Gadis keamerika-amerikaan itu dibunuh ayahnya. Tanpa sengaja dibongkar agen FBI. "DENGARLAH, anakku sayang. Hari ini adalah hari terakhirmu, Tina. Malam ini kau mati," kata Zein Isa. Tina kaget mendengar amarah ayahnya yang diucapkan secara dingin itu. Ia baru masuk rumah, sepulang dari kerja. Belum lagi kagetnya hilang, ibunya menimpali, "Coba tengok, apa saja yang kausimpan dalam tas sekolahmu." Gadis 16 tahun itu ketakutan. Tambahan pula, ayahnya menghampirinya sambil memasang mimik datar. "Diam di tempat, Tina," ujarnya. "Ibu, tolong saya," jerit Tina. Ibunya malah menghardik, "Tolong, tolong apa? Kamu mau mendengar tidak?" Tina makin keras menjerit. "Ya, Bu. Oh, jangan, plese," pekik Tina. Tina malah disenggak ibunya kembali, "Diam!" Tina menangis pilu. Ia minta dikasihani agar tidak dibunuh. Rintihannya amat menyayat. Ayahnya menyela lagi. "Mati, anakku, cepat mati. Mati. Mati," katanya. Seiring dengan itu, suara Tina melemah, lalu merintih sekali lagi, kemudian lenyap. Peristiwa pembunuhan November dua tahun silam di St. Louis, Amerika Serikat, itu tidak bakal terbongkar kalau tak ada agen FBI menyadap apartemen Zein Isa, 61 tahun. Ia dicurigai sebagai aktivis Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Namun, bukan info ihwal PLO yang didapat, melainkan rekaman kaset jeritan si Tina yang malang. Ketika kaset diputar, secara tak sengaja didengar oleh agen FBI tadi. Kaset sepanjang masa putar tujuh menit itu kemudian diserahkan kepada Jaksa Dee Joyce-Hays. Di situ juga terekam percakapan telepon antara Zein dan anak-anaknya yang lain. Ia mendiskusikan cara terbaik menghabisi Tina. Gadis ini rupanya korban benturan budaya. Ia lahir dan tinggal di AS, dari ibu, Maria, 48 tahun, asal Brasil, dan ayahnya asal Palestina. Tina dilarang bergaul, dan diharuskan mendekam di rumah atau bekerja di toko kecil milik keluarga. Tak satu pun anak mereka boleh ke luar rumah tanpa izin orangtua. Ternyata, Tina tak dapat dikekang. Udara kebebasan ala Amerika keburu merasuki jiwanya sehingga Tina yang cantik dan lincah itu berontak. Tina tumbuh menjadi keamerika-amerikaan. Ia berpacaran dengan cowok Amerika. Meski tak diizinkan malam hari ia bekerja di restoran fastfood. Kelakuannya itulah yang membuat seluruh keluarganya geregetan. Tradisi tertutup dan konservatif (ayahnya Islam dan ibunya beragama Katolik Roma) yang diwariskan turun-temurun dianggap telah dikoyak Tina. Maka, ia kerap bertengkar dengan kakakkakak dan orangtuanya. Sang ayah akhirnya berniat menghabisi nyawa sibiran tulangnya sendiri. Rekaman dalam bahasa campuran Arab, Portugal, dan Inggris itu, yang kemudian diperdengarkan di Pengadilan Rendah, Jumat dua pekan lalu, membuat pengunjung terkesiap. "Lebih buruk dari adegan film. Seumur hidup belum pernah saya mendengar jerit kengerian seperti itu," kata Asisten Jaksa Bob Craddick. Dari hasil visum, ditemukan enam tikaman di dada Tina. Pisau pemotong tulang yang digunakan sang ayah merenggut nyawa putrinya itu merobek jantung, hati, dan paru-parunya. Ketika si ayah beraksi, kakinya membekap mulut Tina. Namun, Zein menolak semua tuduhan. Ia, katanya, membunuh karena membela diri. Tina, yang disebutnya pecandu alkohol dan obat bius itu, mengancam dirinya serta menggerogoti isi dompetnya. Persidangan yang ditayangkan di layar TV dan dimuat di koran setempat itu dipenuhi pengunjung. "Saya menangis, seharusnya saya ada di sana menolongnya," ujar Carl Smith, seorang juri. Juri butuh waktu empat jam untuk mengusulkan hukuman mati bagi Zein dan istri. Hakim Charles A. Shaw sependapat. Ancaman pidana, katanya, kalau bukan hukuman mati, ya, penjara seumur hidup. Pekan ini vonis tersebut akan dijatuhkan. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini