KOTA Mekah bagaikan dasar sebuah kuali. Persisnya sebuah lingkungan dengan radius beberapa kilometer. Terletak di lembah yang dikelilingi bukit-bukit tandus di kawasan Hejaz -- pantai barat Kerajaan Arab Saudi. Di daerah gersang inilah tempat berlangsungnya festival terbesar umat Islam sedunia: ibadah haji, yang dari tahun ke tahun jumlah pesertanya naik-turun, tapi cenderung meningkat. Dulu, tahun 1800-an misalnya, jumlah jemaah hanya puluhan ribu -- tertinggi, dicapai pada 1893, lebih dari 90.000 jemaah. Seiring dengan berkembangnya Islam, dan pertambahan penduduk dunia, jumlah itu pun makin bertambah. Pada 1957 jumlah itu 750.000. Dan pada 1982 sekitar 2 juta. Tahun ini, seperti diketahui, mencapai angka sekitar 2,25 juta. Di masa-masa mendatang, bukannya tak mungkin, angka itu bisa melambung. Penduduk dari negeri-negeri Dunia Ketiga, tempat asal umat Islam, pasti bertambah. Seandainya pun pembatasan kelahiran di negeri-negeri itu berhasil, angka tersebut tetap akan membengkak. Antara lain karena kemakmuran yang bertambah, transportasi yang lebih mudah, dan insya Allah, juga keamanan yang semakin baik. Belum lagi diperhitungkan: semakin bebasnya negeri-negeri Eropa Timur, yang sebagian penduduknya beragama Islam seperti Yugoslavia. Apalagi kelak bila negara bagian seperti Azerbaijan dan Uzbekistan di Uni Soviet merdeka sepenuhnya sementara penduduk muslim di negara bagian lain di Uni Soviet mendapat kelonggaran lebih besar. Kaum muslimin di Cina, yang jumlahnya tidak sedikit, tentu juga akan menambah jumlah kafilah haji yang berpusu-pusu ke Tanah Suci. Siapa tahu, kelak penguasa di Peking pada akhirnya juga akan memberikan beberapa kelonggaran. Gelombang manusia ini jelas menimbulkan persoalan. Bukankah kawasan yang menampung upacara haji tak bertambah luas. Sejak dua tahun lalu, misalnya, Raja Fahd menerapkan sistem kuota (penjatahan) bagi tiap-tiap negara. Untuk setiap satu juta penduduk, cuma diperbolehkan mengirimkan 1.000 jemaah. Masalahnya, belum dilakukan studi apakah pembatasan itu sudah sesuai dengan maksimum daya tampung tempat-tempat ibadah di Mekah, dan sesuai dengan pertambahan umat Islam di dunia. Usaha lain, memperbaiki dan menambah sarana. Pada 1957 umpamanya, Rosihan Anwar, wartawan harian Pedoman yang ketika itu melaksanakan ibadah haji, menggambarkan Mekah yang kacau. Jalan-jalan di Kota Mekah, terutama di sekitar Masjidil Haram, sangat sempit. Lebarnya cuma dua meter. Di kiri kanannya menjulang gedung-gedung kumuh dengan penduduk berdesak-desakan. Apalagi di Kampung Syamilah, tempat Rosihan tinggal. "Bau kotoran manusia campur aduk dengan bau minyak tanah dari kompor," tulis Rosihan dalam buku Naik di Arafah, yang terbit pada 1982. Dua puluh tahun kemudian, 1977, kedua kalinya Rosihan naik haji. Dan ia terbengong-bengong. Jalan raya ke Arafah, Muzdalifah, dan Mina terdiri dari banyak jalur dan dilengkapi berbagai peralatan canggih. Arafah, padang tempat pertemuan Adam dan Hawa, kini di waktu malam bagaikan siang hari oleh lampu ribuan watt. Lembah antara Bukit Shafa dan Marwah, tempat Hajar berlari-lari, tak lagi seliar dulu. Dibutuhkan kemampuan berimajinasi untuk merasakan betapa sengsaranya Hajar dulu, karena tempat itu kini begitu teduh dan nyaman. Toh banyak pihak yang merasa bahwa sarana-sarana yang dibangun untuk memudahkan jemaah masih kurang -- terutama setelah terjadi peristiwa Terowongan Al-Muaisim itu. Antisipasi mesti dilakukan, untuk menghadapi ledakan jemaah di masa mendatang. Untuk itu, Pemerintah Arab Saudi dipercaya mampu membangun yang diperlukan. Pemasukan dari jemaah haji -- misalnya dari bea masuk, belanja suvenir, juga sewa penginapan -- diduga cukup besar. Penelitian pada 1981 oleh Zamakhsyari Dhofier untuk Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), diperoleh rata-rata per kepala haji Indonesia membelanjakan hampir US$ 245 hanya untuk suvenir. Seandainya itu tidak cukup, Arab Saudi tentu tak terlalu sulit menambahkan dana dari sebagian penghasilan minyaknya. Ada usul lain, datang dari Iran, yakni agar Haramain -- sebutan Mekah dan Madinah -- dijadikan kota suci internasional. Maksudnya, pengelolaannya diserahkan kepada sebuah lembaga yang anggotanya adalah utusan dari negara-negara berpenduduk muslim. Sebenarnya, usaha internasionalisasi pernah dilakukan. Abdul Aziz ibn Abdul Rahman al-Saud, yang pada 1925 merebut kembali Hejaz dari kekuasaan Syarif Husain -- raja Hejaz ketika itu -- pernah berpikir untuk menyerahkan pengelolaan tempat-tempat suci, termasuk Mekah, pada gabungan negara-negara muslim. Pada Oktober 1925 dia mengirim surat ke Mesir, Turki, Persia, dan Afghanistan. "Saya tidak mempunyai hasrat untuk memerintah Hejaz. Saya hanya melaksanakan mandat sampai rakyat Hejaz memilih seorang gubernur yang mampu menjadi abdi dunia Islam dan yang akan bekerja di bawah pengawasan kaum muslimin," kata Aziz dalam suratnya. Tapi ternyata surat Aziz bertentangan dengan kata hatinya sendiri. Sebagai peganut Wahabi, sebenarnya ia tak rela jika pengelolaan Hejaz dengan Mekahnya jatuh ke tangan yang bukan Wahabi. Tiga bulan setelah suratnya disebarkan, Abdul Aziz menuntut agar dia sendiri yang diangkat menjadi gubernur Hejaz. Tindakan itu ditentang habis oleh sejumlah negara Islam. Sementara itu, kaum muslimin India menyerukan pembentukan sebuah organisasi internasional yang mewakili semua negara berpenduduk muslim untuk mengurus kota-kota suci. Abdul Aziz menampik usul India. Ia tak yakin, lembaga internasional bisa dengan mudah mengumpulkan dana. Sementara itu, ia mencoba membuktikan bahwa ia benar-benar berupaya mengamankan para jemaah. Misalnya, diundangkannya hukuman mati pada para pengganggu jemaah -- ketika itu suku-suku di padang pasir memang suka merampok, bahkan membunuh jemaah haji. Sementara itu, internasionalisasi belum tentu menyelesaikan masalah, baik dulu maupun sekarang. Misalnya saja, kata Ali Yafie, wakil Rois Aam Nahdlatul Ulama, di masa negara-negara Islam belum bersatu benar, internasionalisasi itu omong kosong. "Jangankan antarnegara Islam, antara 22 negara anggota Liga Arab saja tidak akur," katanya. "Mungkin 100 tahun lagi gagasan itu bisa terealisasi." Nurcholish Madjid dan Quraish Shihab -- dua pemikir Islam yang aktif di Pengajian Paramadina, Jakarta -- juga meragukan internasionalisasi sebagai jalan keluar. "Gagasan internasionalisasi memang baik. Tapi saya khawatir nasibnya akan seperti PBB atau Unesco. Tidak ada yang menangani lembaga itu sebagai sebuah kebanggaan nasional dengan penuh tanggung jawab," ujar Nurcholish pada Indrawan dari TEMPO. Menurut dia, mungkin saja mengatur jadwal haji kembali, "asalkan masih berasal dari Nabi. Lewat penyimpulan hadis dan riwayat, bisa dilakukan diversifikasi tata cara haji." Jadi, untuk sementara ini tampaknya yang paling masuk akal adalah menciptakan berbagai kemudahan dan pengaturan yang baik. Misalnya mengatur giliran pelemparan jumrah dengan membuat penjadwalan. Begitu pula dalam melakukan sai, tawaf, dan ritual haji lainnya. "Tapi pengaturan itu harus mendapat kesepakatan ulama seluruh dunia. Sebab, prosesi yang berlaku sekarang adalah perkara syariat penyelenggaraan haji," kata Ali Yafie lagi. Sebenarnya kelonggaran itu, kata Quraish Shihab, setidaknya menurut pandangan mazhab Syafii sudah ada. Pelemparan jumrah, contohnya, tidak harus dilakukan sendiri. Tapi boleh juga diwakilkan. Ada seorang pembaca menulis dalam rubrik Komentar, bagaimana seandainya waktu berhaji diperpanjang. Dalam TEMPO nomor pekan lalu, Masdar F. Mas'udi, dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat di Jakarta, menulis bagaimana mengatasi masalah kepadatan yang kian meningkat kelak, meskipun ia memperingatkan adanya batasan-batasan teologis. Baik Ali Yafie maupun Quraish Shihab menegaskan batasan itu. Waktu pelaksanaan ibadah haji, "sudah menjadi ketetapan agama, sama dengan salat yang tidak bisa diubah waktunya," kata Yafie. Quran memang menyebutkan bahwa masa pelaksanaan ibadah haji hanya pada bulan-bulan tertentu. "Sedangkan prakteknya ditunjukkan dalam sunah Nabi," kata Ali Yafie. Tapi setidaknya menurut Nurcholish, Nabi Muhammad begitu toleran dengan tata cara haji. Misalnya, Nabi mengatur agar kafilah tidak sekaligus tumplek di Mekah. Sejak dulu sudah ada istilah haji ifrad (mendahulukan haji, baru umrah), haji tamattut' (mendahulukan umrah), dan haji qiran (haji dan umrah sekaligus). Mungkin untuk mengatur lalu lintas, Nabi juga mengatur tempat-tempat berangkat bagi kafilah dari beberapa penjuru yang disebut miqat. Ada enam miqat, yang disesuaikan dengan domisili jemaah, misalnya Zulhulaifah (bagi yang berasal dari Medinah dan yang sejajar dengannya). Bahkan bagi kaum muslimin yang berdomisili di antara Mekah dan keenam miqat itu, tempat berangkat mereka ialah negeri masing-masing. Toleransi Nabi juga tampak pada kebiasaan mencium Hajar Aswad. Nabi memberi contoh cukup hanya melambaikan tongkatnya saja ke arah batu hitam yang menempel di pojok sebelah tenggara Ka'bah itu, yang biasanya selalu dicium dengan berdesak-desakan. Dalam teladan Nabi, ibadah haji yang wajib hanya sekali seumur hidup. Kearifan untuk tak berlebih-lebihan, juga dalam ibadat. Priyono B. Sumbogo dan Ardian T. Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini