Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font color=#FF9900>Salam Sepatu</font><br /> Lawatan Terakhir

Muntazar al-Zaidi, koresponden stasiun televisi Al-Bagdadiyah, Mesir, melemparkan sepatunya ke Presiden George W. Bush. Rakyat Irak menyebutnya pahlawan. Siapa Zaidi? Tempo mewawancarai Pemimpin Umum Al-Bagdadiyah.

22 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA kado perpisahan paling ”mesra” untuk seorang pemimpin dunia? Tanyakan kepada George Walker Bush, yang sebentar lagi akan meninggalkan kamar kerjanya di Gedung Putih, Amerika Serikat.

Bush mendapat sepasang sepatu nomor 10 bikinan Irak, Ahad dua pekan lalu. Bukan sembarang hadiah, sepatu itu dilantingkan ke mukanya—meski meleset. Sang ”pemberi kado” adalah Muntazar al-Zaidi, koresponden stasiun televisi Al-Bagdadiyah, yang berpusat di Kairo, Mesir.

Zaidi satu ruangan dengan Bush dalam jumpa pers bersama Perdana Menteri Irak Nuri al-Maliki, di kantor orang nomor satu Irak itu. ”Ini kado perpisahan dari rakyat Irak, you dog!” pekik Zaidi seraya memungkangkan sebelah sepatunya ke arah Bush, yang berdiri di samping Maliki.

Tak cukup sekali, Zaidi kemudian melontarkan sepatu sebelahnya. Kali ini sepatu itu ”untuk para janda, yatim piatu, dan orang-orang yang terbunuh di Irak”. Lemparan kedua juga luput, karena Bush berkelit. Maliki sempat melindungi Bush dengan mengembangkan telapak tangannya untuk menghadang sepatu yang melayang.

Dalam hitungan detik, pasukan pengaman presiden meringkus Zaidi. Para wartawan yang berada di sana menyatakan pasukan pengaman menggebuki dan menyeret Zaidi ke luar ruangan. Menurut Durgham al-Zaidi, kakaknya, Zaidi mengalami patah tangan dan tulang rusuk dalam tahanan.

Sejumlah wartawan Irak yang jadi saksi langsung meminta maaf kepada Bush. Meski tampak kaget, Bush berusaha bercanda dengan mengatakan, ”Fakta yang bisa saya sampaikan adalah, sepatu itu nomor 10.” Bush berkunjung ke Irak dalam lawatan sebelum jabatannya resmi berakhir, bulan depan.

Siapa Muntazar al-Zaidi? Keluarga dan rekan kerjanya mengenal laki-laki 28 tahun kelahiran Sadr, Bagdad, itu sebagai sosok keras kepala dan pemberani. Durgham menyatakan, sang adik sudah membenci Amerika sejak Bush mengerahkan pasukannya ke Irak pada 2003.

Zaidi juga memutuskan tak akan menikah sampai Amerika hengkang dari kampung halamannya. Zaidi yatim piatu dan hidup di tengah saudara-saudaranya yang berjumlah sembilan orang. ”Adik saya keras kepala dan berkali-kali bilang suatu saat ia akan jadi Presiden Irak,” kata Durgham. ”Saya, juga seluruh warga Irak, bangga padanya.”

Kebencian Zaidi terhadap Amerika, terutama Bush, menguar ke mana-mana, termasuk di tengah teman-teman kerjanya. Saif al-Deen, redaktur di Al-Bagdadiyah, mengatakan Zaidi sudah lama ingin balas dendam kepada Bush. ”Saya ingat saat itu akhir 2007,” kata Deen, ”Zaidi bilang padaku, ’Kamu lihat saja nanti, aku akan balas dendam pada si penjahat itu secara langsung atas apa yang sudah ia lakukan terhadap rakyat Irak yang tidak berdosa’.”

Kepada seorang teman, Zaidi juga pernah sesumbar akan ”menghadiahi” Bush sepatu. Bagi masyarakat Arab, menampakkan tapak sepatu adalah penghinaan. Ketika itu, sang teman cuma bilang, ”Gila kamu.”

Lulus dari jurusan komunikasi di Universitas Bagdad, Zaidi sempat bekerja malang-melintang di berbagai stasiun televisi. Pekerjaan wartawan, kata abangnya, ditempuh Zaidi karena ingin melaporkan dengan terperinci apa yang terjadi di Irak sejak invasi Amerika.

Sejak bergabung dengan Al-Bagdadiyah pada awal 2007, Zaidi sudah menunjukkan kecemerlangannya sebagai wartawan. Ia pernah diculik pada pertengahan tahun itu setelah melaporkan penyerangan konvoi kendaraan militer Humvee yang digunakan pasukan Amerika.

Tak jelas siapa pelakunya. Karena keberaniannya, Zaidi kemudian diangkat sebagai kepala koresponden Al-Bagdadiyah untuk biro Bagdad. Setiap mengakhiri laporannya, Zaidi selalu menutupnya dengan salam khas: ”Dari wilayah pendudukan Amerika, Muntazar al-Zaidi melaporkan untuk Anda.”

Sepekan setelah peristiwa itu, Zaidi masih berada dalam tahanan intelijen Irak. Ketika mencoba menghubungi Zaidi, pihak keluarga juga diancam. ”Mereka bilang akan menangkap kami semua,” kata Durgham.

Ziad Najdawi, pengacara yang mewakili 285 pembela Zaidi, mengatakan keluarga dan pengacara dilarang menjenguk. Ziad, mantan anggota tim pembela Saddam Hussein, menyatakan para pengacara bekerja sukarela karena menganggap Zaidi sudah melakukan tindakan heroik atas nama rakyat Irak.

Proses peradilan sudah dimulai sejak pertengahan pekan lalu. Juru bicara Dewan Pengadilan Tinggi Irak, Abdul Satar Birqadir, menyatakan Zaidi terancam hukuman kurungan 7-15 tahun penjara dengan dakwaan percobaan membunuh Bush.

Kantor Perdana Menteri Irak menyatakan tindakan Zaidi sudah mempermalukan seluruh rakyat Irak. ”Institusi tempat Zaidi bekerja harus meminta maaf,” kata Perdana Menteri Maliki. Tapi, alih-alih meminta maaf, Al-Bagdadiyah justru menghimpun dukungan untuk membebaskan Zaidi.

Kepada Tempo, Pemimpin Umum Al-Bagdadiyah, Arshad Taufiq, menyatakan pihaknya sedang mencari dukungan internasional untuk mendesak pihak keamanan Irak segera membebaskan Zaidi.

Dukungan terhadap tindakan berani Zaidi memang tak hanya datang dari Irak. Presiden Venezuela Hugo Chavez memuji keberaniannya. ”Saya tak punya keberanian semacam itu,” kata Chavez. Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menjadikan drama itu sebagai guyonan ketika bertemu wartawan. ”Tolong, jangan ada yang membuka sepatu,” katanya.

Perusahaan sepatu pun berebut mengklaim diri sebagai pembuat ”sepatu kado” itu. Pengusaha Turki, Ramazan Baydan, mengaku telah merancang sepatu Zaidi sejak 1999. ”Kalaupun sepatu itu mengenai kepala Bush, tak akan sampai melukai, karena bahan kulitnya sangat lembut,” kata Baydan.

Namun, Udai al-Zaidi, saudara Zaidi, menyatakan sepatu itu buatan Alaa Haddad, warga asli Irak. Benarkah? Tak ada yang bisa memastikan, karena sepatu Zaidi sudah dihancurkan. Pengawal Bush ketakutan di dalam sepatu Zaidi terselip bahan peledak.

Di Libanon, para pemilik kedai pinggir jalan berpesta dengan membuka warung mereka hingga larut malam. Mohammad Taher, seorang pemilik kedai kopi, mengatakan, ”Amerika butuh ribuan tentara untuk menghancurkan musuhnya, sementara Zaidi cuma butuh sepasang sepatu untuk menghabisi Presiden Amerika.”

Angela Dewi (AP, BBC, BostonGlobe, CNN, Nytimes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus