BAK tongkat membawa rebah, begitulah ulah notaris di Medan, Leo Hutabarat. Sampai pekan ini ia menginap di sel Kepolisian Daerah Sumatera Utara, dengan tuduhan memalsu akta Yayasan T.D. Pardede Foundation (YTDPF) milik T.D. Pardede. Kalau tuduhan itu terbukti, pupuslah kekebalan Leo, 51 tahun. Biasanya, selaku praktisi hukum, notaris dilindungi tameng "hanya memeriksa formalitas akta, bukan materinya". Leo diincar di Jakarta oleh petugas Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Sabtu dua pekan lalu. Perburuan itu dilakukan lantaran Leo tidak memenuhi panggilan polisi, meski sudah dua kali dipanggil. Hari itu, notaris yang sejak April lalu pindah praktek ke Jakarta ini diboyong ke Medan. Menurut polisi, dalam pemeriksaan Leo memberi keterangan berbelit-belit. Alhasil, Leo terpaksa ditahan. Ia tersandung dalam perkara ini setelah sembilan anak mendiang T.D. Pardede meributkan isi akta YTDPF yang dibuat notaris itu. YTDPF adalah yayasan di luar T.D. Pardede Holding Company dan segerobak yayasan lain yang dibuat semasa pengusaha terkenal itu hidup. Pardede meninggal dalam usia 75 tahun, 18 November 1991. Ahli warisnya bertikai lewat perang iklan di koran. Rudolp (anak sulung) dan tiga adiknya (Sariati, Hisar, Renny) di satu pihak, sedangkan lima saudara kandungnya (Merry, Emmy, Anny, Indri, dan Johny) tancap kaki di kubu lain. Menurut pihak Rudolp, akta nomor 33 tanggal 26 Desember 1989 menyebutkan dirinya sebagai ketua badan pengawas, dan Sariati, Hisar, serta Johny menjadi anggota badan pengawas YTDPF. Selain itu, Pardede pernah mengangkat Sariati sebagai ketua umum YTDPF dan Yayasan Perguruan Darma Agung (YPDA), pengelola pendidikan SD sampai perguruan tinggi. Sebaliknya kubu Merry menyatakan, badan pengawas itu tidak tercantum dalam akta tersebut. Yang ada, anggota badan pengurus terdiri dari sembilan anak kandung Pardede. Belakangan, kopi akta versi kubu ini bisa diperoleh Rudolp. Di hadapan Notaris Leo Hutabarat juga, 5 Mei 1992, menurut kubu Merry, jabatan badan pengawas YTDPF dan YPDA dialihkan pada Merry. Sedangkan jabatan ketua kedua yayasan itu diberikan pada Dr. Hophoptua Siahaan, yang bukan keluarga besar Pardede. Rudolp lalu mencurigai Notaris Leo. Bagaimana bisa akta dengan nomor, tanggal, dan notaris yang sama berbeda isinya. Ternyata, di kantor Notaris Leo, yang ada cuma minuta (akta asli) versi pihak Rudolp. Menurut peraturan, akta berminutalah yang punya kekuatan hukum. Kepada penyidik, Leo mengaku minuta akta versi kubu Merry itu sudah hilang. Dalih bengkok ini ternyata tidak bisa diterima penyidik. "Kalau minuta akta hilang, bagaimana kekuatan sebuah akta? Ini pasti ada apa-apanya," ujar Kolonel Sri Tumulyo, Kaditserse Kepolisian Daerah Sumatera Utara. "Kok bisa hilang? Kalau benar begitu, saya juga akan menuntut Leo," kata Merry seraya menunjuk akta di kubunya yang sah. Lain lagi jawaban Leo sewaktu ditemui Rudolp. Ia mengaku akta versi kubu Merry memang tidak ada minuta. Itu dikatakan Leo, menurut Rudolp, sembari menyembah dan minta ampun kepadanya. "Tapi sudah terlambat. Akibat ulahnya, keluarga kami pecah," ujar Rudolp, 50 tahun. Selain perang iklan, pertikaian kedua pihak berkepanjangan. Setelah menyingkirkan Rudolp dari yayasan, kubu Merry langsung manjalankan roda kedua yayasan yang beraset sekitar Rp 50 milyar itu. "Saya menjadi babak-belur," ujar Rudolp. Happy Sulistyadi dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini