Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOBIL Panther kuning muda itu tiba di pelataran rumah Ahmad Rifai di Desa Mojokrapak, Tembelang, Jombang, Jawa Timur. Kamis siang pekan lalu, begitu penumpangnya keluar, ratusan orang yang sedari pagi sudah menunggu di pelataran rumah langsung menyerbu. Mereka berebut menyalami pria yang baru turun dari mobil: Bibit Samad Rianto.
Hari itu, bersama istrinya, Sugiharti, Bibit baru pulang dari ziarah ke makam orang tuanya di Kediri. Dari Kota Tahu itu, pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif tersebut menyempatkan diri mampir ke rumah Ahmad Rifai, pengacaranya. ”Warga di sini ingin sekali bertemu dengan Pak Bibit,” kata Ahmad Rifai.
Silih berganti warga menyalami Bibit. Sejumlah kiai, yang juga berkumpul di rumah Rifai, mengajak warga bersama-sama mendoakan bekas Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur ini agar segera bisa aktif kembali di KPK. ”Terima kasih atas doanya,” kata Bibit dengan mata berkaca-kaca.
Bersama Chandra M. Hamzah, Selasa pekan lalu, Bibit sudah menerima surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Sejak itulah, perkaranya resmi dihentikan. Dalam surat ketetapan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy menyebutkan, ”Meskipun perbuatan kedua tersangka telah memenuhi rumusan delik pasal yang disangkakan, yaitu Pasal 12-e dan Pasal 23 Undang-Undang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi, keduanya dianggap
tidak menyadari dampak perbuatan mereka. Kedua pasal itu mengatur soal pemerasan dan penyalahgunaan wewenang.”
Bisa dibilang, inilah akhir cerita ”kasus Bibit-Chandra” yang berpekan-pekan menyita perhatian masyarakat. September lalu, mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Keduanya diduga menyalahgunakan wewenang terkait dengan pencekalan Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, dan Joko Soegiarto Tjandra, Direktur PT Era Giat Prima. Mereka juga dituduh memeras Anggoro dalam kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu Departemen Kehutanan yang tengah ditangani Komisi.
Banyak yang yakin, kasus ini semata rekayasa. Dugaan makin kuat setelah Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo yang disadap KPK. Dari sini kasus bergulir cepat. Tim Delapan, yang diberi tugas memverifikasi kasus ini, memeriksa sejumlah pihak yang terkait. Hasilnya, tim pimpinan Adnan Buyung Nasution itu meminta perkara ini dihentikan karena tak cukup bukti. Dalam pidatonya menanggapi rekomendasi itu, Presiden meminta kasus ini diselesaikan di luar pengadilan.
Kejaksaan pun lantas menggodok ”arahan” Presiden ini. Dari tiga opsi yang ditawarkan Tim Delapan, menurut Marwan, kejaksaan memilih penghentian penuntutan. Opsi mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dianggap wilayah penyidik. Adapun untuk opsi penyampingan perkara alias deponering dinilai tidak tepat karena butuh waktu lama. ”Padahal masyarakat maunya instan,” kata Marwan.
Butuh waktu dua pekan kejaksaan memproses penghentian penuntutan itu.
Menurut Marwan, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, selaku penuntut umum, terlebih dulu harus memeriksa alat bukti dan tersangka dari penyidik. Berkas keduanya juga sudah harus dinyatakan secara resmi lengkap (P21). ”Tidak hanya di tingkat jaksa peneliti,” ujarnya. Setelah itu, penuntut memformulasikan pertimbangan hukum penghentian.” Secara yuridis dan sosiologis, berkas tidak laik ke pengadilan,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Setia Untung Ari Muladi kepada Tempo.
Bibit dan Chandra menyatakan siap kembali bertugas di KPK. Kini keduanya tinggal menunggu Surat Keputusan Presiden. Menurut Denny Indrayana, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, keppres akan dibuat segera setelah Presiden menerima surat penghentian itu. Keppres itu, kata Deny, juga mengatur pemberhentian Mas Achmad Santosa dan Waluyo, dua orang yang selama ini menggantikan posisi Chandra dan Bibit.
DELAPAN jaksa penuntut umum itu punya tugas penting: menyusun formulasi penghentian perkara Bibit dan Chandra. Terdiri atas tiga jaksa dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan lima dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, tim ini bekerja sejak Kamis dua pekan lalu.
Tugas pertama tim ini menerima alat bukti dan tersangka kedua perkara itu dari penyidik. ”Mereka mengkaji laik atau tidak maju ke pengadilan,” kata Setia Untung.
Menurut seorang jaksa, sejak awal ia sudah diminta mencari celah penghentian perkara itu. Ini bukan perkara mudah. Pasalnya, kata jaksa ini kepada Tempo, secara formal dan materiil, berkas sudah dinyatakan lengkap. Instrumen hukum yang diminta dari pimpinan, menurut dia, yaitu penghentian penuntutan. Persoalannya, kata dia, perkara itu tidak memenuhi syarat yang diminta, yaitu tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, dan dihentikan demi hukum. ”Kami bingung di sini,” kata jaksa itu.
Bolak-balik mereka meminta masukan Kejaksaan Agung. Menurut sumber Tempo yang lain, Kejaksaan Agung ngotot agar instrumen itu tetap dipakai. Celah yang dipakai: ”dihentikan demi hukum”. Tapi pilihan ini pun tak mudah. Soalnya, undang-undang mensyaratkan tiga hal untuk kriteria seperti itu: perkara sudah diadili, tersangka meninggal dunia, dan kasusnya kedaluwarsa.
Untuk kriteria tak terbukti dan tidak ada unsur pidana, menurut sumber Tempo itu, tak bisa dipakai karena bakal menjatuhkan kredibilitas kejaksaan yang semula ngotot membawa perkara ini ke pengadilan. ”Bisa dianggap tidak konsisten dan membohongi publik,” kata sumber itu. Belakangan, Kejaksaan Agung menyarankan, pertimbangan psikologis masyarakat bisa dipakai sebagai cantolan pilihan demi hukum itu.
Marwan membenarkan cerita tersebut. Menurut dia, penghentian kasus ini memang paling pas menggunakan kriteria alasan demi hukum. Celahnya, memakai doktrin pandangan kritis masyarakat, yakni dengan cara melihat aspek manfaatnya. Doktrin ini, kata Marwan, dianggap sesuai dengan petunjuk Presiden yang meminta kejaksaan melihat apakah perkara ini lebih banyak manfaat atau mudaratnya jika dibawa ke pengadilan.
”Petunjuk” inilah yang kemudian dituangkan dalam alasan yuridis penghentian itu. Meski terbukti, menurut jaksa, perkara Bibit dan Chandra dihentikan demi hukum karena keduanya tidak menyadari perbuatan mereka. Alasan ini tidak disetujui Rifai. Ia minta penghentian atas dasar tidak ada bukti. ”Perbuatan pidananya juga tidak ada,” kata Rifai. Tapi kejaksaan tetap pada putusan itu.
Di kalangan petinggi kejaksaan sendiri terjadi perdebatan alot untuk menentukan instrumen yang digunakan. Menurut sumber Tempo, salah seorang jaksa mendesak perkara itu lebih pas dihentikan melalui mekanisme deponering. Cara ini dianggap aman bagi kejaksaan karena tidak bisa di praperadilankan. Namun Jaksa Agung Hendarman Supandji ngotot agar instrumen yang dipakai SKPP. Alasan Hendarman: cepat dan itu wewenang penuh kejaksaan. Marwan tak membantah adanya perdebatan itu. ”Meski risikonya dipraperadilankan,” ujarnya.
YANG dikhawatirkan Marwan terbukti. Rabu pekan lalu, tiga kelompok advokat melancarkan gugatan praperadilan atas terbitnya SKPP Chandra-Bibit ini. Mereka adalah 52 advokat yang tergabung dalam Kelompok Advokat Penegak Hukum, 100 advokat yang tergabung dalam Kelompok Pekerja Muslim Indonesia, dan 10 advokat yang mengatasnamakan lembaga swadaya masyarakat Harapan Indonesia. ”Pertimbangan demi hukum itu dipaksakan, menabrak undang-undang,” kata Koordinator Kelompok Advokat Penegak Hukum, Petrus Bala Pattyona. Menurut Petrus, seharusnya kejaksaan memilih opsi deponering. ”Karena penghentian penuntutan sewaktu-waktu bisa dibuka kembali,” ujarnya.
Marwan menegaskan, pihaknya siap menghadapi gugatan itu. ”Sejak awal risiko itu sudah kami perhitungkan,” ujarnya. Berdasarkan pengalaman, kata dia, kejaksaan selalu menang dalam proses praperadilan. ”Sejauh ini semua prosedur penghentian itu sudah benar,” ujarnya. Marwan membenarkan, secara hukum, kasus yang ditutup lewat SKPP ini bisa dibuka kembali. Hanya, kata dia, sejauh ini kejaksaan tak pernah melakukannya. ”Ini bukan pintu, buka-tutup, buka-tutup, harus konsisten,” katanya.
Ahmad Rifai menilai para penggugat itu juga tak punya dasar mempersoalkan SKPP kliennya. Menurut hukum acara pidana, kata dia, hanya polisi yang berhak melakukan itu. ”Ini sekadar manuver,” ujarnya.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo