Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Upaya ganda seorang nyonya.

Linda m mokalu, 35, terpidana kasus penggelapan selain memohon grasi, sekaligus juga mengajukan peninjauan kembali (pk) atas vonis setahun penjara terhadap dirinya.

16 Maret 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIASANYA terpidana yang sudah divonis Mahkamah Agung hanya mengajukan grasi atau upaya peninjauan kembali (PK). Dengan permohonan grasi, artinya si terpidana mengaku bersalah, tapi memohon ampun dari Presiden. Sebaliknya, dengan mengajukan PK, berarti si terpidana masih belum menerima vonis hakim. Sebab itu, menarik upaya yang ditempuh seorang terpidana kasus penggelapan di Jakarta, Nyonya Linda M. Mokalu, 35 tahun. Ibu dua anak itu selain memohon grasi, sekaligus pula mengajukan PK atas vonis setahun penjara terhadap dirinya. Hingga pekan ini, "upaya ganda" Linda itu masih diproses Mahkamah Agung (MA). Bagaimanapun kiat Linda itu terhitung baru bagi praktisi hukum. Sebab, grasi dan PK adalah dua hal yang sangat berbeda. Jika meminta grasi, berarti terpidana memang mengakui kesalahannya dan memohon ampun Presiden. Sebaliknya, dengan menempuh upaya PK, si terpidana tak menerima vonis terhadap dirinya. Dengan kata lain, ia masih berusaha "menggugurkan" vonis tersebut. Pengacara Ali Amangkoe, yang bersama Tommy Sihotang membela Linda dalam kasus itu, menganggap kliennya berhak melakukan upaya ganda itu. Apalagi, hal itu tak tegas-tegas dilarang peraturan perundangan. Artinya, ya boleh-boleh saja. Lagi pula, "Bukti baru (novum) yang dimasukkan dalam PK-nya ditemukan setelah grasinya diajukan," ujar Ali Amangkoe. Sedangkan Linda secara tak langsung mengaku bahwa permohonan grasi itu diajukan tak lain untuk menghindarkan diri dari vonis hakim. Berdasarkan Undang-Undang Grasi tahun 1950, dengan mengajukan grasi, eksekusi hukuman terhadap terpidana bisa ditangguhkan. "Kalau eksekusi tak ditangguhkan, ya, percuma saja saya mengajukan peninjauan kembali. Padahal saya sama sekali tak merasa bersalah dalam kasus itu," kata Linda, yang merasa dirinya sengaja "dijerumuskan" saksi pelapor dalam kasus itu, P. Raj Kumar Singh. Dijerumuskan? Kasusnya sendiri, sebetulnya, hanya perkara kecil: nilainya Rp 8 juta. Semula, Nyonya Linda dituduh menggelapkan mobil Peugeot 505, yang sebelumnya dijualnya kepada Raj Kumar Singh, Direktur PT Kebun Bunga. Menurut Kumar, pada 23 Desember 1983, mobil tersebut sudah dijual Linda kepadanya dengan harga Rp 8 juta. Namun, belakangan, Linda ternyata menggadaikan mobil itu ke sebuah bank seharga Rp 22 juta. Di pengadilan, proses persidangan sering diwarnai kejadian kontroversial. Misalnya, waktu itu Maruli Simorangkir, pengacara Linda, menuding Kumar menyuap penegak hukum dan wartawan untuk menyudutkan kliennya. Sebaliknya, Kumar, selain membantah tudingan itu, juga menuduh Linda yang menyuap jaksa. Tudingan suap mana yang benar, memang tak pernah dibuktikan secara tuntas. Yang jelas, kedua jaksa yang pernah menangani kasus itu sempat terkena "getahnya". Yang pertama, Jaksa Sudihadi terpaksa mundur dari perkara itu dan digantikan Soeratman. Belakangan, giliran Soeratman yang diturunkan pangkatnya dan kemudian dimutasikan. Pada 15 Maret 1986, Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Linda setahun penjara. Keputusan ini kemudian dikukuhkan pengadilan banding, pada 24 Oktober 1986. Dan pada 8 Februari 1989, MA menguatkan keputusan tersebut. Mungkin karena tak ada "harapan" lagi, pada 17 April 1989, Linda pun mengajukan permohonan grasi. Belakangan, pada 24 September 1990, melalui Ali Amangkoe dan Tommy Sihotang, Linda mengajukan PK. Alasannya, seperti dikatakan kedua pengacaranya itu, antara lain adanya bukti baru berupa kesaksian Syayid Djamaluddin, yang menyatakan bahwa tuduhan penggelapan terhadap Linda itu memang tak benar. Kepada TEMPO, Syayid, yang mengaku selama ini terpaksa buron ke Singapura dengan biaya dari Kumar, menyatakan bahwa keterangannya baik di hadapan polisi maupun di persidangan atas "pesanan" Kumar. Padahal, yang sebenarnya terjadi, katanya, antara Kumar dan Linda memang tak pernah terjadi jual beli mobil Peugeot tersebut. Dengan tak adanya jual beli itu, kata Linda, jelas pula tak ada penggelapan. Lebih dari itu, sambung Linda, uang Rp 8 juta itu sebenarnya uang jasa dari Kumar untuk Linda, yang ketika itu mengurusi izin bea cukai atas pemasukan barang-barang perusahaan Kumar. Tapi, urusan itu macet, dan berujung dengan tudingan Kumar terhadap Linda itu. Toh pihak kejaksaan menilai dalih PK Linda itu berlebihan. Sebab, menurut sumber TEMPO di Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, apa yang dikatakan bukti baru itu sudah diajukan Linda dalam memori kasasinya dulu. Dengan kata lain, ya, sudah dipertimbangkan hakim pidana. Bagaimanapun upaya Linda tadi (grasi plus PK) terhitung baru dan janggal. "Ada-ada saja. Apa logis, seseorang yang telah menyerah sepenuhnya masih mengajukan PK?" kata Hakim Agung M. Yahya Harahap, yang menulis buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Menurut Yahya, kalau terpidana sudah memohon grasi, berarti sudah tertutup pula haknya untuk mengajukan PK. Yahya menilik kedua upaya itu nantinya bisa menimbulkan kesulitan. Sebab, katanya, bisa saja nanti PK-nya membatalkan keputusan sebelumnya, padahal grasinya ditolak. Selain itu, bisa pula terjadi PK-nya ditolak MA, sementara grasinya diterima dengan keputusan terpidana tak perlu menjalani hukuman. "Mana yang harus dieksekusi jaksa?" ucap Yahya. Sementara itu, Ketua MA, Purwoto S. Gandasubrata, menyatakan upaya PK dan grasi itu adalah hak terpidana. "Boleh-boleh saja. Undang-undang juga tidak mengatur secara tegas. Tapi apa diterima atau tidak, majelis hakim agung nanti yang mempertimbangkannya," kata Purwoto. Hanya saja, sambung Purwoto, dalam kasus Linda itu sebaiknya permohonan grasinya dicabut sebelum dia mengajukan PK. "Tapi mungkin juga dia mau adu nasib. Ya, siapa tahu salah satu kena," ucapnya. Hp. S., Nunik Iswardani, Reza Rohadian (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus