KETIKA pelbagai bangsa berperang di Teluk, di Kairo, pemuda-pemuda Kuwait yang ikut mengungsi -- mereka pasti termasuk golongan pengungsi terkaya di abad ini -- menghabiskan waktu berajojing di diskotek. Para diplomat Kuwait di Mesir memang mencoba melarang tingkah laku yang tak patut itu. Namun, tak sepenuhnya berhasil. Seorang pemuda Kuwait menjelaskan mengapa ia tak ikut berperang untuk merebut kembali tanah airnya: "Pasukan yang ada di sana tentu dapat melaksanakan itu." Cerita ini, dilaporkan dalam The Asia Wall Street Journal pekan lalu, menggambarkan bagaimana tak mudahnya masalah Timur Tengah diselesaikan -- juga bila perang nanti selesai. Bagaimana wilayah ini bisa selamat bila penduduknya sibuk bunuh-membunuh atau berfoya-foya -- alias tak serius mengurus kehidupan sebuah bangsa, sebuah masyarakat? Perang Teluk memang bermula sebagai konflik antara Irak, yang menyiapkan pasukan dan persenjataan terus-menerus di satu pihak, dan di Kuwait, yang asyik menari dalam kekayaannya -- tapi tak siap menjaga diri -- di pihak lain. Dalam ronde pertama, yang kalah Kuwait. Dalam ronde berikutnya, mungkin Saddam Hussein. Namun, benarkah nasib buruk yang akan menimpa Saddam? Irak pasti kalah, itu kata para pejabat AS. Perkiraan itu didasarkan pada beberapa kenyataan: persenjataannya, misalnya. Kekuatan militer Irak konon terbesar No. 4 di dunia. Seorang ahli militer Timur Tengah di Inggris pernah mengatakan, "Dari segi persenjataan, Irak bukanlah sebuah negeri Dunia Ketiga." Namun, ia bergantung pada luar, yakni Uni Soviet dan Barat. Malangnya, Uni Soviet, pemasok utama senjata Irak, kini sedang "sakit". Dalam pada itu, tingkat industri dan kemampuan ekonomi Irak juga belum mungkin secara cepat menyiapkan pengganti peralatan dan persenjataan yang rusak. Kalaupun Irak nanti kaput, Sekutu, dan terutama AS, akan menghadapi soal yang lebih pelik: bagaimana mengelola sebuah Timur Tengah yang terbentuk dari reruntuhan perang ini. Para pejabat tinggi AS mengakui bahwa AS memang belum punya strategi baru untuk Timur Tengah. Selama ini garis besar haluan AS untuk wilayah yang genting ini berdasarkan kepada pola Perang Dingin dengan Uni Soviet. Mendadak Uni Soviet mundur dari arena. Dan Washington pun kehilangan asumsi-asumsinya yang lama. Dalam kekosongan itu, setelah perang, AS akan terpaksa berhadapan dengan dua kemungkinan. Pertama, mempertahankan pasukan di Timur Tengah, sebagai semacam "polisi" kawasan itu. Kedua, angkat kaki begitu Kuwait dibebaskan. Pilihan pertama, kalaupun dipaksakan oleh keadaan, akan menimbulkan beban yang berat bagi Washington. Presiden Bush tengah menghadapi ekonomi yang melorot. Defisit anggaran AS belum lagi pulih meskipun kini jarang dibicarakan lagi. Para analis ekonomi sudah berbicara tentang resesi ekonomi. Sementara itu, biaya perang tiap harinya mencapai angka sekitar US$ 1 milyar. Jumlah itu sampai sekarang harus dipikul bersama, dengan Arab Saudi dan Kuwait sebagai pembayar terbesar. Namun, memelihara pasukan di kawasan itu untuk waktu yang panjang pasti akan makan biaya yang gigantis. Menurut perhitungan, sekitar 500 juta dolar setiap harinya. Belum lagi bantuan -- seperti dijanjikan Bush -- untuk memperbaiki keadaan yang morat-marit setelah perang. Termasuk untuk Israel. Kalau itu dipaksakan juga, pemerintahan Bush akan menghadapi tekanan dari masyarakat AS -- para pembayar pajak -- untuk segera angkat kaki dari sana. Juga ada alasan lain: perang kali ini, dan sangat dekatnya AS dengan Israel, telah menimbulkan perasaan anti-Amerika di Timur Tengah yang sangat kuat. "Ideologi baru Timur Tengah," kata seorang ahli ilmu politik di Universitas Yordan, "adalah anti-Amerikanisme." Bahwa kini gelombang demonstrasi anti-Amerika di pelbagai negeri Arab pendukung Sekutu tak sehebat seperti yang diharapkan Saddam Hussein, agaknya hal itu lebih disebabkan adanya tekanan ketat pemerintah -- dengan mukhabarat atau aparat keamanan yang kuat -- terhadap cetusan suara khalayak. Mesir, misalnya, terpaksa meliburkan universitas. Di Turki, sebuah demonstrasi antiperang menyebabkan seorang tewas tertembak polisi. Maka, mungkin pilihan AS adalah pilihan ala film Shane: sang koboi membebaskan kota dari teror, lalu pergi menghilang. Setidaknya, AS hanya akan bisa meninggalkan armada lautnya di Teluk dan Laut Tengah untuk berjaga-jaga terjadinya segala kemungkinan. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama ialah lumpuhnya -- atau sangat berkurangnya -- kemampuan militer Saddam Hussein. Tampaknya, itulah tujuan yang juga tersirat dalam Perang Teluk kini. Irak yang tak lagi kuat tak akan mengancam Kuwait atau Arab Saudi -- dan juga tak akan mengancam Israel. Yang tak kalah penting ialah syarat kedua. Beberapa waktu yang silam Menteri Luar Negeri James Baker pernah secara tak langsung mengusulkan terbentuknya suatu kerja sama regional, semacam ASEAN, di kawasan itu. Namun, mungkinkah? Jawabnya hanyalah "barangkali". Sumber utama ketidakpuasan, perlombaan senjata, kekerasan, dan ketidakstabilan di wilayah itu, harus diselesaikan, dan itu adalah masalah Palestina. Bagaimana Israel dapat ditekan untuk menarik diri dari wilayah Arab yang didudukinya sejak perang 1967, dan bagaimana terbentuk suatu negara Palestina yang tak akan menghancurkannya -- itulah agenda yang ada di depan hidung semua pihak dalam krisis Timur Tengah. Sayangnya, penguasa Israel kini menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza bukan cuma karena masalah sekuriti. Juga ada ideologis: Partai Likud dan partai-partai agama pendukungnya menganggap wilayah itu bukan cuma sebagai bemper, tapi juga sebagai bagian dari Israel Raya yang dijanjikan Kitab Suci. Lagi pula, bagaimana merundingkan pembagian wilayah itu? Israel tak mau berunding dengan PLO, kekuatan yang diakui olek PBB. Israel juga lebih suka perundingan secara terpisah dengan negara Arab, seperti dilakukannya dengan Mesir di bawah Sadat. Negara-negara Arab, yang selalu merasa bagian yang sah dari dunia Arab yang dicita-citakan sebagai "satu", tak menyukai cara itu. Namun, sulitnya juga pada soal kerukunan Arab. Bila Irak kelak tak berdaya, akan lebih mudah para negara Arab peserta kekuatan Sekutu (Mesir, Arab Saudi, Syria, Kuwait, dan negeri-negeri Teluk lain) untuk bersatu. Mungkin Libanon dan negeri-negeri Maghribi (Aljazair, Tunisia, Maroko) mudah ikut. Namun, masih ada Libya. Dan meskipun tak termasuk dalam dunia Arab, faktor Iran juga harus diperhitungkan. Akan sukar meyakinkan semua itu untuk bisa menerima Israel sebagai satu negara di lingkungan mereka. Di dalam PLO juga pasti akan timbul perpecahan: antara golongan radikal dan moderat dalam memandang Israel. Ringkasnya, konperensi perdamaian seperti itu pasti akan berlarut-larut. Bahkan boleh jadi akan berlangsung dalam beberapa tahap. Apalagi jika diharapkan agar perlombaan senjata dikurangi. Israel, sudah jadi rahasia umum, punya kekuatan nuklir. Kini kekuatan nuklir Irak telah ditiadakan. Selama Israel masih punya keunggulan yang mengerikan itu, sulit bagi siapa pun untuk mencegah negara Timur Tengah lain -- Iran ataupun Syria, bahkan Arab Saudi -- mempersenjatai diri. Memang, kelak hal itu kian bertambah sulit karena pemasok persenjataan Barat akan lebih berhati-hati, setelah adanya pengalaman Irak. Namun, untuk kepentingan ekspor, negeri Eropa Timur atau RRC mungkin masih akan memperdagangkan senjata. Kontrol terhadap perlombaan senjata hanya satu faktor. Faktor lain agar Timur Tengah stabil dan aman bagi AS: bagaimana Mesir, Arab Saudi, dan Kuwait, sekutu Barat, bisa terus dengan sikapnya selama ini. Tak mudah. Kalahnya Kuwait secara gampang oleh Irak bukan karena ia tak punya senjata canggih. Tapi, seperti tampak di disko-disko Kairo kini, mereka tak punya warga negara yang siap tempur. Padahal, di negeri yang kecil penduduk. suatu bentuk tentara warga negara, seperti di Israel, penting. Tentara bayaran saja tak memadai. Di Kuwait dan di Arab Saudi harus ada "tentara rakyat". Soalnya sekarang, beranikah para penguasa di kedua negara itu minta tolong rakyatnya, dan mau mempercayai untuk melatih mereka bersenjata. Contoh Kuwait membuktikan bahwa memberi kekayaan saja kepada rakyat ternyata tak memadai. Hal yang sama dihadapi oleh para penguasa Arab Saudi. Semacam keikutsertaan dalam soal-soal pemerintahan, dengan kata lain demokratisasi, jadi sangat mendesak. Tapi demokratisasi bisa berujung pada politik yang berbeda dari yang dibayangkan AS. Mungkin juga, agar AS tak terlibat langsung, dan bisa tidur nyenyak, di hadapan kegawatan Timur Tengah, suatu kekuatan alternatif pengatur keamanan di kawasan itu diperlukan. Mungkin yang paling praktis -- di atas kertas, tentu -- adalah kombinasi Mesir dan Israel. Tapi pilihan itu pasti tak akan disetujui oleh dunia Arab, apalagi bila soal Palestina belum diselesaikan. Syria pasti berambisi untuk menjadi satpam cadangan. Beberapa tahun terakhir ini negeri di bawah pimpinan Hafez Assad ini mendekat ke AS, misalnya dalam mengusahakan pembebasan orang Amerika yang disandera di Libanon, dan puncaknya dalam partisipasi Syria dalam pasukan Sekutu. Namun, hubungannya dengan Israel penuh saling curiga, terutama setelah kehadiran Syria di Libanon, adalah benih ketegangan baru. Meskipun suatu perdamaian ArabIsrael sebenarnya juga akan bermanfaat untuk Syria: ia bisa mengharapkan kembalinya Dataran Tinggi Golan yang sekarang di tangan Israel. Bagaimana dengan Irak sendiri, dan Saddam Hussein? Pada awal Krisis Teluk, banyak suara di AS, dan lebih banyak di kalangan sekutunya di Arab, mengharap: bukan suatu tindakan bijaksana untuk menghabisi seluruh kekuatan militer Irak. "Kalau Irak dihapuskan secara total, tak akan ada yang akan jadi pengimbang Iran," kata William Quandt, seorang ahli Timur Tengah dari Brookings Institution yang berpengaruh, kepada majalah Time. Jadi, yang diinginkan Amerika di satu pihak adalah Irak yang "cukup lemah" hingga tak kuasa mengancam pihak yang terlemah di kawasan itu. Tapi, di pihak lain, Irak juga diharap bisa juga mengimbangi negara yang paling kuat di sana. Soalnya, tentu, adakah seorang pemimpin Irak, macam Saddam Hussein, mau begitu. Orang ini, yang kini dikagumi oleh banyak orang Arab, bahkan banyak orang di luar Arab, tampaknya punya rencana besar untuk jadi kekuatan terhebat di Timur Tengah. Ini ditunjukkan oleh niatnya merebut beberapa daerah Iran sekitar 10 tahun yang lalu, yang menyebabkan perang delapan tahun yang banyak korbannya itu. Ini pun tampak ketika ia membangun angkatan bersenjatanya. Bahkan kenyataan ia telah membikin bunker untuk dirinya, dan sebuah kota di bawah tanah di Baghdad yang bisa bertahan lama, juga suatu petunjuk bahwa Saddam bersiap untuk perang panjang. Belum lagi gebrakannya yang mendadak mengambil Kuwait. AS pasti menginginkan Saddam runtuh. Tujuan utama operasi militer Sekutu memang hanya untuk memaksanya keluar dari Kuwait, dan bukan turun dari kedudukannya sebagai penguasa Irak. Namun, kian lama tampaknya kian terdorong Gedung Putih untuk menghabisinya. Presiden Bush mengancamnya akan menyeret Saddam sebagai "penjahat perang" -- seperti Ayatullah Khomeini dulu menghendaki jatuhnya Saddam. Di Inggris opini umum pekan lalu juga menghendaki agar Presiden Irak itu dihabisi, agar perang bisa dihentikan. Namun, tak mudah menghabisi Saddam. Seorang tokoh oposisi Irak yang kini lari ke Inggris awal pekan lalu mengatakan bahwa di Baghdad ada usaha tentara untuk mendongkelnya agar perang bisa dihindarkan. Namun, usaha ini, katanya, gagal. Saddam biasa menjaga diri dengan ketat. Sementara itu, Saddam diduga juga masih punya kiat: memorak-porandakan Sekutu, dengan memancing Israel turun perang. Sejauh ini, usaha Saddam gagal, sebagaimana ia gagal menghujani Israel dengan Scud. Namun, ada cara lain, seperti dikatakan oleh seorang analis Barat: Irak bisa membeking satu kudeta di Yordania, negeri Arab dekat Israel yang kini secara resminya masih "netral". Bila itu terjadi, Israel akan dipaksa menyerbu. Andai kata begitu, aliansi akan berabe. Mungkin tak pecah benar, sebab Arab Saudi, Kuwait, dan negeri Teluk lain, ditambah Turki misalnya akan tetap dalam Sekutu. Tapi Syria mungkin akan bergabung dengan Irak, ditambah Libya, dan mungkin Iran. Mesir mungkin netral. Perang yang lebih dahsyat akan meletus. Juga mungkin meletus pergolakan di negeri-negeri Arab yang pro-Sekutu -- persis seperti yang diramalkan Saddam. Dan yang pasti, sesuatu yang eksplosif akan terjadi di Tepi Barat dan Gaza. AS dan Inggris mungkin sekali akan membela Israel. Bila Israel kewalahan dan terancam hancur, penggunaan senjata nuklir bukan sesuatu yang mustahil. Israel memang pernah menyatakan tak akan jadi negeri pertama yang menggunakan senjata pamungkas ini, tapi bangsa ini telah diindoktrinasi dengan "semangat Massada": seperti seregu pasukan Yahudi di zaman dahulu bertahan sampai habis menghadapi garnisun Romawi di Massada, orang Israel konon bersedia mati hancur-hancuran bila terpaksa. Inilah Armageddon, inilah Bharatayudha, dan yang pasti hancurnya pelbagai bentuk peradaban. Tak diketahui akan lahirkah sesudah itu suatu stabilitas baru. Tak juga pasti adakah dengan itu negeri bagi orang Palestina akan tercipta, dari puing-puing radioaktif. Sementara ini, usaha Irak melibatkan Israel, untuk memorakporandakan Sekutu, memang belum kena. Mungkin Saddam telah terlambat melangkah. Israel tetap tak mau terpancing. Ia hanya mengaduh -- dan menyebabkan AS, yang mendesaknya agar tak mem- balas, merasa berutang. Beberapa analis mengatakan bahwa seharusnya Saddam menyerang Israel lebih pagi, sebelum tentara Sekutu diperkuat dengan datangnya pasukan Mesir dan Syria. Kalau sejak awal Saddam menyerang Israel dan konflik berubah jadi perang Arab-Israel, AS pasti kebingungan dalam membentuk koalisi. Mengapa Saddam tak melakukan hal itu, masih suatu teka-teki. Akan bisakah ia juga mendapat jalan lain untuk memecah Sekutu, juga belum bisa dijawab pasti. Sebab, baik Presiden Mesir Mubarak maupun Presiden Syria Assad berkepentingan agar Sekutu, yang telah mereka pihaki, menang. Mereka sudah telanjur basah, dan bila Saddam tak terpukul, mereka sendiri -- biarpun sudah berbalik gagang -- pada akhirnya bisa jatuh. Dalam pada itu, ada kemungkinan lain: perang tiba-tiba terhenti. Sesuai dengan usul PBB, sesuai dengan usul perdamaian Iran akhir pekan lalu, Irak mundur dari Kuwait secara sukarela. Dengan demikian, tak ada alasan lagi bagi AS dkk. untuk menghukum Irak. Hasilnya? Nama Saddam di dunia Arab akan naik dan jadi pahlawan karena ia telah berani menentang suatu kelompok kekuatan superkuat, dan ternyata cukup tangguh sampai sepekan lebih. Irak masih punya kekuatan militer yang lumayan belum remuk. Dengan demikian, ia bisa mundur untuk masuk ke konflik selanjutnya. Memang, Israel akan melihat ancaman lebih besar, dan mungkin menyerang, atas nama pembalasan terhadap korban rudal Irak yang tak seberapa. Perang Irak-Israel bisa marak. Tak mudah bagi negara Arab lain untuk tak memihak atau membantu Irak. Tak mudah bagi AS untuk tak membantu Israel. Dan tak mudah buat dunia untuk mencicipi harapan yang pernah terlintas bahwa setelah Perang Dingin usai, untuk waktu yang panjang damai akan datang di bumi. A. Dahana dan Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini