Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tiga Pilihan Pelajaran sejarah

Para ahli sejarah mengajukan tiga alternatif agar pelajaran Sejarah Nasional, PSPB, & PMP tidak tumpang tindih. salah 1 alternatif, pspb dilebur ke dalam sejarah nasional. bahasan materi masih dipersoalkan.(krim)

12 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBINGUNGAN para guru PSPB mungkin segera berakhir. Sekitar 40 ahli sejarah yang diundang Menteri P & K, Senin pekan lalu, mengajukan tiga alternatif. PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) dan pelajaran Sejarah Nasional tetap diberikan terpisah. Atau, PSPB dan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) digabungkan. Alternatif ketiga, PSPB di lebur ke dalam Sejarah Nasional. Untuk memilih alternatif itulah, antara lain, para ahli dan pengamat sejarah itu ditugasi menyusun, "Batasan pokok bahasan bahan atau materi pelajaran sejarah nasional untuk SD hingga SMTA," kata Harsja Bachtiar, Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan. Dari materi itulah nanti bisa diputuskan apakah PSPB masih diperlukan atau tidak. Sebab, selama ini para guru kebingungan, terutama menyangkut pelajaran Sejarah Nasional dan PSPB. Kedua pelajaran ini mempunyai persamaan materi. "Karena itu, cara menyampaikannya yang dibuat berbeda," kata Sri Musiati, guru PSPB SMAN 77 Jakarta. Dicontohkannya, bila materi yang akan diberikan menyangkut proklamasi kemerdekaan 17 Agustus, maka dalam pelajaran PSPB para siswa diminta bersama-sama menyanyikan mars 17 Agustus 1945 sebelum pelajaran dimulai. Atau, guru mendeklamasikan sajak-sajak berbau perjuangan, misalnya sajak Antara Krawang dan Bekasi Chairil Anwar. Itu semua dilakukan para guru PSPB karena pelajaran ini dimaksudkan untuk juga dihayati dan diresapi. Agar, bisa dijadikan teladan oleh para siswa. Lalu, berhasilkah upaya para guru PSPB itu? Seorang siswi kelas III SMAN 41 Jakarta punya cerita. Suatu hari guru PSPB membawa para siswa ke ruangan laboratorium. Sambil berdiri murid-murid itu diminta menyanyikan lagu-lagu perjuangan: Sepasang Mata Bola, Sapu Tangan dari Bandung Selatan, antara lain. Acara diteruskan dengan pembacaan puisi. Lalu diputar lagu Syukur dari kaset. Seorang siswa berdiri di ujung, memegang bendera merah-putih. Pak guru menyuruh anak-anak berbaris satu per satu menuju ke bendera, lalu diminta mencium sang saka. Kata siswi ini kepada Happy S. dari TEMPO, banyak temannya yang tertawa cekikikan. Kemudian pak guru meminta para siswa menjawab pertanyaan, nilai apa yang bisa dipetik dari acara itu. "Jawaban teman-teman hampir sama," kata siswi itu. "Pokoknya, ada kata 'cinta tanah air', 'rela berkorban', 'semangat '45', seperti yang selalu diajarkan Pak Guru." Siswi itu sebenarnya hendak mengatakan bahwa pelajaran ini tak banyak memberikan pengaruh. Tapi sesungguhnya tak mudah untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh pelajaran itu terhadap siswa. Yang nyata bisa diketahui hanya dampak pengetahuannya. Atau, yang juga bisa diketahui adalah bahan pelajaran cukup bermutu atau tidak. Yakni, buku Sejarah Nasional Indonesia yang digunakan untuk pelajaran sejarah nasional dan juga PSPB - yang terakhir itu karena memang belum ada buku resminya. Buku inilah kini, antara lain, yang disorot oleh pertemuan para ahli sejarah di Departemen P & K. "Buku yang sekarang dipakai itu adalah sejarah untuk sejarah," kata Johan Makmur, doktor sejarah dari IKIP Jakarta yang ikut hadir dalam pertemuan. Maksud Johan, susunan bahan tak diarahkan guna tujuan pendidikan, "hingga anak didik kurang mampu menyerap pelajaran dengan baik." Lain daripada itu, Johan Makmur juga mengkritik materi buku yang dianggapnya kurang sesuai untuk anak didik. "Yang ideal adalah buku pelajaran sejarah yang lebih bersifat sosial," kata anggota tim pembahas bahan buku pelajaran sejarah ini kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. "Yaitu yang tak hanya mempelajari tokoh-tokoh, tapi juga menceritakan semangat masyarakat dalam menentukan perubahan sejarah." Yang tak kurang pentingnya adalah bila bahan pelajaran diberikan secara tak lengkap. Hal inilah yang menyebabkan buku Sejarah Nasional Indonesia untuk kelas III SMTP cetakan lama jadi menghebohkan. Yakni pasal yang menyebutkan bahwa Bung Karno menerima komisi dari perusahaan asing. Koreksian datang datang dari Sarwo Edhie, bekas komandan Baret Merah (Kopassus, sekarang) yang kini jadi Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Kata Sarwo, kepada harian Terbit beberapa waktu lalu, buku pelajaran itu tak menyebutkan secara lengkap. Memang benar Bung Karno menerima komisi, tapi itu untuk dana revolusi. Tapi masalahnya kini, bila cuma soal bahasan materinya yang dipersoalkan, buku baru yang bakal ditulis mungkin tak akan jauh berbeda dengan yang sekarang: tetap tidak menarik. Cara bertutur yang pasif, cenderung mengabstraksikan peristiwa-peristiwa, cepat membosankan dan sulit masuk dalam ingatan. Dibutuhkan seorang penulis buku pelajaran sejarah yang pandai bertutur, yang bisa mengisahkan peristiwa hingga pembaca seolah-olah membaca sebuah novel, umpamanya. Bila demikian, dengan sendirinya tak perlu ada dua pelajaran: PSPB dan sejarah nasional. Dengan buku yang kaya cerita, dengan gaya penulisan sebuah reportase yang hidup, pelajaran sejarah mestinya dengan sendirinya punya dampak pada diri siswa. Dan bagi guru yang tak piawai menerangkan soal sejarah pun, buku seperti ini, yang mungkin ditulis dengan gaya sebuah novel, akan sangat menolong. Sebab, para siswa tentunya akan senang membacanya sendiri. "Seandainya buku sejarah itu ditulis bagaikan novel Ike Supomo atau Yati Mihardja, kami tentu senang belajarnya," kata siswi SMAN 41 itu. Bambang Bujono Laporan Indrayati (biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus