Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria paruh baya itu tiba-tiba meloncat, cepat-cepat memakai sepatu, lalu cabut secepat kilat, menerobos kerumunan massa beratribut serba merah. Ia susah mengendalikan diri. Weng Tojirakarn, demikian namanya, belum bisa melupakan kejadian berdarah Sabtu dua pekan lalu. ”Anda mesti segera keluar. Tentara menembaki kami lagi. Mereka tak mau tahu siapa yang ada di sini,” ujarnya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Hari itu, di sebelah barat Monumen Demokrasi, Bangkok, sejak sore hingga malam hari, terjadi bentrokan berdarah polisi lawan si Kaus Merah, Front Persatuan untuk Demokrasi, yang menewaskan 23 orang. Korban jatuh di kedua pihak, meski Kaus Merah lebih banyak mende rita kerugian. Ketika itu, massa yang beratribut serba merah ini baju, syal, topi, dan kain ikat kepala berhasil merebut lima tank dan tiga kendaraan berat pengangkut tentara.
Sebulan lebih puluhan ribu orang dari kelompok Kaus Merah pendukung bekas perdana menteri Thaksin Shinawatra itu unjuk rasa. Mereka berkonsentrasi di dua tempat strategis: pusat pemerintahan di area Jembatan Phan Fa serta pusat bisnis dan hotel mewah di kawasan Ratchaprasong. Di kedua kawasan itu dibangun panggung seluas 400 meter persegi, lengkap dengan sistem pengeras suara. Dari atas panggung, para pemimpin Kaus Merah berpidato menyuntik semangat mereka untuk terus mendukung perjuangan.
Beberapa demonstran rela keluar biaya besar lantaran harus bolak-balik dari Bangkok ke kampung halaman. Sebagian lagi memilih tinggal di tenda yang dibangun di kanan-kiri jalan, dari jembatan hingga monumen, sepanjang satu kilometer. Maklum, umumnya mereka datang dari timur laut dan utara Thailand. Sebagian lagi berasal dari selatan Thailand.
Kekuatan mereka bertambah sejak masyarakat kelas menengah-bawah Bangkok bergabung dalam unjuk rasa. Mereka umumnya bekerja sebagai pengemudi taksi, tukang ojek motor, serta karyawan bank dan hotel. Untuk mengamankan kawasan tempat mereka tinggal di dalam tenda, blokade besi dibangun di mulut jembatan.
Pondayathi, seorang sopir taksi, menilai kudeta militer Sonthi Boonyaratglin tak bisa diterima. ”Saya bukan tak suka tentara, tapi mereka sering se enaknya dengan senjata mereka,” ujar warga Pathumthani, 300 kilometer ke arah utara dari Bangkok, itu.
Adapun Weng merupakan potret kelas menengah atas Kota Bangkok yang secara sadar bergabung dalam gerakan Kaus Merah. Pekerjaannya sebagai dokter umum ditinggalkan demi ikut gerakan. Sudah sebulan lebih rumahnya tak ditempati. Pasiennya kini hanya anggota Kaus Merah.
Dia ikut gerakan karena menilai di masa Thaksin demokrasi bisa ditegakkan dan ekonomi tumbuh lebih cepat. Kebijakan bekas pemilik klub Manchester City itu, menurut dia, membuat rakyat Thailand mampu bersaing dengan bangsa asing.
Namun Weng mengaku bukan pendukung Thaksin. ”Saya mendukung siapa pun yang bisa menegakkan demokrasi,” ujarnya. Dia menyesalkan standar ganda penegakan hukum oleh polisi, dengan tak menindak para demonstran dari kelompok Kaus Kuning pendukung Abhisit. Padahal mereka juga menduduki kantor pemerintah dan Bandar Udara Suvarnabhumi pada 2006. ”Mengapa cuma kami yang dikejar-kejar?”
Dengan keras, Weng menilai Thaksin yang prorakyat dijungkalkan demi kepentingan segelintir elite penguasa lama yang tak ingin konglomerat telekomunikasi itu berkuasa. ”Pemerintah ini mengambil kekuasaan dengan tak wajar, karena kudeta tentara,” katanya dengan nada tinggi.
Bergabungnya Weng dengan kelompok Kaus Merah membuatnya jadi satu dari 17 tokoh yang dibidik pemerintah untuk ditahan. Namun, menurut dia, pemerintah sudah mengincarnya sejak Kaus Merah unjuk rasa besar-besaran dua tahun lalu. ”Saya dianggap melanggar hukum keadaan darurat,” dia menambahkan. Toh, sampai kini, Weng masih bertahan di tengah massa yang menduduki kawasan Ratchaprasong.
Cuma segelintir warga kelas mene ngah-atas Bangkok yang berani terang-terangan mendukung Thaksin seperti Weng. Pendukung lain menyalurkan simpati secara diam-diam. ”Umumnya mereka menjadi donatur,” kata Kermammut, karyawan hotel yang juga pendukung Kaus Merah. Dia menyebut indikasi sebuah produk makanan milik konglomerat Thailand yang biasa dibagikan kepada massa Kaus Merah.
Suporn Attavong, Payap Panket, dan Arisaman Phongruengryong meloncat dari balkon lantai dua Hotel SC Park, Bangkok. Satu per satu mereka menjejak atap mobil, hup…, menginjak aspal, dan langsung dilarikan dengan mobil yang dikawal truk dan ratusan motor. Selamatlah mereka dari kepungan polisi di hotel tempat mereka menginap itu. Mereka dianggap melanggar hukum karena menyerang lokasi penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN tahun lalu.
Ketiga orang itu selanjutnya dibawa ke Ratchaprasong, konsentrasi kekuat an pendukung bekas perdana menteri Thaksin Shinawatra. Di depan massa Kaus Merah, mereka memuji para pendu kung yang gagah berani. Mereka berorasi dikelilingi sekitar seratus penjaga keamanan berseragam hitam (lihat ”Para Jagoan Kickboxing”).
Sejak bentrokan berdarah di Monumen Demokrasi, polisi dan militer sangat hati-hati bertindak. Peristiwa pagi itu sebetulnya merupakan operasi rahasia yang tadinya tak diketahui Kaus Merah. Tapi, ketika gerakan polisi diketahui salah satu tokoh yang akan ditangkap, mereka serentak lari ke hotel itu, sekitar 30 kilometer dari Ratcha prasong. ”Kami tetap pada rencana semula, menangkap mereka, tapi tak ingin melukai rakyat,” kata juru bicara Komando Operasi Darurat, Kolonel Weratchon Sukondhapatipak.
Masalahnya, sebagian besar incaran Weratchon berlindung di balik kerumunan massa sehingga sulit dijangkau. Hal itu diakui Veera Musikapong, target utama pemerintah saat ini. ”Kami tahu kok banyak intelijen militer dan polisi memakai atribut kami,” katanya sambil duduk bersandar di bawah panggung orasi. Bekas politikus Partai Demokrat itu mengaku dibisiki bocoran rencana penangkapan oleh beberapa polisi dan militer yang mendukung Kaus Merah. ”Kami masih punya teman-teman di sana.”
Veera dianggap satu dari ”Three Musketeer” selain Jatuporn Prompan dan Nathawut Saikua tokoh utama Kaus Merah. Dia termasuk yang berkukuh pembubaran parlemen adalah harga mati. ”Abhisit mesti diadili, atau keluar dari negeri ini, karena sudah menembak rakyat,” katanya. Sebelum bentrokan berdarah, menurut dia, pintu perundingan masih terbuka. ”Kini tak ada lagi.”
Lantaran mereka sudah berencana bertahan dalam waktu lama di kawasan ekonomi kelas menengah seluas empat blok itu sekitar 16 kilometer persegi berbagai sarana pun disiapkan oleh pemimpin Kaus Merah. Dua mobil toilet umum siaga di tiap sudut blok. Tenda sepanjang jalan sudah rapi terpa sang, melindungi para pendukungnya dari hujan. Makanan gratis tersedia lima kali sehari. Mereka sarapan pagi dengan bakpao, roti, plus buah. Siang hari, disediakan nasi berbungkus Styrofoam. Sore tersedia kue, dan malam mereka makan nasi lagi. ”Ini sumbang an dari rakyat, tak ada dari Thaksin,” ujar Weng.
Jejak Thaksin yang berada di luar negeri memang sulit dilacak dalam sumbangan kepada Kaus Merah. Kotak sumbangan ada di tiap pintu masuk berbatas pagar besi yang dijaga petugas keamanan. Beberapa sumber Tempo hanya menyebutkan, ”Di sini masih ada istrinya, adik perempuannya, dan teman-temannya. Sesulit apa menggalang dana?”
Para aktivis Kaus Merah juga menyatakan tak ada bayaran buat mereka. Sukhon Phaenjan dan istrinya adalah petani dari Desa Srakean, Distrik Taphraya, utara Bangkok, yang mengaku datang karena yakin apa yang mereka lakukan itu benar. Mereka diangkut lima bus besar plus truk bersama seratus keluarga dari distrik yang sama.
Orang yang mengajak mereka terlibat dalam Kaus Merah tak lain kepala desanya sendiri. ”Kami ingin demokrasi, tak ingin yang lain,” kata Sukhon, 56 tahun. Pasangan yang belum kembali ke kampungnya yang berjarak 800 kilometer dari Bangkok itu menilai hasil pertanian mereka meningkat di masa Thaksin berkuasa karena mereka bisa meminjam dengan bunga rendah untuk membeli peralatan pertanian. Warga distrik yang tak bisa datang ke Bangkok menyumbang untuk menyewa bus dan truk. ”Dua ratus, lima ratus baht, terserah kemampuannya.”
Kambao Noensongkram, 49 tahun, dari Provinsi Prajeanburi, malah dibantu anaknya yang bekerja di Swedia untuk bertahan hidup selama ikut unjuk rasa di Bangkok. Tanah pertaniannya seluas 400 meter persegi yang ditanami padi dan singkong kini diurus dua putranya. Seminggu sekali dia pulang untuk menukar pakaian yang dipa kainya dua hari sekali dengan menumpang bus.
Sukhon dan istrinya tidur beralas tikar rajut di depan Hotel Grand Hyatt. Adapun Kambao berteduh di tenda dengan alas berupa gabungan tempelan kertas iklan sabun cuci, persis di depan Hotel Intercontinental. Keduanya bersedia hidup ala kadarnya di Bangkok demi mewujudkan demokrasi. ”Bukan membela Thaksin,” kata Sukhon.
Hal serupa diakui pemilik toko motor besar di Chiang Mai, Wattana Vengluekait. Dia mengalami kenaikan omzet penjualan saat Thaksin berkuasa. ”Orang jadi mampu beli motor besar,” kata lelaki 50 tahun yang sekampung halaman dengan Thaksin itu. Dia mengatakan akan memilih siapa pun, tak perlu Thaksin, asalkan bersedia menjalankan kebijakan seperti dulu. Maklum, sejak Thaksin lengser, omzetnya turun drastis sampai setengahnya.
Sebagian besar anggota Kaus Merah boleh menyangkal membela Thaksin. Namun jejak sang konglomerat telekomunikasi itu bisa dilihat dalam segala pernak-pernik yang mereka kenakan. Tulisan ”Demokrasi” dan ”Rakyat Biasa” dilatari gambar Thaksin yang sedang tersenyum menyapa di mulut daerah Ratchaprasong. Bukan cuma Sukhon dan Wattana, Veera pun memakai kaus merah bergambar wajah sang konglomerat.
Yophiandi (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo