Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Suap Penghilang Nama Ojang

Komisi antikorupsi menahan Bupati Subang dan dua jaksa dalam kasus korupsi dana jaminan sosial. Bersekongkol mengatur tuntutan.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OBROLAN santai Bupati Subang, Jawa Barat, Ojang Sohandi, dengan Komandan Komando Distrik Militer Letnan Kolonel Budi Mawardi Syam terputus, Senin siang pekan lalu. Sang Bupati terkaget-kaget ketika Kepala Kepolisian Resor Subang Ajun Komisaris Besar Agus Nurpatria datang bersama dua orang yang mengenalkan diri sebagai petugas Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ojang mengetahui kehadiran dua petugas KPK itu setelah diberi tahu Budi. Sebelum Agus dan petugas KPK datang, dari pagi Budi mendampingi Ojang menghadiri acara khitanan massal. Lewat Budi, Agus menjelaskan bahwa kedua pegawai lembaga antirasuah itu akan membawa Ojang ke Jakarta.

Ojang tak melawan ketika akan digiring ke Jakarta. Namun politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini sempat menawar untuk naik mobil dinas bupati. "Petugas KPK bicara baik-baik, Ojang pun menyerah," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief, Kamis pekan lalu.

Sebelum menyeret Ojang, pagi harinya tim satuan tugas KPK mencokok Lenih Marliani di parkiran kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Lenih adalah istri terdakwa kasus dugaan penyalahgunaan anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kabupaten Subang, Jajang Abdul Kholik. Pada saat yang sama, petugas KPK lainnya bergerak ke lantai empat gedung Kejaksaan untuk menyergap jaksa Deviyanti Rochaeni. Dari tangan Devi, KPK menyita duit Rp 528 juta.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan Devi, yang menangani kasus Jajang, ditangkap setelah menerima suap yang diantar Lenih. Duit besel itu berasal dari Ojang. Sang Bupati berkepentingan agar namanya tak disebut dalam surat tuntutan untuk Jajang dan terdakwa lain, Budi Subiantoro. Berkas tuntutan itu dibacakan jaksa pada Senin sore pekan lalu. "Dia mau cuci tangan, tidak mau bertanggung jawab," ujar Saut.

Penggarongan dana BPJS Subang terjadi pada tahun anggaran 2014. Budi Subiantoro, ketika itu Kepala Dinas Kesehatan, dan Jajang Abdul Kholik, Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan, menggangsir dana Rp 4,7 miliar, dari total dana pengembalian klaim BPJS sebesar Rp 41 miliar.

Jaksa menuntut Budi dan Jajang dihukum dua tahun lima bulan penjara serta denda Rp 50 juta. Namun, dalam surat tuntutan, nama Bupati Ojang tak disebutkan sama sekali. Padahal, dalam pemeriksaan saksi dan terdakwa, Budi dan Jajang mengaku anggaran BPJS disunat Bendahara Dinas Kesehatan Kabupaten Subang Suhendi untuk keperluan Bupati Ojang. "Suhendi yang tahu soal keterlibatan Bupati dalam kasus ini," kata Budi.

Jajang membeberkan, Suhendi juga pernah mencairkan dana BPJS sebesar Rp 1 miliar. Duit itu diduga diberikan kepada Bupati Ojang. Saat dimintai konfirmasi, Suhendi pasang badan untuk Ojang. Dia mengatakan duit BPJS sebesar Rp 1 miliar dicairkannya dalam dua tahap, masing-masing Rp 700 juta dan Rp 300 juta. Duit itu ia gunakan untuk kepentingan pribadi. "Uang itu enggak pernah saya berikan kepada Pak Ojang," ujar Suhendi. "Saya pakai untuk menutup utang pribadi saya di beberapa bank."

Dalam kesaksian untuk Budi dan Ojang pada sidang 7 Maret lalu, Suhendi mengaku memakai dana BPJS sebesar Rp 1,6 miliar buat menutupi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dana APBD itu sebelumnya dipakai membangun vila untuk Ojang.

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Barat, yang menyidik kasus BPJS Subang, hingga kini belum menetapkan Suhendi sebagai tersangka. Aliran dana yang diduga sampai ke Ojang pun belum dikutak-kutik. Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Polda Jawa Barat Ajun Komisaris Besar Ade Harianto beralasan institusinya hanya menangani kasus Budi dan Jajang yang kini sudah disidang. "Kelanjutan kasus Subang ditangani Bareskrim Mabes Polri," kata Ade.

Menjelang pembacaan tuntutan Jajang dan Budi, menurut seorang penegak hukum, Ojang meminta Lenih menghubungi Fahri Nurmallo, koordinator jaksa yang menangani perkara. Lewat Fahri inilah Lenih menyampaikan pesan agar nama Ojang tak disebut sebagai penerima duit jaminan kesehatan. Gayung bersambut, Fahri menyetujui permintaan itu dan meminta imbalan Rp 350 juta.

Ketika diberi tahu permintaan Fahri, Ojang meminta Lenih menawar. Akhirnya disepakati harga Rp 300 juta untuk melenyapkan nama Ojang pada rencana tuntutan. Ojang lantas meminta Elita Budiarti, Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Subang, menyiapkan uang. Elita merangkap jabatan sebagai pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan.

Pada 31 Maret lalu, Elita memberi Lenih Rp 100 juta untuk diserahkan kepada Fahri. Empat hari kemudian, Fahri dimutasi ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. Meski tak bertugas lagi di Jawa Barat, Fahri tetap berkomunikasi dengan Lenih.

Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Ferry Wibisono mengatakan pemindahan Fahri tak ada hubungannya dengan suap-menyuap. "Itu mutasi biasa," ujar mantan Direktur Penuntutan KPK itu.

Sehari sebelum operasi tangkap tangan oleh KPK, Fahri datang ke Bandung untuk menemui Devi. Fahri mengingatkan Devi untuk membuat janji bertemu dengan Lenih pada Senin pagi itu. "Fahri meminta Devi menerima sisa uang suapnya," kata penegak hukum itu. Setelah itu, Fahri lantas balik ke Semarang.

Sempat lolos pada operasi tangkap tangan, Fahri tak bisa berleha-leha. Setelah Devi ditangkap, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono berjanji menyerahkan Fahri kepada komisi antikorupsi. Pada Selasa sore pekan lalu, Fahri diantar tim Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan ke kantor KPK. Setelah menjalani pemeriksaan, ia langsung ditahan.

Komisi antikorupsi menetapkan Fahri dan Devi sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan Ojang, Lenih, dan Jajang disangka sebagai pemberi uang sogok. Khusus untuk Ojang, KPK menambahkan pasal gratifikasi. Hal itu berkaitan dengan penemuan duit Rp 385 juta di mobil Ojang.

Ojang meminta maaf kepada masyarakat Subang. "Saya mohon doanya juga," ujarnya. Namun Ojang bungkam ketika ditanyai wartawan apakah permintaan maaf itu merupakan pengakuan sebagai pemberi suap. Ojang juga tak mau menjelaskan apa sesungguhnya peran dia sehingga ditangkap KPK. Ketiga tersangka lain, yakni Lenih, Devi, dan Fahri, juga menutup mulut rapat-rapat.

Pembelaan untuk Devi dan Fahri datang dari koleganya di kejaksaan. Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Raymond Ali mengatakan Devi tak menerima suap. Menurut dia, uang yang disita KPK dari Devi merupakan uang pengganti kerugian negara yang dibayarkan Jajang dan Budi. Uang itu dititipkan dulu ke Devi untuk disetorkan ke kas negara. "Kami menyesalkan ada penyitaan uang pengganti oleh KPK," kata Raymond.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan hal berbeda. Menurut dia, Devi menyerahkan duit Rp 528 juta ketika tim satuan tugas KPK menanyakan uang pemberian dari Lenih. Saut pun memastikan petugas KPK bekerja secara profesional. "Kami ada videonya, sebagai alat kontrol di lapangan," ujarnya.

Linda Trianita, Iqbal Lazuardi (Bandung), Nanang Sutisna (Subang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus