HADIAH akhir tahun bagi dunia pendidikan kita adalah diangkatnya anggota-anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN). Ini sebuah lembaga yang akan ikut menentukan pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Menurut Mensesneg Moerdiono, badan itu dibentuk untuk mewujudkan keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Maka, sebagai lembaga forum komunikasi yang bersifat nonstruktural dan tidak di bawah Departemen P dan K, penentuan keanggotaannya dilakukan oleh Presiden Soeharto. Menteri P dan K Fuad Hassan hanya menyerahkan usulan nama-nama calon anggota. Kabarnya, ada 40 calon yang diajukan. Lalu Presiden menetapkan 17 anggota BPPN dan dilantik Rabu pekan ini. Mereka adalah Prof. Dr. Achmad Baiquni, K.H. Achmad Siddiq, Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, Barnabas Suebu, S.H., Basyuni Suriamihardja, F. Darmanto, Nyonya Karlinah Umar Wirahadikusumah, Ki Suratman, Prof. Dr. Makaminan Makagiansar, M.A., Drs. H. Mohamad Noer, Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Musilim Tharak, S.H., Drs. Soepojo Padmodipoetro, M.A., Letjen. Purn. H. Soetanto Wirjoprasanto, I.B. Suanda Wesnawa, S.H., Pdt. Dr. Sularso Sopater. Satu lagi adalah bekas Menteri P & K Syarif Thayeb yang baru saja meninggal dunia -- dan belum sempat dipilih penggantinya. Keanggotaan mereka berlaku 1989-1992, sesuai dengan SK Presiden yang ditetapkan pada 27 September lalu. Menurut Menteri Fuad Hassan, yang menentukan kriteria pemilihan anggota adalah Presiden. "Yang saya tahu betul, mereka adalah tokoh nasional. Bisa jadi, di antara mereka ada yang bukan teknikus pendidikan -- yang bicara soal kurikulum dan sebagainya. Tapi BPPN bisa mengundang teknikus pendidikan," kata Fuad. Ternyata, tak semua calon dilobi sebelumnya. Andi Hakim Nasution, misalnya. Bekas Rektor IPB ini mengatakan, "Saya cuma terima SK. Tapi ini adalah tugas yang harus saya jalani, sebab saya seorang pegawai negeri." Adalah Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mendasari lahirnya BPPN. Sebagai lembaga, BPPN itu sudah dibentuk melalui Keppres No. 30 yang diterbitkan 21 Juni 1989. Badan ini menjadi mitra Menteri P dan K untuk memberikan saran, nasihat, dan pertimbangan. Ketua Majelis Luhur Taman Siswa Ki Suratman, 66 tahun, yang terpilih menjadi salah seorang anggota BPPN mengatakan, "Kalau menteri mempunyai suatu kebijaksanaan, sementara BPPN memiliki alternatif lain, mungkin bisa disarankan sebagai bahan pertimbangan." Bisa pula dikatakan, BPPN akan menjadi semacam alat kontrol bagi kegiatan Menteri P dan K selaku eksekutif. Karena selama ini ada indikasi bahwa semua hal yang dilakukan menteri lantas menjadi sah untuk ditegakkan sebagai ketentuan. "Apa yang diharuskan eksekutif seolah menjadi keharusan untuk dilaksanakan," kata Ki Suratman. Tokoh Taman Siswa ini memberikan contoh kasus menyangkut Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang harus diubah menjadi SMA. Kata Ki Suratman, "Kalau ada BPPN, persoalan itu ada yang mempertanyakan, kenapa begitu. Selama ini, apa yang dikatakan eksekutif semua tinggal tunduk saja." Dalam kasus ini sejumlah SPG sebenarnya mau bertahan. Tapi karena sudah telanjur menjadi kebijaksanaan pemerintah, akhirnya tetap dijalankan. "Kalau ada BPPN, hal itu bisa dipersoalkan. Alasan kebijaksanaan itu apa karena jumlah guru sudah jenuh atau karena pendidikan guru lewat SPG kurang valid," kata Ki Suratman. Bagi Suratman, lembaga seperti BPPN ini sudah lama diperjuangkan kalangan pendidik. Di antaranya tercetus pada Musyawarah Perguruan Swasta (MPS) yang juga diketuai Ki Suratman. "Sudah sejak Kongres I MPS pada 1973, kami sudah memperjuangkan agar dibentuk National Board of Education," ujarnya. Di masa Daoed Yoesoef menjadi Menteri P dan K, ada lembaga yang dinamai Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional. Komisi ini menyetujui kelahiran Dewan Pendidikan Nasional (DPN), yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Menteri P dan K. Ketika RUU Pendidikan Nasional dibahas DPR, permasalahan DPN masuk dalam agenda pembicaraan panitia khusus. Kemudian, menurut Ki Suratman, karena ada kesepakatan untuk menghindari perkataan "dewan", maka lahirlah BPPN itu. Jadi, boleh disebut BPPN adalah kelanjutan DPN. Mungkin karena "hanya ganti nama" itu, ada yang kurang srek menyambut kehadiran BPPN ini. Dialah pakar pendidikan kita, Prof. Slamet Iman Santoso, yang pernah terlibat dalam Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional. "Gunanya apa?" kata Prof. Slamet. Pertanyaan ini muncul karena pengalaman di masa lalu, bahwa badan-badan seperti itu pada kenyataannya tidak berfungsi efektif. "Tahun 1964-1965 saya Ketua Majelis Pendidikan Pancasila Nasional (Mapenas). Badan yang membuat keputusan bahwa pendidikan harus dijadikan 'industri pendidikan', setelah pangan, sandang, dan papan. Industri pendidikan ini harus menyediakan sarana dan sistem yang tepat bagi 35 juta anak sekolah. Pelaksanaannya macet. Karena manusia bukan barang komoditi yang bisa dijadikan industri," cerita Prof. Slamet. Lantas, 1978-1980 Prof. Slamet juga mengetuai Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional. "Ketika itu ada kontroversi soal pendidikan antara orang CSIS dan masyarakat. Saya diminta mendamaikannya," tuturnya. "Saya ajukan konsep Matriks Standardisasi Dalam Rangka Pembentukan Fakultas dan Konsep Matriks Paket Perundang-undangan Pendidikan Nasional. Konflik teratasi, tapi hasil komisi dilemarieskan." Menanggapi keraguan beberapa pihak seperti yang dikatakan Prof. Slamet, Fuad Hassan menjawab, "Kasih, dong, kesempatan untuk melaksanakannya. Jangan belum apa-apa sudah dibantai. Di Indonesia ini biasa, kalau ada undang-undang baru, ada saja yang skeptis dan pesimistis." Mohamad Cholid, Priyono B. Sumbogo, Agung Firmansyah, dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini