KRITERIA untuk menilai perguruan tinggi negeri dan swasta akan sama. Ini yang diusulkan dalam pertemuan tingkat nasional Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BMPTSI), yang berakhir Rabu pekan lalu di Jakarta. Usul munas di Hotel Indonesia itu antara lain agar sistem akreditasi atau penyetaraan, yang selama ini hanya berlaku bagi perguruan tinggi swasta, juga diterapkan untuk perguruan tinggi negeri. Alasannya, peraturan pendidikan tinggi, baik swasta maupun negeri, sudah menjadi satu sistem. Keduanya hanya dibedakan dalam hal pendanaan. Adalah wajar kalau keduanya dinilai dengan kriteria yang sama. "Sebab, kualitas PTS yang sudah lama sebenarnya tak kalah jika dibandingkan dengan PTN yang baru berdiri," kata Ir. Suharyadi, Sekretaris Jenderal BMPTSI, pada TEMPO. Jadi, PTN yang baru berdiri, katanya, selama ini memang enak. Mereka langsung mendapat status sama dengan PTN yang sudah mantap. Kemudahan yang didapat, PTN yang belum teruji kualitasnya itu sudah langsung bisa menyelenggarakan ujian sendiri. Padahal, bagi PTS, untuk meraih status itu, perlu usaha setengah mati. "Ini kan tak adil," katanya. Kecuali mengusulkan penyamaan kriteria, munas juga mengusulkan agar diberlakukan dua status saja. Status "pratama" (menggantikan status terdaftar dalam sistem lama) dan status "utama" untuk menggantikan status "diakui" dan "disamakan". Pertimbangannya, kata Suharyadi, sistem lama terlalu berat bagi PTS. Bayangkan, dari 914 PTS yang ada sekarang ini, hanya 20% program studi yang bisa lolos menjadi "disamakan". Dengan penyederhanaan status, katanya, diharapkan kriteria lebih longgar dan mutu setara. Untuk menyaring dan memberikan status "utama" bagi PTS dan PTN, BMPTSI juga mengusulkan supaya keanggotaan Badan Akreditasi Nasional (BAN), yang sekarang sedang digodok Departemen P dan K, terdiri dari PTN, PTS, anggota profesi, dan tokoh-tokoh masyarakat yang berminat dalam bidang pendidikan. Pembentukan BAN, menurut Prof. Yuhara Sukra, Direktur Perguruan Tinggi Swasta Departemen P dan K, sudah merupakan kebutuhan mendesak. Tujuanya: ada kesatuan sistem penilaian pendidikan tinggi. "Ini merupakan cita-cita sistem pendidikan nasional," katanya. Sistem akreditasi itu menjadi prioritas yang akan diterapkan setelah tahun akademis sekarang ini. "Tugas untuk merumuskan memang tak gampang, meski pihak Departemen P dan K telah melakukan studi sejak beberapa tahun lalu," kata Prof. Bambang Soehendro, Direktur Pembinaan Sarana Akademis. Rencana penyetaraan kriteria itu dianggap angin segar bagi PTS. Pendapat tersebut antara lain datang dari Rektor Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Maurits Simatupang. Bila sistem akreditasi baru nanti juga dikenakan pula pada PTN, katanya, itu adalah fair. Sistem akreditasi PTS selama ini mengandung banyak kelemahan. Ada yang longgar dan ada yang ketat. Kriteria pun tak seragam. "Faktor orang sangat menentukan," kata Ahmad Tirto Sudiro, Rektor Unisba Bandung. "Sebenarnya jika akreditasi diperlakukan untuk PTN, ada pula yang belum memenuhi persyaratan," kata Ketua BMPTSI Jawa Barat pada TEMPO. BAN, yang menurut rencana akan difungsikan Agustus nanti, diharapkan akan membantu memecahkan masalah ini. Prof. Maman P. Rukmana, Rektor Universitas Padjadjaran Bandung, yang juga pimpinan Kopertis Jawa Barat, pun senada. "Bagaimana bisa fair kalau penentuan mutu PTS semuanya mengacu pada PTN. Padahal, apakah layak PTN yang baru lahir menjadi acuan PTS yang sudah beken," katanya. Syarat mendirikan PTS memang tak seketat PTN. Bedanya, bagi PTS, dituntut macam-macam syarat dan perlu waktu lama untuk meraih status "utama" atau disamakan. Paling tidak ada sembilan aspek yang dinilai. Mulai dari organisasi, kurikulum, tenaga pengajar tetap, proses pendidikan, lulusan yang dihasilkan, sampai kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Menurut Rektor Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Dr. Pande Raja Silalahi, sistem selama ini terlalu berat. "Terutama karena PTS mengalami kekurangan tenaga pengajar yang baik," katanya pada wartawan TEMPO Achmad Novian. Untuk mengatasi kesulitan tenaga pengajar itu, Unpar mulai 1985 sudah merintis mendirikan program pascasarjana, bekerja sama dengan Leuven Chatholijk University Belgia. Karena Unpar dianggap belum mandiri, Universitas Indonesia ditunjuk sebagai penjamin sekaligus yang mengeluarkan ijazah. Untuk tenaga pengajarnya, pihak Leuven menyediakan 75%. Sisanya dari UI dan PTN lainnya. Selain Unpar, PTS yang juga sudah punya program pascasarjana adalah Universitas Satyawacana, Salatiga. Program pasca yang sudah berdiri sejak 1986 itu bekerja sama dengan IPB -- memang masih terbatas pada program studi ekonomi pembangunan dan pem- bangunan sumber daya manusia pedesaan. Langkah itu nampaknya akan diikuti PTS lain yang sudah "mantap". Yang sedang menunggu izin antara lain Universitas Trisakti, Tarumanagara (Jakarta), dan Unisba Bandung. Nantinya, menurut Bambang Soehendro, akan ditetapkan standar perguruan tinggi secara nasional. Bagi perguruan tinggi yang baru berdiri, akan dikenakan aturan baru. Ketentuan pendirian PTS, katanya, selama ini masih terlampau longgar. Dengan kriteria dan ketentuan baru itu, mungkin cendawan PTS akan semakin ciut. Gatot Triyanto dan Reza Rohadian (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini