Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Sjarifuddin Hasan menjabarkan tentang permasalahan pada filsafat Islam. Selama ini kerap dianggap sebagai menara gading yang bersembunyi dalam perguruan tinggi. Padahal, Filsafat Islam juga perlu merespons persoalan kontemporer yang sedang dihadapi manusia saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, sudah saatnya filsafat Islam mulai bergelut dengan berbagai masalah praktis yang ada di Indonesia, dan harapan itu ia nyatakan dalam Konferensi Internasional Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam (AAFI) 2023 di Gedung Nusantara IV, Rabu, 15 Maret 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya berharap AAFI melalui konferensi ini dapat menghasilkan terobosan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu, ini mensyaratkan kesediaan kesediaan pemikir filsafat Islam untuk menyebarkan hasil penelitiannya,” ucap Sjarifuddin atau lebih dikenal dengan nama Sjarief Hasan.
Ia mengungkapkan filsafat Islam bukan hanya berputar pada diskursus wacana saja, melainkan juga memiliki peranan besar dalam memberikan pendidikan kepada umat Islam di Indonesia.
Ini sejalan dengan tujuan Indonesia sebagaimana tertuang dalam alenia keempat dalam UUD 1945 yang menyebutkan tentang peran mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak hanya itu, filsafat seharusnya juga memiliki peranan besar dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan keagamaan. “Kita meyakini filsafat memiliki kedudukan yang penting dalam dialektika keilmuan dan dianggap sebagai ibunya ilmu,” ujarnya.
Tak hanya dalam pendidikan, Filsafat Islam juga perlu menyentuh persoalan ekonomi. Seperti halnya yang pernah dituliskan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar yang mencoba menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 281-282 disertai konteks gagasan HOS Cokroaminoto tentang ide Bank Sedekah.
Konsep itu juga dilirik dan dikembangkan negara-negara di Eropa. Di kalangan umat muslim, konsep ini mulai diterapkan dengan modal yang dihimpun bukan berasal dari dana orang-orang kaya, melainkan berasal dari zakat orang-orang beriman yang dikumpulkan ke bank. Kemudian dipinjamkan kepada orang yang membutuhkan dengan bunga yang kecil dan transparan. Sedangkan sedikit keuntungan yang dihasilkan akan digunakan untuk membangun golongan fii sabilillah.
“Tapi ide yang dicetuskan beliau tersebut sebelum sampai diperbincangkan menurut hukum agama melalui ulama dan ahli ekonomi Islam, beliau wafat dan terbenam konsep tersebut,” kata Sjarief Hasan.
Bermula dari situlah, saat ini bank konvensional mulai berlomba-lomba membuka bank syariah. Sebab, menilai kehadiran bank syariah memiliki peluang emas di tengah Indonesia yang memiliki masyarakat mayoritas dari kalangan muslim. Hal ini, kata Sjarief Hasan, seharusnya tidak luput dari perhatian para ahli filsafat Islam.
Karena itu, tantangan ke depan para filosof adalah perlunya berkolaborasi dengan para fukaha untuk membahas peran bank syariah dan UMKM. Dengan begitu akan mampu meningkatkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan umat.
“Saya berharap para ahli Filsafat Islam juga tidak mengabaikan isu politik dan isu-isu praktis dan persoalan kontemporer. Aristoteles sebagai guru pertama dan para filosof Muslim juga turut membahas isu-isu praktis,” tuturnya.
Sjarief Hasan juga mengapresiasi sejumlah paper ahli Filsafat Islam yang akan dipresentasikan juga memuat tentang isu kontemporer seperti masalah kecerdasan lingkungan, revolusi industri, pembangunan berkelanjutan dan kesehatan.
Konferensi Internasional AAFI 2023 ini turut mengundang sejumlah panelis baik dalam negeri maupun dalam negeri, di antaranya Rektor PTIQ dan Imam Besar Masjid Istiqlal Prof Dr Nasaruddin Umar, Guru Besar Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Mulyadi Kertanegara, Pendiri Mahzab Islam Cinta Dr Haidar Bagir, Cendekiawan dan Dosen STF Driyakarya Dr Budhy Munawar-Rachman.
Adapun panelis dari luar negeri yang turut hadir seperti Prof Dr Hossein Muttaghi dari Al-Mustafa Internasional University-Iran, Dr Abdelaziz Abbaci dari Islamic Philosopher Algeria, dan Dr Nurul Ain Norman dari Internasional Institute of Islamic Thought and Civilisation (ISTAC-IIUM). (*)