Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tewasnya bandar beng seng

Seorang cukong judi dan pusat hiburan tewas dibunuh empat kawanan bertopeng. dugaan masih berkisar pada soal utang piutang. mengapa pengusaha di muarakarang itu hengkang?

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINGIN menikam daerah permukiman elite Pluit di Jakarta Utara. Pukul 02.00 dini hari Jumat itu, Baby Benz berpelat nomor B-1-P meluncur perlahan. Dari jok belakang sedan, si empunya rumah, Darmansah Sudjadi alias Nyo Beng Seng, memencet remote control. Pintu pagar menganga. Sedan hendak masuk di sela dua mobil lain yang diparkir di garasi, di Jalan Kencana Raya 128. Beng Seng, begitu panggilannya, mencongol. Tapi belum lagi kakinya kuat menginjak tanah, ia disambut serangan mendadak. Cles, cles, cles. Senjata tajam bertubi ditikamkan pada bos perusahaan rekaman PT Irama Tara ini. Darah melumuri kemeja putih bergaris biru yang dipakai korban. Ia dihujani 12 tusukan. Dada kanan dan kirinya sobek. Ada tiga sayatan di lengan, pipi kiri, dan punggungnya. Ia terkulai, kemudian roboh. Dari balik kaca mobil, Sa'aman, sopir Beng Seng, bengong melihat peristiwa kilat itu. Ia hanya mendengar mulut majikannya bersuara lamat-lamat, "Aku ditusuk. Mati aku." Sa'aman lantas menggedor pintu rumah, membangunkan Tuti Sulastri. Tuti panik melihat suaminya tergelepar di teras rumah. Pengeroyoknya, menurut Sa'aman, berjumlah empat orang. Semuanya bertopeng, dan kabur dengan Toyota Kijang. Tuti, dibantu putrinya, Verawaty, bergegas membopong Beng Seng naik Baby Benz, yang langsung dilarikan Sa'aman ke Rumah Sakit Atmajaya -- sekitar 400 meter dari tempat kejadian. Dalam perjalanan menuju unit gawat darurat, Sa'aman mendengar Beng Seng berceloteh dengan keluarganya dalam bahasa Mandarin. Ia tak paham maksudnya. Beng Seng tewas dini hari itu juga. Penghuni rumah mentereng bercat putih itu berkabung, Jumat dua pekan lalu. Rasa sedih ternyata tak hanya menyelimuti keluarga Beng Seng, tapi juga rekan-rekan bisnisnya, termasuk di bidang industri rekaman. Mereka berdatangan ke rumah duka itu. Nyo Beng Seng, 54 tahun, adalah pengusaha rekaman yang pernah sukses. Irama Tara miliknya sempat kondang. Di studio inilah, yang bersebelahan dengan rumah korban di Pluit itu, diorbitkan sejumlah nama seperti penyanyi Ira Maya Sopha, Duo Kribo (Ahmad Albar dan Ucok Harahap), dan Remy Silado. Siapa pembunuh Beng Seng? Sampai Jumat pekan silam, itu masih jadi teka-teki dalam kepala polisi. Keempat kawanan pembunuh itu, menurut dugaan polisi, bukan pencoleng biasa. Mereka adalah orang bayaran. Indikasinya: mereka cepat berkelebat menikam korban. Sedangkan milik korban, seperti isi dompet, arloji Rolex, dan Baby Benz, tidak mereka sentuh. Boleh jadi kawanan ini jauh hari telah memantau gelagat sasarannya itu, yang memang kerap pulang tengah malam. Belum ada petunjuk berarti yang membuat polisi memastikan pembunuh Beng, apalagi biangnya. Kamera TV pengintai (close circuit) yang dipasang di dekat pintu rumah sudah lama tak berfungsi. Yang tersisa hanya barang bukti berupa sarung pedang samurai, dari kayu, berukuran 50 cm. Selebihnya, tidak ada jejak lain. Spekulasi lantas berputar pada dunia bisnis yang digeluti korban, yang dekat dengan kerawanan. Semenjak bisnis rekaman kian ketat, dan belakangan melorot, Beng Seng melirik ke pusat hiburan bagi kaum pelesiran (amusement center) dan perjudian. Kendati begitu, ia masih berupaya menghidupkan studionya itu di tengah bisnis tarik suara yang sempat loyo. Semalam suntuk puluhan karyawannya silih berganti meramaikan studio yang kusen-kusennya mulai kusam itu. Tapi, saat penusukan terjadi, studio itu hanya buka sampai sore hari. Malamnya praktis hanya dijaga dua sopir korban, yang kadang tidur di situ. Beng, awak Medan pemeluk Budha, membangun bisnis hiburan Pink House di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat. Tapi di kalangan penjudi, namanya juga kondang. Ia dikenal sebagai penjudi kakap yang kerap bermain kasino di Macao, sekat Hong Kong, Genting Highland (Malaysia), bahkan kabarnya sampai ke Perth (Australia) dan Las Vegas (AS). Selain bermain sendiri, Beng juga makelar yang menghimpun penjudi yang hendak foya-foya di pelbagai lokasi beken tadi. Sebelum ia tewas, konon, tiket terbang ke Kuala Lumpur sudah oke untuk mengantar Beng berjudi ke Genting. Agaknya, dari dunia haram inilah petaka disulut. Bagi penjudi yang kalah bermain, Beng Seng kerap memainkan kartunya. Ia menjadi penjamin bagi sesama rekannya itu agar bisa terus bermain. Bahkan, ia tidak segan memberikan pinjaman ratusan juta sampai semiliar rupiah kepada mereka. Dengan catatan, sebagaimana lazimnya ia jalankan: utang ini harus dikembalikan tak boleh lewat dari dua pekan. Tapi kadang ada juga peminjam yang tak dapat membayar sesuai dengan kesepakatan. Untuk kasus seperti ini, kabarnya, Beng Seng tak segan melakukan tindakan tegas: ia sita harta milik debiturnya itu. Dan ini jumlahnya sampai puluhan kasus. Sikap keras Beng Seng ini tentu mengundang reaksi kebencian di antara sesama koleganya. "Akibatnya, banyak yang sakit hati dan dendam," kata sumber TEMPO di kepolisian Jakarta Utara, yang melacak kasus ini. Bisa jadi, ada yang memendam kesumat, lantas merencanakan pembunuhan. Juga tak mustahil jika ada yang sirik dalam bersaing dengan Beng Seng di dunia haram ini. Kabarnya, polisi menaruh curiga pada tiga cukong - yang juga bandar judi - di Jakarta Pusat. Ketiganya diduga kuat terlibat utang antara Rp 1 miliar dan Rp 2 miliar pada korban. Di antara cukong itu ada yang tinggal di Muara Karang, Jakarta Utara. Tapi, ketika dilacak polisi, pengusaha ini sudah hengkang dari sana. Spekulasi lain: soal warisan korban yang bernilai miliaran. Tapi, sejauh ini, tak ada pertikaian berarti pada keluarga Beng Seng, yang beristri dua dan beranak enam itu. Repotnya, hingga pekan lalu, mereka serentak pula menutup mulut -- selain karena suasananya memang masih berkabung. Atau, seandainya mereka berterus terang, salah-salah malah bikin perkara susulan: digebuk para cukong judi.Wahyu Muryadi dan Taufik T. Alwie AB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum