Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah mewah di atas bukit di Shariff Aguak, ibu kota Provinsi Maguindanao, itu tak lagi nyaman bagi keluarga Ampatuan. Sang gubernur, Andal Ampatuan Senior, memang masih menempati rumah jembar itu. Tapi ia tak lagi bebas. Lebih dari seratus tentara Filipina mengepung rumahnya. Ia pun telah beralih status: tahanan.
Ampatuan Senior bersama anak dan kerabatnya telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan 57 orang di provinsi di wilayah Mindanao itu dua pekan lalu. Delapan anggota klan Ampatuan dituduh membunuh rombongan keluarga Ishmael Mangudadatu yang hendak mendaftarkan Ishmael sebagai calon Gubernur Maguindanao—menantang Andal pada pemilu Mei tahun depan.
Anak sang gubernur, Andal Ampatuan Junior, dituding mengerahkan sekitar seratus orang bertopeng untuk membantai rombongan yang sebagian besar wanita itu. Menteri Kehakiman Agnes Devanadera pun mengajukan 25 tuntutan kepada sang junior. ”Kami sudah mencekal delapan anggota keluarga ini,” ujar Devanadera.
Pemerintah Filipina memisahkan tahanan Ampatuan Junior dengan sang ayah dan enam anggota klan lain. Di luar mereka, ada pejabat kantor gubernur yang ditahan di rumah masing-masing. ”Tentara menahan beberapa pejabat,” ujar juru bicara Kawasan Otonomi Muslim Mindanao, Sammy Gogo. Gubernur kawasan otonomi itu adalah Zaldy Ully, putra sulung Ampatuan.
Angkatan Darat Filipina mengerahkan 3.000 tentara untuk mengurung keluarga yang sangat berkuasa di Filipina Selatan itu. Juru bicara militer Letkol Romero Brawner menjelaskan, kehadiran tentara tersebut untuk membatasi ruang gerak keluarga Ampatuan sekaligus mencegah para pendukung klan ini mendekati rumah para tersangka.
Drama pembunuhan keji itu praktis menjadi titik nadir kekuasaan dinasti Ampatuan yang telah berlangsung selama dua dekade. Ampatuan Senior adalah Ketua Wilayah Partai Lakas Kampi CMD, partai Gloria Macapagal-Arroyo, di Mindanao. Sejumlah pengamat menilai kedekatan politik ini membuat Arroyo merestui permintaan Ampatuan memiliki kekuatan milisi sendiri. Restu Arroyo ini dibarter dengan keamanan wilayah yang mesti dijaga Ampatuan dari pemberontak Moro.
Begitu berkuasanya keluarga ini, setiap izin perdagangan kota, misalnya, harus melibatkan salah satu anggota klan itu. Anggaran daerah pun pasti memerlukan persetujuan mereka. Tak aneh jika anak sampai cucu Ampatuan menguasai medan politik, dari eksekutif sampai legislatif. Nama Ibu Kota Shariff Aguak pun diambil dari nama ayah Ampatuan Senior.
Empat anak Ampatuan menjadi wali kota di provinsi itu, selain Zaldy yang menjadi gubernur kawasan otonomi. Mereka selalu dikawal milisi bersenjata M-16 sampai peluncur roket kaliber 50. Bahkan sebagian polisi dan tentara lokal menjadi antek Ampatuan.
Semua skandal yang melibatkan klan itu tak pernah sampai Manila hingga pemilihan gubernur pada 2007. Saat itu seorang kepala sekolah di provinsi tersebut, Musa Dimasidsing, bersaksi soal kecurangan pada kotak suara yang dilakukan pendukung Ampatuan. Setelah kecurangan itu terdengar sampai Manila, kepala Musa ditembak orang tak dikenal. Kasus itu tak pernah sampai ke meja polisi.
Namun pembunuhan 57 orang termasuk 25 wartawan itu tak mungkin didiamkan Arroyo. Selain tekanan publik, pejabat di pemerintahan—termasuk Menteri Kehakiman, Duta Besar Amerika untuk Filipina Kristie Kenney, dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon—menyerukan Arroyo menangkap para pelaku.
Devanadera mengakui tak mudah memproses kasus ini dengan cepat. ”Ada pihak-pihak yang ingin memperlambat kecepatan proses hukum ini,” ujarnya tanpa mau menyebut siapa yang dimaksud.
Pernyataan juru bicara kepresidenan, Lorelei Fajardo, pekan lalu pun mengambangkan sikap Arroyo. Pada mulanya Fajardo dengan tegas mengatakan, bagi Presiden, semua orang memiliki kesamaan di muka hukum. Tapi ia juga mengucapkan, ”Hanya karena kasus ini, tak mungkin Presiden memutuskan persahabatan dengan mereka (keluarga Ampatuan).”
Jika keraguan yang muncul, suara masyarakat seperti yang terpampang di depan kantor gubernur, bertulisan ”Ibu Presiden, kami berharap keadilanmu”, tak lagi punya makna.
Yophiandi (Minda News, Philippine Inquirer, ABS-CBN, Business News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo