SEREGU polisi dengan senapan terkokang membentuk lingkaran,
melindungi seorang berpakaian lusuh dan basah, yang baru saja
keluar dari rerumpunan padi persembunyiannya. Tapi percuma,
200-an orang bersenjata golok, pisau, pentungan, dan bambu
runcing, sudah terlalu liar. Tidak lama barikade polisi itu
jebol. Dan Toha, 30 tahun, lelaki itu, dengan dua tangannya
meremas kepala, hanya sempat berteriak minta tolong beberapa
kali. Selanjutnya dia bak segumpal daging sapi di tengah
kerubutan ratusan ikan piranha -- mayatnya remuk.
Pagi 12 April, hari masih terang tanah di persawahan di tepi
Kali Cimanuk, Desa Jatibarang Baru, Kabupaten Indramayu polisi
membawa dua mayat dari desa ini. Selain yang sudah disebut,
Toha, ada lagi Darsim, 27 tahun, juga mati dengan cara yang
sama: dirajam penduduk yang marah. Masih untung, polisi bisa
menyelamatkan dua teman almarhum lainnya, Eboy dan Tasrori, yang
sekarang mendekam di dalam sel polisl.
Peristiwa tersebut sangat disesali polisi. Paling tidak, usaha
polisi mengusut Golek Merah, komplotan garong di daerah itu jadi
agak tersendat. Darsim, misalnya, menurut polisi adalah salah
seorang tokoh komplotan itu, sehingga diharapkan dari mulutnya
akan diperoleh petunjuk yang agak jelas.
Golek Merah (golek = boneka) julukan yang diberikan penduduk
setempat kepada sebuah -- mungkin juga lebih dari satu
komplotan, yang menurut Letda Yusup Soekarno dari kepolisian
Indramayu, mempunyai ciri: Setiap bergerak selalu bergerombol 6
sampai 8 orang, bertopeng merah, bersenjata pistol dan golok,
dan cuma menggarong uang dan emas. Ciri lainnya, mereka sangat
royal membuang tembakan, dan cepat sekali menghilang setelah
bekerja. "Diduga mereka berkendaraan mobil," ujar Yusup. Muncul
dua tahun yang lalu, tapi polisi belum juga membaui jejak
mereka. Padahal, menurut Yusup, polisi Indramayu sudah
bekerja-sama dengan polisi Subang. Diduga gerombolan itu berasal
dari daerah itu.
Korban pertama nampaknya rumah Haji Aliyudin, di Desa
Tambakdahan, Subang, April 1982. "Daripada dianiaya, saya
serahkan semuanya pada mereka," tutur orang tua itu kepada Aris
Amiris dari TEMPO. Tapi, enam perampok malam itu tidak mau tahu
barang berharga lainnya, maka cuma 20 gram emas Pak Haji yang
mereka angkut.
Setelah menggarong beberapa korban lainnya, empat bulan
belakangan mereka mengganas di Indramayu. Perampokan dengan ciri
sama itu, sudah terjadi 4 kali, "menimbulkan kerugian jutaan
rupiah," kata Yusup dongkol. Terakhir, malam itu rupanya giliran
rumah Casmito, 45 tahun, yang membuka kedai di Kampung
Pilangsari.
Baru saja usai acara TV, dan Casmito baru akan menutup kedainya,
ketika malam itu 4 orang berkupluk merah menerobos masuk. Mereka
mengamang-amangkan clurit dan satu di antaranya menodongkan
pistol. Karena rupanya tuan rumah dianggap terlalu lamban
melayani tamu itu segera sebatang kayu bulat mendarat di tubuh
Casmito, eh, malah Casmito berteriak. Ini menyebabkan
tetangganya, Imam, 31 tahun, keluar rumah. Tapi segera disambut
tembakan pistol oleh salah satu dari dua kawanan garong yang
berjaga di luar rumah. Imam tersungkur dengan lutut dirobek
peluru.
Tetapi salak pistol tadi membuat seisi kampung yang berpenduduk
100 rumah tangga itu terjaga. Mereka segera mempersenjatai diri
dengan apa saja setelah maklum apa yang sedang terjadi. Melihat
ini, bukan gerombolan Golek Merah, kalau mereka malas membuang
tembakan. Dua pistol mereka pun meledak bersahut-sahutan menahan
serbuan penduduk. Seorang kakek tua yang nekat, Casmir, 60
tahun, tewas dengan lambung kanan dirobek clurit. Temannya,
Ragem, 55 tahun, mujur cuma mendapat luka bacok di lengan kiri.
Tapi garong-garong itu dapat dihalau ke luar kampung.
Setengah jam kemudian, kepala kepolisian Jatibarang, Letda
Kadman, muncul dengan 8 anak buahnya dan dibantu 2 petugas
tentara. Kantor polisi memang tidak sampai 3 km dari desa itu.
Malah, berapa saat kemudian, bantuan seregu polisi masih datang
dari kepolisian Indramayu. Bergabung dengan 200-an penduduk,
petugas melakukan pengejaran.
Perburuan berlangsung sepanjang malam. Tempat-tempat yang
mungkin menjadi lubang lolosnya para garong dijaga. Misalnya
sepanjang tepi Kali Cimanuk di barat desa atau jalan desa yang
menuju jalan raya. Lalu kebun dan sawah disisir penduduk dengan
penerangan obor dan lampu petromaks. Lewat tengah malam, Tasrori
buronan berkepala gundul mirip tokoh penjahat di serial TV "si
Unyil", di antaranya, tertangkap oleh Letda Kadman.
Yang dihadapi polisi kini bukan cuma garong bersenjata yang
buron. Tapi juga penduduk yang kalap yang mau menghakimi
tahanan polisi itu beramai-ramai. Tentu saja Kadman menghalangi.
Akibatnya dia sendiri sempat sempoyongan ketika penduduk
memukulinya dengan lampu senter. Untung datang rombongan anak
buah pak Dansek menenteramkan keadaan.
Menjelang dinihari, tertangkap pula Darsim dan Eboy, setelah
keduanya yang masing-masing bersenjata pistol kehabisan peluru
melayani pasukan polisi bermain dor-doran.
Hebatnya, sambil meloloskan diri dari uberan, gerombolan itu
masih sempat menggerayangi beberapa rumah di Desa Sukawera. Dari
rumah Saridi, petani desa ini, mereka menyikat 43 gram emas dan
dari rumah Maman Sudiapermana, bekas camat, 10 gram emas dan 6
gram platina. Lalu dengan santai meninggalkan para korbannya,
sampai dipergoki polisi dan rakyat, yang dari tadi membayangi
mereka.
Setelah drama sepanjang malam itu berakhir, sampai sekarang,
polisi belum juga dapat mengungkapkan seluk-beluk si Golek
Merah. Dua yang tertangkap, Eboy, dan Tasrori asal Pamanukan,
Subang -- memang sudah besar di penjara -- hanya mengaku kenal
Darsim, orang yang mengajak mereka merampok malam itu. Dari
Darsim pulalah, katanya, Eboy dapat pistol. Dan Darsim telah
mati. Buntu, jadinya.
Sehari setelah peristiwa di tepi Cimanuk, datang 4 orang
bermobil sedan mau menemui Eboy, yang dirawat di RS Indramayu.
Mereka, diduga anggota Golek Merah, segera kabur ketika tahu
Eboy dijaga polisi. Polisi mencoba menangkapnya, tapi gagal.
Buntu lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini