Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tuduhan Mencuri Di Lahan Sendiri

Ratusan petani di Ketapang menuntut pengembalian lahan yang dikuasai perusahaan sawit. Konflik lama yang semakin panas.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Entah sampai kapan Bidardi sanggup menahan keinginan memanen sawit di kebun yang dia anggap milik sendiri. Kini Kepala Desa Suak Burung, Ketapang, itu masih berusaha menghormati rekomendasi Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Barat, yang keluar pada Mei lalu. "Kami ingin mengambil hak kami setelah hampir sepuluh tahun dimanfaatkan perusahaan," kata Bidardi, awal pekan lalu.

Pada 7 Mei lalu, Ombudsman memfasilitasi pertemuan antara ratusan petani dan PT Harapan Hibrida Kalimantan Barat-Lipat Gunting Estate (HHK-LGE). Petani dan perusahaan sawit itu saling klaim soal penguasaan lahan yang pernah dikelola dalam kerja sama perkebunan inti-plasma. Rekomendasi Ombudsman: semua pihak yang bersengketa harus menahan diri. "Kami mencoba menengahi konflik yang berlarut-larut hampir sepuluh tahun itu," kata Agus Priyadi, Kepala Ombudsman Kalimantan Barat, Jumat pekan lalu.

Bidardi dan sekitar 400 keluarga di Desa Suak Burung "menduduki" lahan perkebunan plasma di area PT HHK-LGE sejak Maret lalu. Mereka juga sempat beberapa kali memanen sawit di kebun seluas hampir 800 hektare di desa itu. Bidardi, misalnya, dalam sebulan memanen tiga ton kelapa sawit dari dua hektare lahan sawit yang ia kuasai. Bidardi menjual sawit itu Rp 4,8 juta.

Ratusan petani menguasai lahan perkebunan karena ketidakjelasan hak atas lahan yang semula berstatus tanah adat itu. Sejak 2005, Bidardi dan masyarakat di empat desa menyerahkan sekitar 5.600 hektare lahan ulayat suku Dayak Jelay kepada PT HHK-LGE. Kerja sama perkebunan inti-plasma itu dipayungi Koperasi Kemitraan Premier Anggota.?

Empat desa yang terlibat kerja sama adalah Desa Suak Burung, Desa Batu Sedau, Desa Seguling, dan Desa Manis Mata. Keempat desa itu terletak di Kecamatan Manis Mata, Ketapang.

Bertahun-tahun setelah penyerahan lahan, ratusan petani itu tak pernah meneken surat perjanjian apa pun dengan perusahaan. Penduduk desa hanya memegang berita acara penyerahan lahan. Adapun perusahaan langsung menggarap lahan tersebut. "Jadi tak ada itu yang namanya kemitraan," ujar Bidardi.

Berdasarkan kesepakatan lisan dengan perusahaan, menurut Bidardi, dari 5.600 hektare yang diserahkan petani, perusahaan seharusnya menyerahkan pengelolaan 1.600 hektare lahan plasma kepada petani. Lahan plasma seluas 800 hektare terdapat di Desa Suak Burung. Sisanya menyebar di tiga desa lain. Belakangan, perusahaan mengklaim lahan plasma yang bisa diserahkan ke petani hanya 600 hektare. "Penduduk desa menolak perhitungan itu," kata Bidardi.

Bukan hanya Bidardi dan warga Desa Suak Burung yang memprotes perusahaan dan menduduki lahan. Warga Desa Batu Sedau, sejak November 2014, juga menduduki lahan dan memanen kelapa sawit di area HHK-LGE. Petani tak lupa menancapkan papan bercat merah berisi pemberitahuan bahwa lahan itu milik mereka. "Papan ini untuk meningkatkan daya tawar dengan perusahaan. Beberapa kali surat kami tak ditanggapi," kata Marasyah, warga Desa Batu Sedau.

Saham PT HHK-LGE semula dikuasai Kulim Malaysia Berhad. Sejak 2007, PT Union Sampoerna Triputra Persada mengambil alih perusahaan itu. Menurut Suhardi, Kepala Bagian Humas PT Union Sampoerna, ketika PT HHK-LGE diambil alih, muncullah tuntutan dari masyarakat sekitar untuk membangun kebun plasma tahap III.

Semula, menurut Suhardi, PT Union Sampoerna tak berencana menambah kebun plasma tahap III. Merujuk pada Peraturan Kementerian Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, perusahaan hanya wajib membangun kebun plasma seluas 20 persen dari total lahan yang dikelola.

Menurut Suhardi, PT Union Sampoerna mengantongi hak guna usaha atas lahan 7.200 hektare-dengan lahan tertanami seluas 6.000 hektare. "Plasma yang telah dibangun seluas 1.800 hektare, melebihi aturan pemerintah," ujarnya.

Meski begitu, untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat, PT Union Sampoerna akhirnya bersedia membangun plasma tahap III. Perusahaan pun memverifikasi 263 dokumen berita acara penyerahan lahan yang menjadi dasar tuntutan petani.

Berdasarkan hasil verifikasi perusahaan, jumlah lahan yang telah diserahkan 300 keluarga itu hanya 1.600 hektare. Menurut aturan, kata Suhardi, perusahaan seharusnya hanya membangun kebun plasma 300 hektare. Namun, pada 2011, pemerintah meminta perusahaan menyediakan dua hektare lahan untuk setiap keluarga. Maka perusahaan harus menyediakan lahan plasma 600 hektare.

Nah, untuk kekurangan 300 hektare itu, perusahaan diminta membayar ganti rugi. Perusahaan menyanggupi membayar Rp 1 juta per hektare. Menurut Suhardi, perhitungan itu telah disepakati sebagian masyarakat desa. "Mereka yang tidak setuju kini menguasai kebun inti kami," kata Suhardi.

Ketika tanahnya dikuasai petani, perusahaan tak tinggal diam. Mereka melaporkan petani ke polisi. Pada 2 April lalu, belasan polisi bersenjata lengkap menangkap delapan warga Desa Batu Sedau yang membawa tiga truk berisi kelapa sawit. "Mereka menghentikan kami di jalan dan menembakkan peluru," kata Junti, salah seorang penduduk desa yang ditangkap.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Ketapang Ajun Komisaris Belen Anggara Pratama mengatakan, sejak Januari lalu, polisi menerima tujuh laporan kasus pencurian kelapa sawit di perkebunan HHK-LGE. Sejauh ini polisi telah menetapkan delapan penduduk sebagai tersangka.

Martinus Gabriel Goa, Direktur Padma Indonesia, yang mendampingi petani Ketapang, menuduh polisi melakukan kriminalisasi kepada penduduk desa. "Mereka berjuang menuntut haknya, malah dijadikan tersangka," ujarnya.

Menurut Martinus, polisi tak hanya menjadikan delapan penduduk desa sebagai tersangka kasus pencurian sawit. Polisi pun pernah menjadikan delapan petani lain sebagai tersangka karena menggelar upacara pemagaran adat.

Upacara itu berlangsung pada 15 Mei 2013. Dalam upacara yang dipimpin tokoh adat itu, ratusan warga Desa Batu Sedau memotong ayam di dekat area kebun sawit perusahaan.

Tak lama setelah mengikuti upacara, ratusan penduduk desa digiring ke kantor Polres Ketapang. Polisi kemudian menetapkan delapan tersangka. Di pengadilan, kedelapan penduduk desa divonis delapan bulan penjara. "Meski telah divonis, mereka belum menjalani hukuman," kata Martinus.

Menurut Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Barat, Agus Priyadi, pemerintah harus segera turun tangan menyelesaikan konflik petani dengan perusahaan itu. Bila dibiarkan berlarut-larut, "Situasi di Ketapang bisa semakin runyam," ujar Agus.

Yuliawati, Aseanty Pahlevy (ketapang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus