BARISAN tank Soviet menggebu terus di Afghanistan, bahkan mulai
mengejar gerilyawan ke dekat perbatasan Pakistan. Moskow seolah
tak peduli dengan segala macam reaksi di dunia.
Di PBB, 17 negara Non Blok memprakarsai suatu resolusi pekan
lalu yang mendesak. Majelis Umum agar menyerukan penarikan
mundur tanpa syarat seluruh 'tentara asing' dari Afghanistan di
antara negara pemrakarsa itu terdapat Malaysia, Filipina dan
Singapura. Dewan Keamanan PBB semula gagal mengeluarkan resolusi
semacam itu karena diveto oleh Soviet.
Perkembangan di Afghanistan sendiri menunjukkan bahwa Soviet tak
akan mundur begitu saja. Bahkan jumlah pasukannya semakin
bertambah di sana, menurut sumber diplomatik di Kabul, berkisar
antara 80 sampai 100 ribu orang.
Dalam jumpa persnya yang pertama pekan lalu di Kabul, Presiden
Babrak Karmal mengatakan bahwa pasukan Soviet akan berada di
Afghanistan dalam waktu yang lama. Sekali lagi dia menegaskan
bahwa kehadiran tentara Soviet adalah "atas permintaan" Dewan
Revolusi Afghanistan sebclum Presiden Hafizullah Amin
digulingkan 27 Desember yang lalu.
Mulai Khawatir
Wartawan New York Times yang menghadiri jumpa pers itu
melaporkan bahwa acara itu hampir sepenuhnya diatur oleh pejabat
Soviet. Dimulai dari pendaftaran wartawan asing yang akan hadir,
pengaturan tempat duduk sampai kepada soal wartawan mana yang
boleh diberi kesempatan bertanya. Dari sejumlah wartawan Barat
yang hadir hanya pertanyaan beberapa orang saja yang dijawab
oleh Presiden Karmal.
Seorang wartawan Amerika menanyakan apakah pasukan Soviet akan
berada di Afghanistan hanya setahun dari sekarang. Karmal
menjawab, "mereka akan pergi begitu AS menghentikan politiknya
yang agresif, yang dilakukannya bersama Cina, Arab Saudi, Mesir
dan Pakistan." Dan sebuah jawaban yang cukup keras terdengar
ketika seorang wartawan Inggris menanyakan apakah Karmal dipilih
secara demokratis. "Tuan wakil dari imperialis Inggris yang
telah 3 kali melakukan invasi ke Afghanistan . . ." kata Karmal
dalam membuka jawabannya. Kemudian diteruskannya bahwa dia
dipilih secara aklamasi oleh Komite Sentral Partai Demokrasi
Rakyat Afghanistan.
alaupun Washington cemas, Presiden Carter kelihatan masih tetap
berhati-hati untuk tidak mengucapkan sesuatu yang bersifat
ultimatum. Setidaknya ia telah menganjurkan supaya Olympiade
Moskow diboikot saja (lihat Olahraga). Hubungan Soviet-AS sejak
peristiwa ini jelas menjadi agak tegang yang diperkirakan akan
mempengaruhi perjanjian SALT II yang masih menunggu persetujuan
Senat AS.
Presiden Soviet, Leonid Brezhnev, yang dikutip koran Pravda dan
kemudian disiarkan oleh jaringan teve Soviet Sabtu lalu, menuduh
AS sengaja mempertegang situasi dunia. "Kritik yang tajam itu
tak akan mengguncangkan politik luar negeri kami," kata
Brezhnev. Ia terutama menanggapi kritik AS mengenai intervensi
Soviet di Afghanistan.
Tragedi Afghanistan ini cenderung akan melibatkan negara
tetangganya. Pakistan sekarang menampung sekitar 400 ribu
pengungsi dan gerilyawan. Sebagian besar mereka menetap di
sekitar kota Psehwar dan Lintas Khyber. Umumnya mereka tinggal
di tenda atau rumah darurat. Pasukan gerilya Mujahidin juga
bermarkas di sana. Namun tak diketahui berapa jumlah kelompok
yang melawan Soviet dari wilayah Pakistan ini. Hassam, komandan
dari yang menamakan dirinya 'Kelompok Jailani' di Lintas Khyber,
mengatakan bahwa mereka sedang mengharapkan bantuan senjata dari
luar.
Tak salah jika Presiden Pakistan, Jenderal Zia ul-Hag, mulai
khawatir akan adanya penyerbuan oleh tentara Soviet ke wilayah
Pakistan. Tapi ancaman Soviet ini juga suatu kesempatan
baginya untuk memperkokoh kekuasaannya yang selama ini banyak
dikritik, terutama sejak bekas PM Zulfikar Ali Bhutto dihukum
gantungan.
Dengan kejadian ini timbul suatu peluang baru pula bagi Pakistan
untuk mendapatkan bantuan senjata dari AS. Telah ada rencana
Carter membentuk suatu konsorsium dengan negara Barat dan Timur
Tengah dalam melindungi Pakistan dari ancaman Soviet. Setelah
mendengar adanya rencana memperkuat militer Pakistan, Indira
Gandhi langsung menuduh bahwa itu merupakan ancaman bagi India.
Yang agak aneh, menurut koran Al Ahram dari Kairo, Irak
merupakan negara Timur Tengah pertama yang menawarkan fasilitas
militernya kepada AS dalam menghadapi intervensi Soviet. Baru
kemudian disusul oleh Mesir.
Di Kuala Lumpur, Konperensi Dakwah Islam se-Asia Tenggara dan
Pasifik telah menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk
mendukung perjuangan rakyat Afghanistan yang sedang 'berjihad'
melawan Soviet. Bahkan Prof Ahmad Muhammad Jamal dari
Universitas Raja Abdul Aziz di Jeddah dalam pertemuan itu telah
menghimbau negara-negara Islam untuk memutuskan hubungan
diplomatik dengan Soviet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini