Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Agung menghukum kembali dua guru Jakarta International School, Ferdinant Tjiong dan Neil Bantleman, menyisakan tanda tanya bagi banyak kalangan. Rabu pekan lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Indonesia merilis hasil eksaminasi atas putusan perkara ini.
Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan putusan kasasi pada akhir Februari itu belum menjawab pertanyaan ada-tidaknya pelecehan seksual atas tiga murid taman kanak-kanak JIS. "Pembuktian di pengadilan lemah," katanya. Kontras dan MaPPI, menurut Haris, mengkaji putusan hakim untuk mendudukkan perkara JIS agar terang-benderang. "Ada fakta yang tak dibuka di pengadilan."
Dugaan kasus kekerasan seksual di lingkungan JIS semula diungkap orang tua seorang murid taman kanak-kanak—sebut saja namanya Anthony—di depan tim Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pertengahan Mei 2014. Sebulan sebelumnya, seorang murid sekolah yang sama—panggil saja namanya Leo—juga dilaporkan mengalami pelecehan seksual. Kepada tim KPAI, Anthony mengaku melihat Leo dan korban ketiga—sebut saja namanya Diego—mengalami pelecehan di toilet Anggrek, beberapa meter dari kelasnya.
Pada awal April tahun lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Ferdinant dan Neil bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap bocah-bocah mungil itu. Mereka dihukum penjara sepuluh tahun. Sebelumnya, pada Desember 2014, pengadilan yang sama menghukum lima petugas kebersihan sekolah tersebut. Mereka adalah Agun Iskandar, Virgiawan Amin alias Awan, Afriska Setiani, Zainal Abidin, dan Syahrial. Kelimanya divonis tujuh-delapan tahun penjara.
Ketujuh terdakwa kemudian mengajukan permohonan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan vonis kelima petugas kebersihan. Pada medio tahun lalu, Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan di bawahnya.
Putusan berbeda justru diterima Neil dan Ferdinant. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menganulir vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada Agustus tahun lalu, keduanya bebas dari tahanan. Berkunjung ke kantor Tempo tak lama setelah bebas, Ferdinant dan Neil mengaku telah menjadi korban penyidikan sesat. "Kami tak pernah membayangkan bisa terseret kasus seperti ini," ujar Ferdinant, yang diiyakan Neil, kala itu.
Belakangan, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengajukan permohonan kasasi. Majelis hakim Mahkamah Agung, yang terdiri atas Salman Luthan, Suhadi, dan Artidjo Alkostar, mengabulkan tuntutan kejaksaan. Neil dan Ferdinant kembali masuk bui.
Menurut Haris, eksaminasi digelar sejak awal tahun lalu. Delapan ahli dan praktisi hukum menguji pokok perkara ini dari awal, mulai laporan di polisi, olah tempat kejadian perkara, sampai menemui pelaku di tahanan. Eksaminasi rampung pada November 2015.
Menurut Ketua Harian MaPPI Choky Ramadhan, tim eksaminasi menemukan pelanggaran selama penyidikan petugas kebersihan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. "Ada penyiksaan terhadap petugas kebersihan," katanya. "Kesaksian mereka lemah karena di bawah tekanan."
Komisaris Besar Heru Pranoto, yang menjabat Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya ketika kasus ini bergulir, menyangkal merekayasa perkara JIS dan menyiksa tersangka. "Penyidikan sudah sesuai dengan prosedur sampai di pengadilan," ujarnya.
Tim eksaminasi juga menemukan hasil visum yang berbeda-beda. Pemeriksaan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, menyebutkan tak ada ciri kekerasan seksual pada korban. Sedangkan visum di Rumah Sakit Polri R. Said Sukanto menyatakan sebaliknya. "Hakim tak mempertimbangkan perbedaan ini," ucapnya.
Walhasil, menurut Haris, tim eksaminasi menyimpulkan bangunan pembuktian perkara ini keropos. Akibatnya, terpidana dan korban sama-sama dirugikan. "Hak korban dipenuhi lewat manipulasi proses hukum," katanya. "Artinya, keadilan yang dia peroleh semu."
Hakim agung Suhadi menolak mengomentari hasil eksaminasi. "Saya menolak berkomentar terkait dengan perkara yang masih berjalan atau sudah berkekuatan hukum tetap," ujar juru bicara Mahkamah Agung ini.
Syailendra Persada, Muhammad Kurnianto (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo