SEJAUH-JAUH seorang juru tafsir memandang ke depan, pandangannya akan terbatas. Sebab, "benak musafir telah terisi dengan keyakinan, pengetahuan, atau informasi" yang diperoleh dari sosialisasi dan pendidikannya. Dengan kata lain, juru tafsir mana pun "pasti memiliki horison penafsiran yang mengondisikan persepsinya mengenai arti ayat tertentu dalam Quran," kata Samsurizal Panggabean, salah seorang pembicara dalam diskusi tentang Tafsir dalam Konteks Sosial di IAIN Jakarta, dua pekan lalu. Maka, makna sebuah ayat akan berbeda bagi Imam Syafii dan bagi seorang pemulung pada masa sekarang di Indonesia. Pendapat belakangan ini datang dari pembicara lain dalam diskusi itu juga, Masdar Mas'udi, seorang cendekiawan muslim. Dua pendapat yang sinkron itu langsung atau tak langsung mengesahkan perlunya ada penafsiran kembali Quran sesuai dengan permasalahan yang berkembang. Dan itulah maksud penyelenggara diskusi, dan juga makna sebuah buku yang baru terbit tahun ini, Membumikan al-Quran, karangan Quraish Shihab. Dan sebenarnya saja buku yang ditulis oleh salah seorang pengurus Majelis Ulama Indonesia itulah yang menjadi pokok bahasan diskusi tersebut. Dan semua pembicara mendukung ide Membumikan al-Quran, bahkan melengkapinya dengan berbagai pendapat yang menegaskan pentingnya penafsiran yang lebih relevan. Seseorang di Jakarta tahun 1992 ini, misalnya, yang tiba-tiba menghadapi masalah sulit mencari pegangan pada tafsir sebuah ayat untuk memecahkan masalah tersebut, karena tafsir itu umumnya berasal bukan dari zamannya. Di situlah buku Quraish Shihab menjadi berarti. Buku setebal 421 halaman ini memberikan landasan dan contoh contoh agar orang tak berhenti pada satu tafsir dari suatu zaman. Untuk itu, ia perlu mengetahui "kebenaran al-Quran" sejarah ilmu tafsir dan masalahnya, kebebasan dan keterbatasan penafsiran, setidaknya. Dan hal-hal itu diuraikan cukup jelas dalam buku ini. Dengan pemahaman seperti yang diuraikan dalam buku itu, diharapkan orang tak ragu lagi mengikuti kata Nabi Muhammad SAW, seperti yang diingatkan oleh Masdar dalam diskusi itu: mintalah keputusan pada hatimu sendiri. Dan seandainya orang tetap tak berani menafsirkan sendiri sebuah ayat, karena ia punya keterbatasan sebagaimana diuraikan oleh Quraish Shihab, ia tak lalu berpegangan pada satu tafsir secara kaku. Ia boleh, dan begitulah sebaiknya, melakukan "dialog" dengan tafsir tersebut, bahkan dengan Quran. Hal yang disebut-sebut dalam Membumikan al-Quran dan ditegaskan dalam diskusi oleh Samsurizal, dosen Universitas Gadjah Mada yang mendalami soal tafsir. Lalu bagaimana itu ber-"dialog"? Dalam bab "Agama dan Problematikanya," serta "Islam dan Kemasyarakatan" dalam buku Quraish, beberapa tulisan boleh dianggap sebuah "dialog" tentang suatu hal: meninjau dari segala sudut, dari pendapat para ahli di segala zaman, sebelum menarik satu kesimpulan apa sebenarnya kata Quran. Umpamanya dalam artikel yang membahas absolutisme dan relativisme agama, soal perubahan sosial, soal riba, soal kependudukan dan lingkungan hidup. Quraish memaparkan berbagai pendapat, berbagai pandangan, agar orang tak lalu memutlakkan sebuah doktrin -- bukankah yang mutlak cuma Tuhan? Bila demikian, hakikat agama mudah terlaksana, yakni membantu dan memudahkan hidup, bukan sebaliknya. Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini