UPAYA Lukman Umar untuk kembali ke majalah wanita Kartini boleh dibilang tinggal selangkah. Ia berada di atas angin, setelah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi "Kelompok Tujuh" Willy Risakotta dan kawan-kawan - yang bersamanya dulu ikut mendirikan Kartini. Putusan Mahkamah Agung, 30 Maret 1985, itu senada dengan putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding: sama-sama memenangkan Lukman (TEMPO, 11 Mei, Media). Setelah mengantungi surat keputusan Mahkamah Agung, bekas pemimpin umum/pemimpin perusahaan Kartini sekaligus pengurus Yayasan Pratama Sari -penerbit majalah tersebut - itu sigap sekali bertindak. Dua pekan lalu ia mengajukan permohonan agar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat segera melakukan eksekusi. Artinya, agar ia bisa didudukkan kembali ke jabatan semula di Kartini, yang kini dikelola "Kelompok Tujuh". Selain itu, ia juga menghubungi Departemen Penerangan untuk meminta petunjuk dan pengarahan, bagaimana caranya agar kemglnannya itu bisa terlaksana. Lukman, yang belakangan mendirikan majalah wanita Sannah, pada tahun 1982 didepak dari Kartini menyusul tuduhan memakan sejumlah uang perusahaan. Kubu Willy tak tinggal diam menanggapi kemenangan Lukman di tingkat kasasi. Mereka segera mengajukan permohonan request civiel - peninjauan kembali - ke alamat Mahkamah Agung, pada 4 Mei lalu. Dan, seperti halnya Lukman, Willy dan kawan-kawan mengontak Departemen Penerangan. "Dari segi hukum memang kami kalah. Tapi yang mengatur hidupnya majalah ini masih ada instansi lain, yaitu Departemen Penerangan. Maka, untuk penyelesaiannya, sepenuhnya kami percayakan ke sana karena merekalah yang tahu persis masalah yang sebenarnya," ujar Willy. Sekaligus, ke Departemen Penerangan itu, Willy dan kawan-kawan mengajukan permohonan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Dan, seperti mudah diduga, mereka tak mencantumkan nama Lukman Umar sebagai salah seorang pengelola majalah tersebut. Lalu, bisakah keputusan itu dilaksanakan? Soedijono, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menyatakan bahwa permohonan Lukman belum sampai ke mejanya. Tapi, katanya, eksekusi akan segera dilakukan setelah pihak yang menang mengajukan permohonan. Adanya permohonan request civiel dari pihak lawan tak mempengaruhi eksekusi. "Menurut ketentuan, permohonan request civiel tidak menghambat eksekusi keputusan Mahkamah Agung," kata Soedijono. Bagaimana bila dalam permohonan SIUPP Kartini nama Lukman tak dicantumkan? Menurut Soedijono, bila SIUPP belum keluar, si pemohon harus menyesuaikan dengan keputusan Mahkamah Agung. Sedangkan bila SIUPP sudah keluar, Lukman bisa mengajukan permohonan untuk perubahan itu. Dan, ternyata, kata Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika Soekarno, S.H., SIUPP itu belum keluar. Hanya saja, tentang kemungkinan pelaksanaan eksekusi keputusan Mahkamah Agung, Soekarno belum bisa bicara banyak. "Saya belum sampai berpikir ke situ," katanya. Yang jelas, menurut Hakim Agung Firdaus Chaerani, anggota majelis hakim agung dalam kasus majalah Kartini, eksekusi keputusan Mahkamah Agung tak ada kaitan dengan instansi manapun. "Itu sepenuhnya urusan pengadilan, dan putusan pengadilan mesti dihargai," katanya per telepon kepada TEMPO. Apakah itu pertanda kartu mati bagi "Kelompok Tujuh", jawabannya barangkali menarik untuk diikuti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini