Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK hanya masuk kantong para politikus sipil, cek pelawat bernilai ratusan juta rupiah juga dinikmati sejumlah anggota Fraksi TNI/Polri. Mereka adalah Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Udju Djuhaeri, Mayor Jenderal (Purn) Darsup Yusuf, Laksamana Pertama (Purn) R. Sulistyadi, dan Marsekal Pertama (Purn) Suyitno. Mereka merupakan generasi terakhir Fraksi TNI/Polri karena setelah mereka, fraksi ini dihapuskan.
Sejauh ini, dari empat jenderal yang ditugasi ke Komisi Keuangan pada 2004 itu, baru Udju Djuhaeri yang diadili. Pada pertengahan Mei 2010, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengganjar pensiunan polisi 63 tahun itu hukuman dua tahun penjara plus denda Rp 200 juta. Udju, yang banyak menghabiskan karier polisinya di bidang intel, kini mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung.
Berbeda dengan Udju, status tiga mantan perwira tinggi lainnya hanya saksi, kendati mereka mengaku menerima cek pelawat di kantor Nunun di Jalan Riau, Menteng. Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, saat dimintai keterangan, ketiganya kompak menunjuk Udju sebagai pemberi cek itu. ”Saat peristiwa itu terjadi, mereka bertiga masih berstatus perwira TNI aktif,” kata juru bicara Komisi, Johan Budi S.P.
Seperti yang lainnya, keempat anggota Fraksi TNI/Polri itu diduga masing-masing menerima sepuluh cek bernilai Rp 50 juta per lembar. Dalam kesaksiannya, Udju menyatakan ditelepon Nunun agar datang ke kantornya dan menemui anggota stafnya bernama Arie Malangjudo. Dari Arie itulah Udju menerima empat tas berpita putih—sebagai tanda jatah mereka—berisi cek yang dikeluarkan Bank Internasional Indonesia.
Udju bisa ditangkap dan diadili karena Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan anggota Polri harus tunduk pada peradilan umum. ”Korupsi itu bagian dari pidana umum,” kata pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satriyo. Lewat eksepsinya, pengacara Udju sempat memprotes pengadilan kliennya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi memang menyerahkan nasib tiga jenderal itu ke Markas Besar TNI. Harapannya, tentu saja, kasus ini diadili di mahkamah militer. Hanya, berbeda dengan para politikus sipil, proses pengusutan perkara tiga petinggi militer itu tak terdengar. KPK sendiri sudah beberapa kali mengirim surat ke Markas Besar TNI mempertanyakan kemajuan kasus Darsup, Sulistyadi, dan Suyitno.
Kepada Tempo, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Laksamana Muda Iskandar Sitompul mengakui ada surat itu. Menurut dia, dua kali KPK berkirim surat ke Panglima TNI meminta tiga bekas anggota Fraksi TNI itu diperiksa. Menurut Iskandar, sesuai dengan Undang-Undang TNI, mestinya tiga orang itu diperiksa KPK, bukan TNI.
Iskandar menunjuk dasar hukum soal ini, yakni, Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yang menyatakan, ”Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dalam UU.” ”Sampai saat ini, tiga orang tersebut belum pernah diperiksa secara internal di TNI, dan TNI juga tak akan memberikan bantuan hukum kepada mereka,” ujar Iskandar.
Rudy Satriyo menyesalkan sikap KPK yang melihat posisi tiga jenderal ini dari tempus (waktu terjadinya) kasus itu, yakni kala mereka perwira aktif. Mestinya, ujar Rudy, KPK melihat kasus ini dari aspek pelanggaran pidana. Sebab, ”Siapa pun yang melakukan tindak korupsi bisa dibawa ke pengadilan sipil,” kata Rudy.
Komentar serupa muncul dari Bambang Widjojanto, pengacara yang namanya pernah masuk bursa calon Ketua KPK. Menurut Bambang, penyidik KPK, atas nama kepentingan publik, bisa menangkap tiga pensiunan TNI itu tanpa harus terhambat Undang-Undang Peradilan Militer. ”Sebab, ini kasus yang menyita perhatian publik,” ujarnya.
Apalagi, kata Bambang, hakim pernah menolak praperadilan Udju atas penahanannya oleh KPK. ”Ini bisa dipakai jadi preseden jika ketiga pensiunan jenderal itu mempraperadilankan KPK,” katanya. Bambang memberikan ”resep” untuk KPK jika mereka ingin aman dalam menangkap ketiga bekas anggota Fraksi TNI itu. ”Diam-diam surati Mahkamah Agung dan minta fatwa mereka,” ujarnya.
Sejak kasus ini merebak, Darsup, Suyitno, dan Sulistyadi seperti menarik diri dari ”peredaran”. Rumah Darsup di Arcamanik, Bandung, misalnya, selalu terlihat sepi. ”Bapak dan Ibu ke Jakarta,” ujar seorang pembantunya saat Tempo, Rabu pekan lalu, mendatangi rumah Darsup. Iskandar mengakui Markas Besar putus kontak dengan tiga orang tersebut. ”Kami kini tak mengetahui di mana mereka berada,” ujar Iskandar.
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo