SEJAK kanak-kanak, ia sudah akrab dengan kecapi, suling, gitar, maupun biola. Kebetulan ayahnya menyediakan alat musik itu, di rumahnya di Desa Indihiang, Tasikmalaya. Ada juga cara latihan lain: untuk olah vokal, ia memanjat menara masjid menjelang subuh, mengalunkan tarhim. "Sebagai olah vokal, tarhim merupakan cara yang sangat baik," katanya. Kebiasaan bagus ini dibawanya sampai tua. Dan hari itu, Jumat dinihari pekan lalu, pada saat orang terlelap dtempat tidurnya masing-masing, Haji Koko Koswara, berangkat ke masjid Al-Jihad, tidak begitu jauh dari rumahnya di Jalan Jurang 119, Bandung. Ia pun mengalunkan tarhim, doa, dan pujian menjelang salat subuh. Kali ini tidak seperti biasanya. Setelah suaranya berhenti ia tak bisa bangkit. Kedua kakinya tak bisa digerakkan. Orang yang berada di masjid itu segera menghubungi keluarga Koko. Kemudian, sementara ia digotong ke rumahnya, dokter dipanggil. Koko Koswara - yang lebih terkenal dengan panggilan Mang Koko - budayawan Sunda, mungkin sulit untuk dicarikan pembanding. Ia menciptakan lagu, ia membentuk grup-grup seni Sunda, ia memimpin dan sekaligus mengajar di sana. Dengan ciptaannya yang tegar dan dinamis, ia berhasil melintasi batas-batas provinsi dan tradisi - dan dikenal secara nasional. Di awal kemerdekaan, 1946, ia mendirikan grup kesenian "Kanca Indihiang". Penampilan grup ini lewat siaran Radio Bandung - radio ini, dulu, dipancarkan dari Tasikmalaya - mendapat sambutan hangat. Tidak mengherankan, ketika Koko pindah ke Bandung, 1950, Oejeng Soewargana, yang punya penerbit Ganaco, meminta Koko membukukan lagu ciptaannya. Oejeng - kini almarhum - membayar honor Koko cukup tinggi untuk ukuran waktu itu, Rp 20.000. Uang itu sekarang jadi rumah yang ditempati keluarga Koko di Bandung. Judul buku itu, Tjangkurileung, (berarti "ketilang") di tahun 1959, diabadikan menjadi nama yayasan yang didirikan Mang Koko untuk mengembangkan karawitan dikalangan pelajar, dari SD sampai SMTA. Dalam satu dasawarsa, 1960-1970, tercatat 1.800 orang yang memperoleh sertifikat dari Yayasan Tjangkurileung. Untuk kalangan mahasiswa dan umum, Mang Koko membentuk lembaga pendidikan seni Ganda Mekar. Daerah operasinyatidak cuma di bumi Parahyangan, tetapi melebar ke Yogyakarta, Surabaya, bahkan sampai di Palembang. Sebagai pencipta lagu Sunda, Mang Koko mengalami masa pasang-surut. Tahun 1950-1960, masa paling produlstif. "Setiap minggu, rata-rata tiga lagu dikarang Mang Koko," ujar Nano Suratno, 41, bekas murid Mang Koko yang kini menjadi Ketua Jurusan Karawitan SMKI Bandung. Kebanyakan lagu anak-anak, kocak dan berirama riang. Periode 1960-1970, produktivitas menurun, tetapi lagunya lebih berisi. Mang Koko beralih tema ke lagu yang menekankan pada kritik sosial, meskipun tetap dengan gaya lamanya, bercanda. Antara lain: Buruh Leutik, Karatagan Pahlawan, Resepsi, Mobil Jawatan. Dan periode setelah 1970, sejalan dengan usia yang semakin senja, Mang Koko tak seproduktif dulu lagi. Ayah delapan anak ini sudah mencipta seribu lebih lagu pop Sunda. Badminton, yang populer itu - apalagi di saat bulu tangkis kita masih berjaya - ternyata diciptakan jauh sebelum Rudy Hartono menjuarai All England. Mang Koko menuliskan syair kocak itu tahun 1943, ketika ia masih membujang. Toh yang khas lagi dari syair-syair Koko, ia menghindari slogan. Tidak cuma menciptakan lagu. Pemusik otodidak ini juga pembaru musik Sunda. Adalah Mang Koko, orang Sunda pertama, yang memasukkan dasar perkusi ke dalam lagu-lagunya. Ia melakukan itu sejak 1950, jauh sebelum Harry Roesli memainkan musik perkusi - bahkan sebelum Harry lahir. Misalnya lagu Mundinglaya, Mang Koko memasukkan suara kentongan. Tetapi di bagian lain lagi, ia melengkapi bunyi kecapi dengan merintis pemakaian elektrik. Dalam hal pembaru musik Sunda inilah pemerintah memberikan Anugerah Satya Lencana, 1971, yang disematkan oleh Menteri P dan K (waktu itu) Mashuri, S.H. Di luar urusan musik, Mang Koko dikenal sebagai lelaki yang saleh, rendah hati, dan suka bergaul. "la sederhana dan merakyat," kata R. Ading Affandi, yang juga Ketua Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Jawa Barat. Orang ini membantah kecurigaan beberapa seniman yang menuduh Mang Koko pernah memasuki organisasi Paguyuban Seniman - sebuah organisasi yang condong pada Lekra/PKI. "Setahu saya, Mang Koko tak pernah memasuki organisasi apa pun," kata Affandi. "Karena Mang Koko akrab dengan semua lapisan masyarakat, bisa saja Lekra mengakui Mang Koko anggotanya." Yang bersangkutan belum pernah menjelaskan duduk persoalan yang menyangkut "kegiatan politik" ini. Atau, mungkin, dirasa tak perlu. Juga, tatkala Mang Koko tampil dalam diskusi seniman "Sawala Seni Karawitan Sunda" 28 SePtember lalu, di pendopo Kabupaten Cianjur, ia sama sekali tak menyebut hubungannya dengan Paguyuban Seniman yang kiri itu - padahal di kesempatan ltu la menceritakan riwayat hidupnya yang panjang. "Kebahagiaan dari Tuhan sudah saya dapatkan, badan sehat berkat olah raga, rohani tenang karena mendekatkan diri dengan Tuhan di masjid, anak-anak sudah berkeluarga, cita-cita naik haji sudah terlaksana, anugerah seni sudah saya dapatkan. Mau apa lagi?" katanya mengakhiri riwayat hidup yang disampaikan lisan itu. Pertanyaannya terakhir itu ia jawab sendiri, "Saya lebih baik membekali diri untuk nanti kembali ke alam baka." Jumat pagi itu, ia jadi kembali ke alam itu, pada umur 68 tahun. Ia dimakamkan esok harinya di pekuburan Sirnaraga, Bandung. Ratusan seniman dan ribuan orang mengantarkannya. Putu Setia Laporan Hasan Syukur (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini