SEKITAR 60.000 orang nelayan tradisionil tersebar di pantai
utara dan Selatan Jawa Tengah. Jangan tanya nasib mereka. Di
mana-mana keadaan golongan ini sama saja miskin. Pihak Pemda
Jawa Tengah bukannya tak menyadari hal itu. Gubernur Munadi pada
waktu itu (1971) pernah mengeluarkan ketentuan yang menyangkut
kesejahteraan para penangkap ikan di daerah ini. Disebutkan
misalnya, 8% dari hasil kotor lelang ikan dipungut untuk
kesejahteraan para nelayan.
Pengelolaan dana itu dilakukan KPBKPI. (Koperasi Perikanan Laut)
yang ada di tiap TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Belum sempat para
penangkap ikan menikmati dana kesejahteraan itu, beberapa tahun
kemudian peraturan itu dirubah. Sekarang pengelolaan dana itu
ada di tangan Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Propinsi Jawa
Tengah. Artinya, uang pungutan 8% itu disedot dulu ke kas
propinsi, baru kemudian dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan
dari sana.
Tahun 1975 timbul kecurigaan di kalangan nelayan, mengapa uang
kesejahteraan itu begitu sulit dinikmati mereka? Adapun pungutan
8% itu menurut ketentuan masih dibagi-bagi: 2,5% untuk tabungan
(saving) nelayan, 0,5% untuk dana paceklik (di saat-saat ombak
mengamuk di musim angin barat), 1% untuk dana sosial dan
kecelakaan di laut, 0,5% untuk retribusi kabupaten/kotamadya
bersangkutan, 1% untuk retribusi propinsi, 0,5% untuk pengawasan
dan pengendalian operasionil (ke kas Dinas Perikanan Propinsi)
dan 2% untuk biaya administrasi di tiap TPI.
Persoalannya: dana tabungan yang 2,5% itu amat sulit keluar dari
Dipenda setiap kali nelayan membutuhkannya. Padahal menurut
catatan jumlahnya sudah mencapai ratusan juta. Begitu pula, dana
sosial dan kecelakaan (santunan) yang 1% itu, tak kalah-sulitnya
keluar baik melalui Dipenda maupun PT Asuransi Timur Jauh yang
menanganinya.
Suparjo Rustam
Ketika keluh-kesah para nelayan sudah sampai pada puncaknya,
Gubernur Suparjo Rustam mendengar juga. Gubernur menentukan:
menyerahkan pengelolaan uang pungutan khususnya yang menjadi
bagian langsung para nelayan kepada BUUD Perikanan di
daerah-daerah pantai. Terakhir sekali awal Maret 1978 Gubernur
Jawa Tengah mengeluarkan ketentuan terbaru pengelolaan TPI
seluruh Jawa Tengah termasuk pengelolaan uang pungutan lelang
yang 8% itu dialihkan dari Dipenda kepada Puskud (koperasi desa)
Perikanan. Begitu.
Tapi apakah main oper-operan begini tak menyebabkan uang
pungutan itu ada tercecer di sana-sini? "Kalau yang dulu-dulu
entahlah, tapi yang sekarang masih ada belasan juta rupiah yang
belum dipertanggungjawabkan pihak Dipenda" ungkap seorang
pengurus HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) di Semarang.
"Kami mulai bekerja dengan nol" kata Ketua Puskud Perikanan Jawa
Tengah, Surojo. Artinya tak ada penyerahan sisa uang di kas
ketika tugas itu diserahkan pihak Dipenda kepada Puskud.
Menurut Gubernur Suparjo sisa uang di kas Dipenda masih Rp 12
juta. Mungkin memang demikian. Yang pasti untuk meminta
penjelasan kepada Kepala Dipenda yang lama, Agus Sumadi, sudah
sulit. Sebab sejak beberapa waktu lalu ia sudah diangkat menjadi
Pembantu Gubernur Jawa Tengah untuk bekas Keresidenan Surakarta,
di Solo. Tapi yang pasti dari hasil penghitungan pihak Puskud di
TPI-TPI diketahui hasil lelang ikan selama ini taklah sedikit.
Misalnya April 1978 sebanyak hampir 8 juta kg ikan dilelang di
71 TPI Jawa Tengah dengan nilai Rp 1% milyar lebih. Ini berarti
pungutannya (8%) lebih dari Rp 100 juta.
Jika keadaan serupa itu sudah berjalan bertahun-tahun, tak sulit
dibayangkan berapa besar pendapatan dari pungutan selama ini.
Tapi apabila nasib nelayan di kawasan ini masih tetap
begitu-begitu saja, akan makin sulit pula diterka, bagaimana
pengelolaan dana itu selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini