Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketegangan menyelimuti kediaman Presiden Ram Baran Yadav di Kathmandu, Nepal, Kamis pekan lalu. Puluhan polisi antihuru-hara berbekal gas air mata dan tongkat kayu berjaga-jaga di depan rumah, menghalau sekitar 500 perempuan yang berusaha menerobos masuk. Sambil mengibarkan bendera merah bergambar palu arit, para pengunjuk rasa dari sayap perempuan Partai Komunis Nepal itu berteriak-teriak menyerukan dukungan bagi Perdana Menteri Pushpa Kamal Dahal dan memaki sang Presiden.
Nepal memanas lagi. Dua hari sebelumnya, ribuan simpatisan partai berhaluan Maois ini tumpah ruah ke jalan-jalan ibu kota negara yang berada di lereng pegunungan Himalaya itu. Bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi tak terhindarkan. Hasilnya, 63 demonstran yang melakukan aksinya di sekitar rumah Presiden ditahan.
Nepal kembali bergejolak setelah Perdana Menteri Pushpa Kamal Dahal mengundurkan diri dan menarik Partai Maoisnya dari koalisi pemerintahan, Senin pekan lalu. Dahal kecewa berat kepada Presiden yang telah memveto pemecatan Panglima Angkatan Darat Rookmangud Katawal.
Prachanda, nama populer Dahal, mendepak Katawal dari kursi Panglima Angkatan Darat karena sang Jenderal menolak penggabungan 19.000 gerilyawan Maois dengan angkatan bersenjata. Katawal menilai para gerilyawan yang kini tinggal di barak-barak di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu berhaluan keras dan telanjur mendapat indoktrinisasi politik Maois.Penolakan itu membuat Prachanda marah. Apalagi Katawal malah merekrut 3.000 tentara baru serta mengaktifkan kembali delapan jenderal yang telah pensiun. Bekas pemimpin pemberontak Maois itu lantas memecat Katawal dan menunjuk Wakil Panglima Militer Kul Bahadur sebagai penggantinya.
Namun pemecatan Katawal ditentang Presiden Ram Baran Yadav. Anggota partai oposisi terbesar, Partai Kongres Nepal, itu menilai pemecatan tersebut melanggar konstitusi. Yadav berpendapat wewenang pemecatan panglima militer berada di tangan presiden selaku panglima tertinggi angkatan bersenjata. Katawal pun ditarik kembali ke posisinya.
Prachanda yang baru berkuasa delapan bulan itu menuduh Yadav melakukan serangan fatal terhadap demokrasi yang masih bayi. ”Kami telah berupaya membuat konsensus, tapi berbagai kekuatan politik selalu menentang upaya itu,” ungkap Prachanda dalam pidato pengunduran dirinya sepanjang 20 menit, yang disiarkan televisi ke seluruh penjuru negara yang dijuluki negeri di atap dunia itu.
Partai Kongres Nepal menyatakan telah membuat kesepakatan dengan Partai Persatuan Marxis-Leninis Nepal (UML) untuk mencegah kekosongan pemerintahan. ”Kami berharap pemerintahan baru yang didasarkan konsensus nasional segera dibentuk,” kata Prakash Sharan Mahat, Ketua Partai Kongres Nepal. Kedua partai tersebut juga berupaya menggandeng partai-partai lain, termasuk Forum Hak-hak Rakyat Madheshi (MJF) yang memiliki 51 kursi di parlemen.
Namun pembentukan pemerintahan baru tampaknya tidak akan berjalan mulus. Dinanath Sharma, anggota parlemen sekaligus juru bicara Maois, menyatakan pihaknya bakal terus mengacaukan parlemen sampai Presiden meralat keputusannya dan Jenderal Rookmangud Katawal diberhentikan. Partai Maois juga secara tegas menyatakan tak bakal bergabung dengan pemerintahan yang baru.
Kisruh politik ini dikhawatirkan bakal mencederai proses perdamaian antara militer Nepal dan gerilyawan Maois pada November 2006. Ya, suatu kesepakatan damai yang mengakhiri perang yang menewaskan sekitar 13.000 orang sepanjang satu dekade. Kesepakatan ini pulalah yang akhirnya membawa kelompok Maois itu keluar sebagai partai terbesar dalam pemilu yang berlangsung pada April 2008, sekaligus menghapus Kerajaan Nepal yang berkuasa selama 240 tahun.
Keluarnya Maois dari koalisi pemerintahan dikhawatirkan bakal membuat negara republik termuda di dunia itu kembali terjerumus dalam perebutan kekuasaan yang berlarut-larut. ”Ini adalah momen yang kritis,” ujar Karin Landgren, salah satu perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Nepal dalam rapat pertemuan Dewan Keamanan di New York. Ia memperkirakan Nepal akan mengalami semacam ”kelumpuhan” sampai para pemimpin politik dapat menemukan seorang perdana menteri baru yang bisa diterima publik.
Nunuy Nurhayati (BBC, AFP, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo