NASIB yang dialami terpidana M. Nurdin alias Udin Bebek, 27 tahun, benar-benar mengenaskan. Bujangan berpendikan sekolah menengah tingkat pertama itu kini menjalani hukuman 35 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rajabasa, Bandarlampung. Hukuman kurungan yang begitu lama telah divoniskan ke diri Udin tak lain karena empat kasusnya diadili secara terpisah di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Lampung. Setelah diadili terpisah, lantas hukumannya dijumlahkan.
Tak jelas, prosedur hukum mana yang memungkinkan Udin diganjar hukuman begitu berat, tak ubahnya para gangster ataupun tokoh Mafia di Amerika. Padahal kesalahan Udin bukan apa-apa dibandingkan dengan Al Capone, misalnya.
Nah, dalam prakteknya, penjumlahan hukuman itu harus dijalani lengkap oleh terpidana. Usai menjalani hukuman kasus pertama, Udin mesti melaksanakan hukuman kasus berikutnya. "Kalau Udin harus mendekam terus di penjara selama 35 tahun, kapan ia bisa memperbaiki dirinya di masyarakat?" kata ibu Udin, Ny. Nur'aini, yang mengadukan nasib anaknya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Departemen Kehakiman di Jakarta.
Udin, yang berbadan agak pendek dan bertato di tangan, kalut sendiri memikirkan hukuman yang mesti dilakoninya itu. "Yang saya lakukan tidak menimbulkan korban jiwa, kerugiannya tak sampai jutaan rupiah, juga bukan kasus narkotika, apalagi subversif. Masa, hukumannya amat berat," tutur Udin, yang sedang menanti persidangan peninjauan kembali (PK) atas hukumannya itu di Pengadilan Negeri Tanjungkarang.
Udin dan teman-temannya diketahui setidaknya telah empat kali menodong para penumpang mikrolet di Bandarlampung dan Tanjungkarang, pada Oktober 1989. Biasanya, saat malam tiba, kawanan Udin mabuk dulu sebelum beroperasi. Selanjutnya para penumpang diancam dan dipreteli uang dan perhiasannya. Memang, tak ada penumpang yang luka berat akibat aksi komplotan Udin. Namun, pada aksi yang keempat, mereka memerkosa seorang wanita penumpang.
Pada 30 Oktober 1989, Udin ditangkap polisi. Ternyata, pengadilannya kemudian dilakukan secara terpisah untuk empat kasus berbeda. Begitu pula vonisnya, yang berlangsung antara Februari dan Maret 1990.
Untuk kasus pertama sampai ketiga, Udin divonis masing-masing delapan tahun, empat tahun, dan tujuh tahun penjara. Ia dianggap melakukan pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUH Pidana, yang berancaman maksimum 12 tahun penjara). Pada kasus keempat, Udin divonis enam belas tahun penjara. Selain dinilai melakukan pencurian dengan kekerasan, ia juga terbukti melakukan pemerkosaan (Pasal 285 KUH Pidana, yang memuat ancaman hukuman maksimum 12 tahun penjara).
Waktu itu, rupanya Udin tak memahami pengadilan dan penjumlahan hukuman itu. Ia bukan hanya tak mengajukan banding, melainkan juga tak sadar telah kena empat hukuman. Akibatnya, vonis gabungan itu menjadi berkekuatan hukum tetap, dan Udin menjadi terpidana.
Belakangan, barulah Udin menyadari nasibnya yang begitu buruk. Melalui Balai Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Lampung, ia mengajukan permohonan PK ke Mahkamah Agung. Sampai sekarang, PK Udin masih diproses di Pengadilan Negeri Tanjungkarang.
Hukuman gabungan atas Udin sangat mengejutkan ahli hukum pidana di Universitas Indonesia, Dr. Harkristuti Harkrisnowo. "Tidak bisa hukuman digabungkan begitu. Kalau hakim sekadar menjumlahkan vonis, tidak pakai aturan KUH Pidana, ya, repot," ujar Harkristuti, yang baru kali ini mendengar ada kasus seperti Udin.
Menurut Harkristuti, asas hukum pidana Indonesia tak mengenal sistem hukuman kumulatif seperti di Amerika. Bila terjadi gabungan beberapa tindak pidana, sambungnya, hakim harus mempertimbangkan setiap tindak pidana, tapi hukuman maksimalnya sebesar ancaman pidana terberat ditambah sepertiganya.
Itu kalau pengadilannya dilakukan sekaligus, atau kasus-kasus terdakwa disatukan?ini sesuai dengan asas peradilan yang murah, cepat, dan sederhana. Bila masing-masing kasusnya diadili secara terpisah, hakim pada kasus berikutnya harus mempertimbangkan pemidanaan pada kasus sebelumnya. Total hukuman semua kasus itu tetap tak boleh lebih dari ancaman pidana terberat ditambah sepertiganya.
Dengan demikian, hukuman maksimal Udin mestinya sebesar ancaman hukuman terberat, yakni 12 tahun penjara, ditambah sepertiganya. Jadi, Udin bisa dipidana paling lama 16 tahun penjara. Berarti, masih tersisa tujuh tahun lagi yang harus dilalui Udin di balik jeruji. Akankah Mahkamah Agung mencermati keadilan bagi Udin? Selain itu, kalau benar penjumlahan hukuman itu tidak dikenal dalam asas KUHP yang berlaku, apakah Udin berhak mendapat ganti rugi?
Hp. S., Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini