ISTILAH konglomerat mulai populer dan mempunyai arti grup bisnis yang merajalela di segala bidang produksi barang dan jasa sejak tahun 1966. Saat itu, Harold Geneen memimpin ITT sebagai konglomerat perdana yang aktif dalam bisnis elektronika, telekomunikasi, perhotelan, sampai rent a car. Termasuk dalam kategori konglomerat ala ITT ialah LTV, Teledyne, dan Gulf & Western (maskapai minyak yang membeli Paramount Pictures). Pusat Data Business Indonesia (PDBI) baru saja menyelesaikan program penelitian dan pengkajian yang makan waktu dua tahun dengan mengandalkan akumulasi data selama 10 tahun, bertema Conglomeration Indonesia. Salah satu prinsip PDBI ialah pendekatan kembar empiris historis. Saya percaya, dalam soal konglomerat, kita juga bisa belajar dari pengalaman bangsa lain dan riwayat perjalanan kita sendiri. Salah satu postulat penting ialah pernyataan Peter Drucker dalam buku mutakhirnya The New Realities. Walaupun buku itu terbit sebelum Eropa Timur bergolak, tapi ayatollah manajemen yang berlatar belakang politik itu telah meramalkan bahwa The Russian Empire akan berantakan. Tapi, yang paling mengesankan saya ialah analisis historisnya yang menyatakan bahwa sejak tahun perempat terakhir abad XIX aliran liberalisme, yang lahir sejak Revolusi Prancis 1789, sebetulnya sudah lenyap digantikan oleh aliran Sosial Demokrat yang membatasi dan mengarahkan kepitalisme liberal agar tak serakah, dan eksesnya bisa mematikan kreativitas dan kemerdekaan individu. Di bidang ekonomi, ini ditandai oleh lahirnya Sherman Act pada 1890, yaitu UU Anti-Trust pertama sedunia di AS menurut nama Senator John Sherman. Setelah Perang Saudara AS (1861-1865), disusul oleh penemuan minyak, kereta api, dan listrik, serta telepon, dan revolusi industri, maka sektor bisnis mulai melahirkan raksasa, seperti Rockefeller, Carnegie, Morgan, Ford. Ini berarti, sejak 100 tahun lalu, kapitalisme liberal di AS sudah direm, dikerangkeng, dan dibatasi agar tak menghambat dan mematikan perusahaan kecil, dan merugikan masyarakat dengan mendikte harga pasar. Selama seabad terakhir ini, antara kaum bisnis raksasa yang senantiasa ingin memperlebar imperium bisnis dan para legislator dan pemerintah, yang mencerminkan aspirasi politik AS, terjadi pertandingan seru. Di depan hidung Sherman Act yang melarang trust (persekongkolan kartel antara perusahaan sejenis) justru terjadi merger raksasa pembentukan US Steel, yaitu perusahaan pertama yang asetnya menembus nilai US$ 1 milyar tahun 1901 serta Merger Gelombang Pertama 1898-1902. Baru pada 1911, Sherman Act diberlakukan untuk memecah Standar Oil milik John D. Rockefeller yang menguasai 95% produksi migas AS menjadi belasan perusahaan kecil yang kelak akan berkonsolidasi menjadi 4 raksasa minyak AS (Exxon, Mobil, Chevron, Texaco). Pada 1914, lahirlah Federal Trade Commission (FTC) sebagai wadah eksekutif untuk memantau perusahaan yang menjadi target Sherman Act dan Clayton Act. Kaum bisnis AS, pada paruh kedua 1920-an, mulai merger dalam rangka integrasi dan diversifikasi vertikal yang baru mereda setelah crash Oktober 1929. Inilah yang disebut Kenneth Davidson dalam buku Megamerger sebagai Merger Gelombang Kedua. Sementara itu, ideologi fasis Nazi di Jerman dan militerisme Jepang justru menggalakkan kartel dan trust atau kombinasi industri menjadi mesin perang yang ampuh. Karena itu, Sekutu di Eropa dan McArthur membubarkan kartel di Jerman serta empat zaibatsu Jepang pada 1946. Partai Buruh Inggris di bawah Attlee mengundangkan Monopolies & Restrictive Practices Act, 1948. AS memperkuat UU Anti-Trust dengan amandemen baru Celler Kefauver Act, 1950. Pada 1956, Belanda mengundangkan Competition Act disusul oleh Jerman dan diterimanya prinsip antimonopoli oleh Komisi ME pada 1957. Situasi anti-trust ini berlangsung selama dua dasawarsa, sejak Perang Dunia II. Pada 1966, terjadi Merger Gelombang (MG) III dengan ciri berbeda dari MG I dan II. Kali ini, lahirlah istilah konglomerat, sebab perusahaan ITT, yang dipimpin Harold Geneen, kemudian mencaplok dan mengoperasikan pelbagai bisnis yang tak ada kaitan vertikalnya dengan bisnis utama. Perlu digarisbawahi bahwa MG III pola konglomerat ini tak berlangsung lama. Sebab, mengelola konglomerat yang merupakan 'binatang bisnis' baru ternyata tak semudah seperti waktu mencaplok dan membentuk konglomerat. Pada 1974 mulailah MG IV yang tidak menggunakan pola konglomerat melainkan pola holding company (perusahaan induk), di mana divisi-divisi eks perusahaan yang dicaplok dibiarkan otonom dan dikontrol oleh induk secara strategis saja. MG IV ini masih berlangsung walaupun pada 1976 paket UU Anti-Trust AS diperkaya dengan Hart Scott Rodino Act, demi melindungi perusahaan dari corporate raiders. Ketentuannya: jika Anda menguasai 5% saham perusahaan maka Anda harus segera melapor ke Security and Exchange Commission (SEC) dan FTC tentang motif dan tujuan Anda. UU ini telah membawa seorang pengusaha Indonesia menghadapi penyidikan pemerintah Federal AS ketika membeli Arvin Industries di AS beberapa waktu lalu. UU Anti-Trust AS yang telah berusia hampir satu abad, kini lagi disorot oleh DPR, Senat, dan pendapat umum AS untuk direvisi, guna menampung penanggulangan megamerger, leveraged buy-out, yang membuat perusahaan menanggung utang gara-gara ulah ambil alih dan merger yang memakai aset perusahaan sebagai agunan. Dalam usia seabad itu, ratusan tuntutan pidana dan gugatan perdata oleh perusahaan dan masyarakat AS terhadap grup bisnis yang dianggap melanggar ketentuan anti-monopoli telah disidangkan ke mahkamah Federal AS. Rakyat AS tak ingin didikte oleh monopoli siapa pun termasuk AT &.T, yaitu perusahaan telkom swasta yang mendominasi, dan dipecah jadi tujuh perusahaan regional sejak 1985. Di samping membatasi dan menghukum keserakahan kartel dan konglomerat, AS dan Eropa Barat serta Jepang menerapkan UU yang memberi perlindungan dan fasilitas kepada perusahaan kecil dan menengah. Pada 1953 Small Business Act di AS mendirikan Small Business Administration. Dan Presiden AS sendiri yang langsung membawahkan direkturnya. Small Business Act dan pola Venture Capital ialah kutub pelindung dan penjamin serta perangsang dan pendorong wiraswasta yang hanya bermodal ide cemerlang dan prospek proyek bisnis yang tak memiliki agunan material. Tapi, dengan pola Venture Capital ini, grup besar mempercayakan kapital kepada inventor yang kreatif. Jika usaha ventura ini berhasil, maka dalam tempo tiga sampai lima tahun, perusahaan yang telah sukses ini dapat terjun ke bursa dan memperoleh agio. Konglomerat, yang menanam modal di Venture Capital Firm, akan memperoleh agio yang menjadi haknya, dan modal serta laba itu bisa dipakai untuk menghidupkan inventor lain yang baru lagi, dan seterusnya. Sementara itu, inventor yang bersangkutan juga menikmati agio serta tetap menjadi pemilik usaha yang sukses itu. Contoh sukses dari pola ini ialah tiga raksasa terkenal, komputer Apple, sepatu Nike, dan perusahaan kurir Federal Express. Jadi, usul saya di Komisi VII DPR dan pada dialog RCTI, supaya konglomerat Indonesia harus terjun dulu membuat venture capitalist firm, baru kemudian terjun ke bursa, bukan usul sembarang model 'supermi'. Justru saya kasihan sekali melihat para teknokrat dan birokrat yang sungsang sumbel membenahi pasar modal dengan aturan tambal sulam yang setiap bulan diralat, akibat pengetahuan tentang bursa yang amat dangkal, dan tidak mempelajari secara mendalam anatomi historis dan empiris dari bursa sejagat. Studi PDBI tersebut telah memantau 300 grup bisnis raksasa. Kriteria masuknya grup sehingga berjumlah 300 ialah grup yang memiliki perusahaan aktif berbadan hukum lebih dari lima, dan perusahaan yang tak mempunyai banyak PT, tapi menguasai pangsa pasar secara oligopolis atau monopolistis, misalnya jamu. Dalam menelusuri ranking konglomerat dipakai pendekatan konsolidasi aset dan penjualan, serta memperhatikan posisi konsentrasi dari perusahaan nonkonglomerat. Aset 300 konglomerat pada 1988 mencapai Rp 48,7 trilyun. Bandingkan dengan aset BUMN tahun anggaran 1987-1988 yang Rp 125,4 trilyun. Namun, dalam nilai jual (sales) konglomerat swasta mencapai Rp 62,8 trilyun, sedangkan BUMN hanya Rp 35,7 trilyun. Untuk 1988, nilai jual konglomerat swasta mencapai hampir Rp 70 trilyun. Bila kita bicara konsentrasi dan oligopoli, maka tabulasi nilai jual dan aset konglomerat Indonesia pun menunjukkan fenomena tersebut. Selusin konglomerat kelas trilyunan menguasai 26,2% aset, 26% sales 1987, dan 1/3 jual 1988. 13 konglomerat kelas 1/2 trilyunan merebut 11,9% pangsa jual 1988. Kelas di bawah 1/2 trilyun ada 275 grup menurut nilai jual, dan 283 menurut aset. Mereka menguasai 59,6% dari aset dan 55% dari penjualan 1988. Selusin konglomerat trilyunan pimpinan Salim Group berjumlah 233 unit perusahaan (no. 2 di bawah Astra dengan 235 unit PT). Grup Astra di peringkat kedua, disusul Sinar Mas, Djarum, Gudang Garam, Lippo, Dharmala, Jan Dharmadi, Mantrust, Moh. Hasan, dan Bimantara yang menempati posisi ini pada 1988. 37 konglomerat termasuk Salim menguasai 28,8% aset dan 25,12% penjualan. Pengelompokan ini tak berarti mereka saat ini melakukan bisnis atas dasar fasilitas. Konglomerat campuran model Salim Group misalnya, sudah harus berjuang secara kekuatan pasar dalam bisnis mobil. Dengan estimasi ini di mana kekuatan pasar 263 konglomerat murni mencapai 74,88%, maka PDBI berani menyatakan bahwa teori ersatz dari Yoshihara Kunio hanya relevan untuk minoritas kecil konglomerat di Indonesia, sementara mayoritasnya adalah kapitalis murni yang tumbuh melalui kekuatan pasar. Maka, sampailah kami pada beberapa rekomendasi: Kita perlu mengkaji kembali stereotype yang amat keliru tentang profil dan sistem ekonomi negara industri maju AS, Eropa Barat, dan Jepang, yang selalu dicap kapitalis liberal. Padahal, menurut Drucker, liberalisme di Barat telah dikubur pada perempat terakhir abad ke-19. Kongkretnya, AS memelopori penerapan UU Anti-Trust pertama di dunia, yang diprakarsai Senator John Sherman pada 1890. UU Anti-Trust dan Komisi Anti-Monopoli adalah perangkat kontrol dan upaya preventif dari masyarakat industri negara maju tersebut dalam mencegah keserakahan dan kesewenang-wenangan kekuatan bisnis yang mencapai posisi monopolistis, walaupun mereka tumbuh melalui proses kekuatan pasar yang wajar. Bagi masyarakat Barat tersebut, suatu monopoli akan melahirkan absolutisme yang pasti akan merugikan dan meresahkan masyarakat. Adanya UU tentang Perusahaan Kecil dan Menengah akan menciptakan iklim dan fasilitas yang favourable bagi kekuatan kreatif dan produktif dalam masyarakat untuk mencapai prestasi optimal tanpa terhambat oleh keserakahan monopolistis dari kekuatan bisnis raksasa yang telah dipantau dan dibatasi oleh UU Anti-Trust. Indonesia perlu merintis UU Anti-Monopoli dan UU Perusahaan Kecil dan Menengah dalam perlombaan pembangunan ekonomi yang akan berkiblat kepada pola kekuatan pasar yang menjamin kekuatan kreatif (UU Perusahaan Kecil Menengah), yang sekaligus membatasi konglomerat. *) Direktur PDBI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini