Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo menyambar mikrofon di depannya. Suaranya lantang bergema. ”Interupsi, pimpinan,” teriaknya. Dia meminta pemimpin sidang yang juga Ketua DPR, Agung Laksono, menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung atau membuka kompromi antarfraksi. Alasannya, fraksinya menolak pengesahan RUU tersebut.
Namun permintaan Tjahjo itu diabaikan. Agung Laksono kembali menanyakan persetujuan peserta sidang paripurna untuk mengesahkan RUU Mahkamah Agung. Sekitar 50 anggota Dewan yang ada di dalam ruang sidang paripurna DPR kompak berteriak. ”Setuju.” Dok! Agung mengetukkan palu. Maka, Kamis malam pekan lalu, RUU Mahkamah itu pun disahkan.
Lahirnya Undang-Undang Mahkamah Agung terbaru ini merupakan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Agustus 2006. Saat itu dalam putusannya yang mengamputasi kewenangan Komisi Yudisial, Mahkamah juga memerintahkan direvisinya dua undang-undang lain: Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Setelah putusan itu, panitia kerja komisi DPR segera bekerja. Sejak September silam, mereka secara intensif membahas tiga RUU yang saling berkait itu: RUU Komisi Yudisial, RUU Mahkamah Agung, dan RUU Mahkamah Konstitusi.
Dari ketiganya, RUU Mahkamah Agung yang paling menuai kontroversi. Perdebatan paling panas adalah perihal batas usia pensiun hakim agung. Aturan sebelumnya menyebutkan, batas usia hakim agung adalah 65 tahun, namun dapat diperpanjang hingga 67 tahun jika berkinerja luar biasa. Di aturan baru, pada pasal 11, batas usia pensiun itu melonjak menjadi 70 tahun.
Fraksi PDIP menolak angka tersebut karena ini dianggap menghambat regenerasi hakim. Mereka tetap mempertahankan pensiun hakim agung pada usia 65 tahun. Fraksi Banteng itu meminta pengesahan RUU ini menunggu dulu penyelesaian RUU Komisi Yudisial dan RUU Mahkamah Konstitusi.
Adapun Fraksi Partai Persatuan Pembangunan mengambil ”jalan tengah”. Partai berlambang Ka’bah ini mengusulkan usia pensiun hakim agung 67 tahun, namun dapat diperpanjang hingga 70 tahun dengan persetujuan DPR. ”Disamakan dengan usia pensiun hakim Mahkamah Konstitusi,” kata anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Kurdi Mukri, saat membacakan sikap fraksinya.
Adapun lainnya, Fraksi Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Damai Sejahtera, Bintang Pelopor Demokrasi, dan Bintang Reformasi, menyepakati batas usia pensiun hakim agung 70 tahun. ”Batas usia tersebut untuk meningkatkan kinerja Mahkamah Agung,” kata anggota Fraksi Partai Demokrat, Tri Yulianto.
Kendati sudah diketuk Dewan, Undang-Undang Mahkamah Agung baru bisa berlaku setelah disetujui Presiden. Hanya, menurut aturan, jika dalam 30 hari Presiden belum meneken, undang-undang ini otomatis berlaku.
Disahkannya RUU ini otomatis berdampak pada sejumlah hakim agung yang kini tengah ”menunggu hari-hari pensiun”. Setidaknya akan ada sepuluh hakim yang mestinya pensiun tahun depan, kini ”terselamatkan” dan bakal tetap memakai jubah hakim agung hingga 2012. Mereka antara lain Harifin Tumpa (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non-Yudisial) dan juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko.
Harifin, yang mestinya pensiun pada 23 Februari 2009, mengatakan siap melaksanakan perintah undang-undang. ”Hakim agung masih sehat-sehat, kok,” katanya kepada Tempo. Menurut dia, tidak ada persoalan regenerasi dalam tubuh Mahkamah Agung, karena setiap hakim agung dipilih melalui proses politik.
Pengesahan RUU itu sendiri menyisakan persoalan lain. Tjahjo mengatakan fraksinya akan melayangkan surat protes atas mekanisme pengambilan keputusan RUU pekan lalu. Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Lukman Hakim Saifuddin, menunjuk putusan dalam sidang paripurna pekan lalu itu melalui proses tidak lazim. Mestinya, menurut Lukman, jika ada fraksi yang tak setuju, pimpinan sidang membuka lobi atau voting. ”Mekanisme pengesahan yang cacat ini bisa dijadikan peluang untuk membawa RUU Mahkamah Agung ini ke Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Lampu kuning memang menyala. Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch, Febri Diansyah, menyatakan lembaganya sudah berancang-ancang membawa Undang-Undang Mahkamah Agung ini ke Mahkamah Konstitusi. ”RUU ini bertentangan dengan pembaruan Mahkamah Agung,” kata Febri.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo