Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan Tengah Pilihan Istana

Presiden Joko Widodo memilih sembilan perempuan menjadi anggota Panitia Seleksi Pemimpin KPK. Upaya berkelit dari intervensi politik.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Joko Widodo dengan cepat mencoret sejumlah nama di beberapa lembar kertas yang ditaruh di meja kerjanya, Selasa pekan lalu. Setidaknya ada 30 nama calon anggota Panitia Seleksi Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang mendapat tanda silang. Setelah selesai, daftar nama tersisa diserahkan ke Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Melihat hasil koreksi itu, Pratikno dan para anggota staf Istana terkejut. "Kok, semua perempuan? Apakah Bapak kenal?" kata Pratikno seperti ditirukan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Teten Masduki, Kamis pekan lalu. Dengan enteng Presiden menjawab, "Ya, kenallah."

Pratikno lantas berpamitan menyiapkan draf keputusan presiden. Tapi Presiden belum menentukan kapan sembilan wanita anggota Panitia Seleksi akan diumumkan. Baru sehari kemudian Presiden memutuskan pengumuman bakal dilakukan esok harinya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, sebelum bertolak ke Malang, Jawa Timur.

Kamis pagi pekan lalu, Jokowi mengumumkan para anggota Panitia Seleksi yang akan menyiapkan pergantian lima pemimpin KPK pada Desember nanti. Mereka adalah Destry Damayanti, Eni Urbaningsih, Natalia Subagjo, Yenti Garnasih, Harkristuti Harkrisnowo, Betti Alisjahbana, Meuthia Ganie-Rochman, Supra Wimbarti, dan Diani Sadiawati.

Panitia Seleksi berisi para ahli, dari pakar hukum pidana, tata negara, birokrasi, manajemen, hingga psikologi. Profesinya pun beragam, seperti birokrat dan profesional, meski semuanya berlatar belakang akademikus. "Beberapa bulan ini saya bekerja keras membentuk Pansel. Panitia harus kompeten dan berintegritas serta keahliannya harus lengkap," ujar Jokowi.

Pengumuman itu menutup perdebatan di publik mengenai calon anggota Panitia Seleksi menyusul beredarnya 12 nama sejak Senin pekan lalu. Mereka adalah Jimly Asshiddiqie, Zainal Arifin Mochtar, Saldi Isra, Tumpak Hatorangan Panggabean, Refly Harun, Erry Riyana Hardjapamekas, Oegroseno, Imam B. Prasodjo, Abdullah Hehamahua, Romli Atmasasmita, Margarito Kamis, dan Chairul Huda.

Nama-nama itu memang didominasi aktivis antikorupsi yang menentang kriminalisasi terhadap pemimpin KPK setelah penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang kini Wakil Kepala Kepolisian RI. Penetapan tersangka Budi dan kriminalisasi itu juga memunculkan dua kubu besar, yakni pendukung KPK dan penyokong Polri.

Namun tiga nama terakhir, yakni Romli, Margarito, dan Chairul, memancing reaksi negatif. Mereka dinilai bagian dari kubu penentang KPK lantaran menjadi saksi ahli meringankan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dalam sidang praperadilan pada Februari lalu. Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu berujung pada putusan bahwa penetapan Budi sebagai tersangka perkara suap dan gratifikasi oleh KPK tidak sah.

Indonesia Corruption Watch paling getol menentang ketiganya masuk Panitia Seleksi. "Romli dulu lain dengan sekarang," kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo. Sebagai ahli hukum pidana dan mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menyusun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, semestinya Romli mengkritik KPK secara benar. "Jangan KPK diamputasi," ucapnya.

Romli bereaksi keras. "Apakah kalau jadi saksi ahli Budi Gunawan lalu sama dengan koruptor?" katanya. Dia lantas mengadukan Adnan ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri pada Kamis pekan lalu dengan tuduhan pencemaran nama. Ikut diadukan Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho dan mantan penasihat KPK, Said Zainal Abidin.

Adapun Margarito mengatakan ada yang aneh dalam penyebutan namanya pada daftar 12 calon anggota Panitia Seleksi. Sebab, dia tak memihak Jokowi dalam pemilihan presiden 2014. "Saya tahu diri," ujarnya. Apalagi tak ada pihak yang memberitahukan telah mengusulkan namanya. Pihak Istana juga tak menghubunginya.

Romli belum dihubungi Istana sehingga tak tahu apakah benar menjadi calon anggota Panitia Seleksi. "Pratikno malah menanyakan profil saya kepada seorang teman," katanya. Romli juga tidak tahu siapa yang mencalonkan dirinya.

Dari penelusuran Tempo, nama Romli muncul dari Kementerian Hukum sekitar sebulan lalu. Bahkan guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu diusulkan menjadi Ketua Panitia. Kementerian Hukum juga mengajukan Edward Omar Sharif Hiariej, guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Adapun mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, hingga diberhentikan pada Maret lalu, dia tak pernah ditugasi Menteri Hukum Yasonna Hamonangan Laoly menyusun usul calon kepada Sekretariat Negara. Aidir Amin Daud, pengganti Harkristuti, pun tak dilibatkan dalam pengusulan itu. "Saya tak tahu apakah Pak Menteri mengusulkan," ujar Aidir. Sebelumnya, Yasonna membantah soal ini.

Sebagian nama dari 12 calon yang beredar tadi juga masuk daftar di Sekretariat Negara sejak sekitar empat bulan lalu, yakni Jimly, Erry, Tumpak, Saldi Isra, dan Imam Prasodjo. Ada juga nama Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santoso dan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum Wicipto Setiadi.

Pratikno tak menyangkal bahwa 12 nama yang sempat beredar memang sebagian dari sekitar 30 calon yang dikantongi Sekretariat Negara. "Kini saatnya publik menyoroti sehingga Presiden bisa memikirkan," katanya. Namun, menurut Teten Masduki, "Bukan kami yang menyebarkan nama-nama itu ke publik."

Pihak Istana menampik anggapan bahwa Presiden buru-buru mengganti 12 orang itu dengan 9 wanita setelah muncul protes terhadap figur Romli, Margarito, dan Chairul. "Nama-nama ini baru disusun final tadi malam," ujar Pratikno, Kamis pekan lalu.

Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto memastikan bahwa draf final keputusan presiden tentang Panitia Seleksi Pemimpin KPK baru sampai di meja Presiden Jokowi pada Rabu malam pekan lalu.

Saldi Isra menilai terpilihnya sembilan wanita merupakan jalan tengah yang dipilih Presiden guna meredakan konflik Polri-KPK yang melibatkan partai politik dan aktivis lembaga swadaya masyarakat antikorupsi. Adnan Topan Husodo melihat perdebatan dalam seleksi KPK selama ini juga didominasi partai versus LSM. "Sekarang Panitia Seleksi bukan dari LSM atau partai."

Teten mengakui ini terobosan Jokowi untuk keluar dari "jebakan" akibat munculnya dua kubu setelah kasus Budi Gunawan. Sembilan dari 12 nama yang muncul sebelumnya jelas berada di garis depan membela KPK sehingga dipersepsikan anti-polisi. Sisanya dianggap pro-polisi.

Terobosan lain adalah menegaskan bahwa Jokowi tak pernah mempersoalkan gender. Delapan wanita di Kabinet Kerja menjadi rekor jumlah menteri perempuan sejak republik ini berdiri. "Pak Jokowi pernah mengangkat Kepala Satpol PP wanita di Solo," kata Teten.

Walau begitu, Jokowi tak mau terburu-buru. Setelah diputuskan pada Selasa pekan lalu, sembilan nama anggota Panitia Seleksi tak langsung dituangkan dalam draf keputusan presiden. "Diendapkan dulu dua hari. Dirasa-rasain dulu," ujar Teten. Nah, finalisasi baru dilakukan pada Rabu malam.

Serba kilatnya proses di Istana membuat pemberitahuan kepada mereka yang terpilih baru dilakukan pada Rabu siang hingga sore pekan lalu. "Saya ditelepon oleh Staf Khusus Seskab," kata Harkristuti Harkrisnowo. Demikian pula Betti Alisjahbana. Sedangkan Yenti Garnasih mengatakan belum pernah dihubungi Istana untuk diminta kesediaannya. "Tapi dihubungi Koalisi Masyarakat Sipil," ujarnya.

Adapun Destry Damayanti, yang didapuk menjadi Ketua Panitia Seleksi, hingga pengumuman di Halim belum memperoleh pemberitahuan resmi dari Istana. Dia hanya mengetahui namanya diusulkan masuk Panitia Seleksi. Ketika Presiden Jokowi mengumumkan Panitia Seleksi, dia sedang tergolek lemah di rumah sakit akibat demam berdarah. "Ini masih panas-dingin," kata Destry, Kamis pekan lalu.

Jobpie Sugiharto, Reza Aditya, Muhamad Rizki, Aisha Shaidra


- 1. Destry Damayanti (Ketua)
Chief Economist Bank Mandiri, ahli ekonomi dan keuangan

- 2. Eni Urbaningsih (Wakil Ketua)
Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, ahli hukum tata negara

- 3. Natalia Subagjo (Anggota)
Sekretaris Tim Independen Reformasi Birokrasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

- 4. Yenti Garnasih (Anggota)
Dosen hukum pidana ekonomi dan pencucian uang Fakultas Hukum Universitas Trisakti

- 5. Harkristuti Harkrisnowo (Anggota)
Ahli hukum pidana dan Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

- 6. Betti Alisjahbana (Anggota)
Mantan CEO International Business Machines (IBM) ASEAN dan South Asia serta Ketua Majelis Wali Amanah Institut Teknologi Bandung

- 7. Meuthia Ganie-Rochman (Anggota)
Ahli sosiologi korupsi dan modal sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

- 8. Supra Wimbarti (Anggota)
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, ahli psikologi

- 9. Diani Sadiawati (Anggota)
Direktur Analisa Peraturan Perundang-undangan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus