. ”Berbagai penyelundupan narkoba selalu bisa kami gagalkan,” kata Tomas.

Keterangan Ely perihal gampangnya para kurir narkoba memperoleh paspor palsu juga dibantah Direktur Penyidikan dan Penindakan Direktorat Jenderal Imigrasi Husein Alaydrus. Menurut Husein, proses pembuatan paspor sudah menggunakan teknologi canggih. Data sidik jari pembuat paspor tersimpan di database Dirjen Imigrasi. ”Kalau mau bikin lagi dengan nama lain, pasti dari sidik jari ketahuan,” kata Husein.

Siswandi mengakui keberhasilan Bea-Cukai, Imigrasi, dan kepolisian dalam menggagalkan upaya penyelundupan narkoba ke Tanah Air terus meningkat. Hanya, kata dia, ketiga instansi itu harus terus memperketat pengamanan pintu masuk ke Indonesia.

Indonesia, kata Siswandi, akan terus menjadi tempat incaran para sindikat narkoba internasional. ”Itu karena harga jual narkoba di Indonesia paling tinggi di seluruh negara Asia,” katanya. Dia mencontohkan di Malaysia dan Cina. Di sana harga satu gram sabu jika dikurskan ke rupiah sekitar Rp 500 ribu. Sementara itu, di Indonesia bisa mencapai Rp 2 juta. ”Dengan ongkos operasional yang murah, keuntungan para sindikat itu besar sekali,” kata Siswandi.

Jika transaksi itu bernilai ratusan miliar rupiah, tentu jumlah yang sedikit jika para mafia sekadar menebar uang jutaan atau ratusan juta ke kurir atawa aparat yang sudi disuap.

Erwin Dariyanto

Seribu Jalan ke Indonesia

Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi sindikat peredaran narkoba. Berbagai cara dilakukan untuk mengirim narkoba masuk Indonesia. Secara umum ada dua jalur yang digunakan, yakni udara dan laut.

27 April 2010

Aparat menangkap penyelundup narkoba di Bandara Adisutjipto.

Tersangka sekaligus kurir: Rini, Jesica alias Aprini.

Buron: KBL (warga negara Nigeria); YL, ANS, SRW (ketiganya perempuan WNI).

Barang bukti: 2,6 kilogram sabu-sabu.

Modus: Sabu disimpan dalam koper.

15 Juni 2010

Terungkap di Jakarta

Tersangka: F. Fardin, J. Sohrab, E. Mansour, dan N. Sobri, ketiganya berkewarganegaraan Iran.

Barang bukti: Sabu-sabu 1.980 gram.

Asal barang: Doha, Qatar.

Modus: Disembunyikan di gagang koper dan sol sepatu.

Pada hari yang sama tertangkap juga Ahmad Reeza, pria berkewarganegaraan Iran. Dengan barang bukti 580 gram sabu-sabu, disimpan di dalam dinding tas yang dibawa dari Doha.

17 Juni 2010

H.K. Razekani dan S.K. Razekani (warga Iran) membawa 582 gram sabu-sabu. Sabu-sabu disembunyikan di dasar koper.

13 Juli 2010

Aparat menangkap penyelundup narkoba di Bandara Ngurah Rai, Denpasar.

Tersangka: EM (perempuan warga negara Indonesia); Uche, dan Michael (keduanya pria berkewarganegaraan Nigeria).

Barang bukti : 2 kilogram sabu.

Buron: Madam Mb (warga negara Nigeria), Mrs BAF (warga Filipina).

12 September 2010

Tertangkap di Bandara Soekarno- Hatta.

Tersangka: Huang T.M. dan Cheng W.C., keduanya warga negara Taiwan.

Barang bukti: 5,15 kilogram sabu-sabu.

Asal barang: Hong Kong.

Modus: Sabu disembunyikan dalam kemasan teh.

Jalur Laut

Menggunakan jalur tidak resmi alias pelabuhan tikus.

  • Dari Ulu Tiram, Johor Bahru, Malaysia, dibawa perahu boat ke Tanjung Sengkuang, Batam.
  • Atau dari Sungai Rengit, Johor Bahru, ke Tanjung Sengkuang, Batam.

29 Maret 2010

Marlina tertangkap di Jakarta karena kedapatan menyelundupkan sabu 4.587 gram dari Johor Bahru, Malaysia.

3 Juni 1010

TS dan ET, keduanya warga Jakarta, tertangkap polisi karena membawa 6,35 kilogram sabu-sabu dari Port Klang, Malaysia.

27 Agustus 2010

Imansing Kandangwa asal Nepal tertangkap membawa 1.451 kilogram sabu-sabu dari Pelabuhan Stulang, Malaysia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus