Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Uji Materi Pingpong Perkara

Sekelompok aktivis mempersoalkan bolak-baliknya ribuan berkas perkara pidana ke Mahkamah Konstitusi. Praktek terbaik di Komisi Pemberantasan Korupsi.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEKALI membetulkan letak kacamata, Bibit Samad Riyanto membacakan kesaksian pada sidang di Mahkamah Konstitusi, Rabu pekan lalu. Selama hampir 20 menit, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu mendaras berkas setebal enam halaman dengan suara datar.

Bibit bersaksi dalam sidang permohonan uji materi (judicial review) atas sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan koordinasi polisi dengan kejaksaan dalam proses pra-penuntutan perkara. Menurut Bibit, selama ini hubungan penyidik polisi dan jaksa penuntut sangat bergantung pada kedekatan tiap individu penegak hukum itu. Adapun koordinasi kelembagaan masih perlu dibenahi. "Tanpa koordinasi, kesewenang-wenangan, korupsi, dan kolusi terbuka luas," kata Bibit, yang pernah 30 tahun menjadi polisi.

Mantan Wakil Ketua KPK lainnya, Chandra Hamzah, juga menyampaikan kesaksian pada sidang hari itu. Menurut dia, kesuksesan KPK dalam menuntut berbagai perkara pidana korupsi di persidangan tercapai berkat koordinasi penyidik dan penuntut yang berada dalam satu atap. "Ada pola koordinasi yang baik antara penyelidik, penyidik, dan penuntut umum sehingga berkas perkara tak perlu bolak-balik," ujar Chandra.

Yudi Kristiana, atas nama Persatuan Jaksa Indonesia, menyatakan hal senada. Menurut dia, idealnya jaksa penuntut umum dilibatkan sejak perkara naik dari penyelidikan ke penyidikan. Di KPK, koordinasi berjalan lancar karena penyelidikan, penyidikan, dan penuntut perkara terintegrasi dalam satu deputi. Dalam forum ekspose perkara, penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pun selalu hadir. "Kebersamaan berlangsung sejak awal," kata Yudi, yang pernah menjadi jaksa penuntut KPK pada 2011-2015.

Bibit dan Chandra menjadi saksi dari pihak pemohon uji materi. Mereka adalah Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Choky Risda Ramadhan, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, Ketua Pokja 30 Kalimantan Timur Carolus Tuah, dan pengamen Andro Supriyanto. Keempat orang itu memasukkan permohonan uji materi pada Oktober tahun lalu.

Pemohon uji materi mempersoalkan ketidakjelasan aturan main dalam pra-penuntutan perkara. Berdasarkan KUHAP, Choky menjelaskan, penyidik harus mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kepada jaksa penuntut begitu mereka meningkatkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan. Faktanya, penyidik polisi sering mengirimkan SPDP bersamaan dengan pelimpahan berkas pertama ke jaksa penuntut.

Karena tak dilibatkan sejak awal penyidikan, jaksa pun jarang menyatakan berkas perkara lengkap pada pelimpahan pertama. Umumnya, jaksa menyatakan berkas belum lengkap, lalu mengembalikannya kepada penyidik. Nah, berapa kali jaksa boleh mengembalikan berkas dan berapa lama polisi harus melengkapi berkas tersebut tak dibatasi dengan pasti. Tak ada pula tenggat bagi penyidik untuk menghentikan pengusutan perkara yang kurang bukti. Akibatnya, berkas perkara bisa bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan atau terkatung-katung tanpa ujung.

Usman Hamid, misalnya, menjadi pemohon uji materi karena terbebani status tersangka selama enam tahun lebih. Polisi menetapkan Usman sebagai tersangka pencemaran nama mantan Deputi V Badan Intelijen Nasional Muchdi Purwoprandjono pada September 2009. Kala itu Usman menjadi anggota tim pencari fakta kasus pembunuhan Munir Said Thalib. Tim itu dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Usman bolak-balik berurusan dengan penyidik karena mengungkap hubungan telepon antara Muchdi dan Pollycarpus Budihari Priyanto, yang belakangan terbukti terlibat pembunuhan Munir. Di persidangan, Muchdi membantah hubungan telepon itu. Hingga kini, penyidikan kasus ini masih menggantung. Usman pun tak tahu di mana berkas perkara dia berada.

Ichsan Zikri, kuasa hukum Usman dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, mengatakan kliennya mengajukan gugatan uji materi karena tak mau ada orang lain yang bernasib sama dengan dirinya. "Jangan lagi ada orang dijadikan tersangka semata-mata untuk membungkam suaranya," ucap Ichsan.

Berdasarkan penelitian MaPPI, pada 2012-2014, ada sekitar 63 ribu berkas perkara yang bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan. Dari jumlah itu, sekitar 33 ribu tak kunjung dilimpahkan ke kejaksaan, setelah dikembalikan ke kepolisian. "Puluhan ribu perkara itu tak jelas nasibnya," kata peneliti MaPPI, Adery Ardhan Saputro (lihat tabel).

Markas Besar Kepolisian RI menanggapi permohonan uji materi pada sidang 8 Maret lalu. Komisaris Besar Agung Makbul, dari Divisi Hukum Polri, mengatakan Mahkamah Konstitusi tak berwenang memeriksa permohonan uji materi yang mempersoalkan penerapan norma hukum. Menurut Agung, pemohon uji materi pun tak menunjukkan kerugian spesifik dan aktual, atau setidaknya potensial, akibat penerapan pasal-pasal pra-penuntutan. "Tak ada hubungan kausalitas antara kerugian dan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji," ujar Agung.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal Agus Rianto mengatakan, ketika penyelidikan naik ke tahap penyidikan, penyidik harus segera menerbitkan SPDP. Selanjutnya, berkas perkara bisa beberapa kali dikembalikan jaksa untuk dilengkapi. Menurut Agus, berkas perkara yang belum dinyatakan lengkap tidak akan hilang. "Itu pekerjaan rumah polisi untuk diselesaikan tahun berikutnya," kata Agus.

Mewakili pemerintah, Erryl Prima Putera Agoes dari Kejaksaan Agung juga meminta Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi ini. Pemerintah, menurut dia, melihat permohonan Usman dan kawan-kawan lebih didasari pengalaman tidak menyenangkan dalam penerapan hukum acara pidana. "Yang dipersoalkan bukan isu konstitusi, melainkan isu teknis pelaksanaan KUHAP," ujar Erryl.

Miko Susanto Ginting, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, mengatakan penyidikan perkara yang lama menggantung jelas merugikan tersangka yang belum tentu bersalah. Apalagi bila penyidik memakai pasal pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. Tersangka bisa langsung ditahan, dilarang bepergian ke luar negeri, dipecat oleh perusahaan, atau tak bisa mencalonkan diri untuk jabatan politik. "Bila aturan pra-penuntutan tak diperjelas, status tersangka pun bisa melekat sampai wafat," kata Miko.

Nur Haryanto


Berkas yang dinyatakan lengkap
2012 |88.685
2013 |105.082
2014 |120.011
Total|313.778

Berkas yang dikembalikan kepada penyidik

Bolak-balik polisi-jaksa
2012 |22.968
2013 |31.757
2014 |8.604
Total|63.329

Dapat dilengkapi
2012 |13.217
2013 |1.739
2014 |-
Total|14.956

Tidak dapat dilengkapi
2012 | 2.710
2013 | 2.710
2014 | 7.833
Total| 13.253

Tidak dikembalikan ke jaksa
2012 | 12.535
2013 | 16.918
2014 | 4.302
Total| 33.755Sumber: MAPPI Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016

Pasal yang Digugat
Pasal 14 huruf b, Pasal 109 ayat 1, Pasal 138 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 139 dan Pasal 14 huruf I, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Dasar Gugatan
Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat 1, dan Pasal 281 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus