Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMAT tinggal 3G! Kalimat singkat itu muncul di halaman sitrawimax.com milik PT First Media. Operator telekomunikasi kelompok usaha Lippo itu menyatakan telah meninggalkan teknologi akses Internet generasi ketiga. Mereka mulai menawarkan secara komersial Sitra Wimax, generasi keempat alias 4G teknologi pita lebar (broadband) Internet, untuk kawasan Puri Kembangan dan Kebon Jeruk, Selasa dua pekan lalu.
Pengguna Internet di dua kawasan Jakarta Barat itu sekarang bisa menikmati layanan Worldwide Interoperability for Microwave Access (Wimax), dengan koneksi kecepatan 15 kali lipat dari kecepatan 3G. ”Target kami Oktober nanti grand launching Sitra Wimax di seluruh Jakarta,” kata Hengkie Liwanto, Direktur Utama First Media, kepada Tempo di Jakarta.
First Media bukan satu-satunya yang menawarkan Wimax. Tujuh perusahaan lain juga akan menjajakan layanan itu. Mereka semua pemenang tender layanan pita lebar nirkabel (broadband wireless access) standar 16D yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 16 Juli tahun lalu. Kementerian Komunikasi telah memberikan izin prinsip penggunaan spektrum frekuensi 2,3 gigahertz untuk menggelar Wimax di seluruh Indonesia pada November 2010.
Dengan layanan itu, pemerintah berharap tarif komunikasi dan Internet akan semakin murah dan jumlah penggunanya bertambah. Layanan pita lebar nirkabel ini juga disiapkan menyongsong perkembangan telekomunikasi masa depan yang mengarah ke komunikasi data dan multimedia. (Lihat ”Bisnis Gurih Jaringan Pita Lebar”.)
Setahun berlalu, penyelenggaraan Wimax secara nasional belum terlihat tanda-tandanya. Tampaknya, hanya First Media yang bisa memenuhi tenggat awal November nanti. Empat perusahaan lain masih tanda tanya besar. Tiga lainnya mengundurkan diri. Untuk sementara ini, masyarakat di luar Jakarta masih harus menyimpan dulu mimpi mengakses Internet dengan kecepatan tinggi. Pita lebar hingga 10 megabit per detik yang pasti asyik dipakai mengunduh video atau film berdurasi panjang ini entah kapan menjangkau daerah di luar Jakarta.
Perusahaan-perusahaan penerima lisensi Wimax punya dalih atas keterlambatan itu. ”Sedang dalam proses persiapan,” kata Direktur Utama Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto. Anak perusahaan PT Indosat itu kebagian melayani Jawa Barat minus Bogor, Tangerang, dan Bekasi. ”Topografi Jawa Barat berbeda dengan Jakarta. Butuh solusi berbeda,” ujar Indar memberikan alasan.
Adapun Telkom mengklaim sudah menggelar Wimax frekuensi 3,3 gigahertz di Sumatera, Kalimantan, Jakarta, dan Bandung sejak Februari 2010. Tapi Wimax frekuensi 2,3 gigahertz milik Telkom masih dalam proses pembangunan. ”Kami berharap bisa merealisasinya akhir tahun ini,” kata Eddy Kurnia, juru bicara Telkom. Telkom kebagian melayani Jawa bagian tengah dan timur, Papua, Sulawesi bagian utara, dan Maluku.
CHIEF Executive Officer PT Xirka Dama Persada, Sylvia Sumarlin, tiba-tiba muncul di Istana Wakil Presiden, Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu siang pekan lalu. Putri bekas Menteri Keuangan J.B. Sumarlin itu memperkenalkan chipset, perangkat telekomunikasi Wimax produksi perusahaannya, kepada Wakil Presiden Boediono. Rupanya, memperkenalkan chipset hanya agenda sampingan. Dalam pertemuan selama 45 menit dengan Boediono, Sylvia, yang ditemani Direktur Pengkajian Teknologi Informasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Hamam Riza, menyampaikan keluhan tentang regulasi Kementerian Komunikasi yang dianggap mengganjal penyelenggaraan Wimax di negeri ini.
Sylvia menyoroti tiga keputusan Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi pada 2009 yang menetapkan standar Wimax 16D. Aturan itu melengkapi Peraturan Menteri Komunikasi Nomor 7 Tahun 2009 yang mensyaratkan kandungan manufaktur lokal 40 persen untuk perangkat stasiun pemancar (base station) dan 30 persen untuk perangkat penerima pelanggan (subscriber station). ”Padahal standar global sekarang memakai 16E,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Standar seri 16D adalah teknologi Wimax nomadik. Dengan teknologi ini, pelanggan hanya bisa mengakses Internet dari satu tempat tertentu alias tidak bisa pindah dari satu tempat ke tempat lain. Adapun Wimax seri 16E memungkinkan pelanggannya mengakses Internet secara mobile (bergerak), persis sama dengan telepon seluler. ”Sejak 2008, dunia internasional tidak menggunakan Wimax seri 16D karena teknologinya sudah usang,” kata Sylvia.
Soalnya, menurut Sylvia, Kementerian Komunikasi berkukuh penyelenggaraan Wimax harus menggunakan seri 16D. Tentu saja perusahaan-perusahaan penerima lisensi Wimax ragu untuk berinvestasi karena harus membeli komponen impor yang tidak diproduksi lagi oleh produsen perangkat alat telekomunikasi (vendor) di luar negeri. Harga komponen impor mahal lantaran sudah tidak ada pasokan lagi. ”Tujuan menginginkan Internet murah sulit tercapai.”
Vendor lokal, menurut putri salah satu arsitek ekonomi Orde Baru ini, juga akan rugi karena memproduksi perangkat teknologi yang tidak bisa dipasarkan ke luar negeri lantaran sudah ketinggalan zaman. ”Perangkat standar 16D tak bisa roaming internasional.” Gara-gara standar inilah, ujar Sylvia, realisasi Wimax secara nasional berjalan sangat lambat.
Juru bicara Kantor Wakil Presiden, Yopie Hidayat, mengatakan Boediono dalam pertemuan tersebut belum mengambil keputusan karena peraturan Wimax merupakan domain Kementerian Komunikasi. ”Wakil Presiden akan mendalami persoalan lebih dulu. Yang jelas, Wapres mendukung teknologi produksi Indonesia.”
Kepala Pusat Komunikasi dan Hubungan Massa Kementerian Komunikasi Gatot Dewa Broto menjelaskan, pemerintah menetapkan Wimax standar 16D karena ingin memberdayakan manufaktur dalam negeri. Pemerintah bisa saja menggunakan seri 16E. Tapi nantinya Indonesia akan sangat bergantung pada produk impor. ”Harganya juga tidak akan kompetitif. Political will mendukung industri lokal juga hilang,” ujarnya.
Sumber Tempo membisikkan, Wimax sarat dua kepentingan besar: pemerintah Indonesia ingin memberdayakan pabrikan lokal dan, sebaliknya, negara lain ingin produk perusahaannya tetap bisa masuk ke sini. Komisi perdagangan Jepang, misalnya, pernah datang ke Jakarta. ”Mereka menilai syarat ketentuan lokal menghambat investasi asing,” ujar sumber ini.
Tahun lalu, pemerintah Amerika Serikat juga mengadu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gloria Blue, perwakilan Kementerian Perdagangan Amerika Serikat, pernah meminta panel WTO mengagendakan persyaratan konten lokal di industri telekomunikasi sejumlah negara, di antaranya Cina dan Indonesia. Permintaan itu tak pernah dibahas. ”Organisasi itu hanya memasukkan catatan keberatan Amerika dalam sidang,” ungkap sumber Tempo.
Sesungguhnya keberatan Jepang dan Amerika sah-sah saja. Pemerintah Indonesia, menurut Gatot Dewa Broto, mempersilakan Negeri Sakura dan Negeri Abang Sam mengadukan syarat kandungan manufaktur lokal dalam Wimax ke WTO. Pemerintah Indonesia yakin tidak melanggar aturan perdagangan dunia karena syarat lokal sesuai dengan standar internasional. Jumlahnya juga rendah, rata-rata hanya 35 persen, dengan pelaksanaan bertahap selama lima tahun.
Mantan Wakil Direktur Utama Telkom Garuda Sugardo berpendapat penyelenggaraan Wimax dilematis karena saat kelahirannya sudah dibayang-bayangi oleh teknologi baru bernama Long Term Evolution (LTE). Wimax beroperasi pada spektrum frekuensi tertentu, misalnya 2,3 gigahertz. Adapun LTE merupakan evolusi dari teknologi yang merajai dunia sekarang, yakni Global System for Mobile Communications (GSM). Sistem terakhir ini merupakan sistem terbuka yang bisa beroperasi di spektrum mana saja. ”Dunia sudah bergerak ke LTE,” ujarnya.
Kecepatan LTE bisa mencapai 100 megabit per detik, jauh lebih cepat dibanding Wimax. Operator telepon seluler di Indonesia akan dengan mudah menanamkan modalnya pada spektrum yang ada saat ini. Karena itu, para penerima lisensi Wimax bimbang: mengembangkan Wimax atau mengembangkan akses Internet supercepat itu. ”Wimax muncul karena permintaan pemerintah. Operator khawatir pasarnya tidak ada lagi,” kata Garuda. ”Sebaliknya, LTE berkembang atas permintaan konsumen. Pasarnya luas karena tingkat kebutuhan tinggi.”
Tentang Long Term Evolution ini, Gatot punya cerita menarik. Beberapa operator seluler ternyata sudah melakukan uji coba teknologi baru itu. Telkom, misalnya, sudah mengiklankan LTE di media massa. Begitu pula PT XL Axiata. ”Kami akan membangun jaringan sendiri atau bersama perusahaan lain,” ujar Direktur Utama XL Hasnul Suhaimi.
Anehnya, kata Gatot, operator belum berani meminta pemerintah mengizinkan LTE. Keinginan itu hanya disampaikan menggunakan ”tangan” asosiasi GSM yang bermarkas di London, Inggris. Pada Maret lalu, para petinggi asosiasi GSM menyambangi Menteri Komunikasi Tifatul Sembiring. Mereka meminta pemerintah segera menggelar Long Term Evolution. ”Tapi posisi pemerintah jelas, belum membuka LTE dalam waktu dekat,” kata Gatot.
Sampai sekarang, pemerintah tetap meminta para pemenang tender merampungkan Wimax. Alasannya, pemerintah, masyarakat, dan perusahaan telekomunikasi akan rugi bila Wimax terlambat. ”Grand design komunikasi data dengan tarif Internet murah di seluruh Indonesia tak tercapai,” kata Gatot. Perusahaan telekomunikasi jelas akan rugi karena sudah menyetor uang miliaran rupiah untuk mendapat izin prinsip Wimax.
Tampaknya, kompromi akan menjadi solusi terbaik untuk memecahkan persoalan Wimax dan LTE. Menurut Garuda Sugardo, pemerintah bisa berkompromi melindungi operator yang sudah mendapat lisensi Wimax, tapi tetap memberikan hak hidup bagi operator seluler penyedia layanan 3G. ”Pemerintah juga harus memberikan napas bagi teknologi baru seperti Long Term Evolution.”
Padjar Iswara, Nieke Indrietta, Yandhrie Arvian
Pemegang tender layanan pita lebar nirkabel
- PT Telkom
- PT Indosat Mega Media
- PT First Media
- PT Jasnita
- PT Berca Hardayaperkasa
- PT Internux
- Konsorsium PT Comtronics System dan PT Adiwarta Perdana
- PT Rahajasa Media Internet (Konsorsium Wimax Indonesia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo